Kedisiplinan Penjual Air

Sumber:Kompas - 1 April 2005
Kategori:Air Minum
HARI itu, jam baru menunjuk pukul 15.30. Namun, Giyanto, seorang penjual air keliling, sudah duduk santai di depan pos pengambilan air di Jalan Raya Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat. Sambil mengisap rokok, pria dari Cilacap, Jawa Tengah, itu asyik bercengkerama dengan lima teman-teman sesama penjual air keliling yang sedang antre mengisi gerobak mereka dengan air.

"Jatah saya sudah habis. Semua langganan sudah didatangi," jawab Giyanto ketika ditanya mengapa tidak mengantre mengisi gerobaknya dengan air seperti yang dilakukan teman-temannya. "Mereka masih mengisi air karena ada langganan yang belum dikirim," tambahnya.

Menurut Giyanto, dia dan tujuh orang temannya sesama penjual air yang bernaung di bawah Djali, pemilik pengambilan air, itu sudah mempunyai jalur peredaran sendiri-sendiri. Dia, misalnya, biasa berjualan di sekitar kompleks Perumahan Palem, sedangkan temannya berjualan di sejumlah tempat lainnya, seperti di sekitar SMP 8 Cengkareng, Pintu Air, dan kompleks Perumahan Taman Kencana.

Giyanto menuturkan, pembagian jalur itu sudah terjadi sejak kelompok mereka mulai terbentuk pada awal tahun 1990-an. "Awalnya kami berkeliling sesuka hati untuk menjual air. Namun, lama-lama rute itu menjadi tetap karena sudah ada langganan," jelas Giyanto yang dibenarkan Sudirjo, temannya, yang biasa berjualan air di sekitar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Cengkareng.

Dalam perkembangannya, keberadaan jalur itu membuat masing-masing penjual juga hanya boleh beroperasi di daerahnya sendiri. "Daerah jualan itu ibarat rumah. Jadi bila bukan miliknya, jangan dimasuki tanpa seizin yang punya agar yang punya tidak marah," kata Sudirjo.

Seorang penjual air biasanya hanya mengizinkan daerahnya dimasuki penjual lain pada saat dia tidak dapat berjualan karena sedang sakit atau pulang kampung.

Para konsumen, baik itu dari kelompok rumah tangga atau pemilik warung Tegal, menurut Sudirjo, biasanya juga tidak mau membeli air jika tidak ditawarkan oleh penjual langganannya. Bahkan mereka tidak segan-segan memberi tahu penjual langganannya jika di daerah mereka ada penjual air baru.

Saling kontrol dan keakraban antara penjual dengan konsumennya ini terjadi karena mereka hampir setiap hari bertemu dan merasa saling membutuhkan. "Kalau kami berhenti mengirim air sehari saja tanpa memberi tahu atau menunjuk pengganti, langganan kami bisa marah- marah. Kalau sudah begitu, mereka dapat ganti penjual hingga akhirnya kami sendiri yang sengsara," kata Sudirjo.

Namun, keakraban itu juga membuat Giyanto dan teman-temannya tidak berani menipu langganannya. "Kalau air sedang jelek, kami bilang jelek. Terserah mereka mau beli atau tidak," ucapnya, sambil menambahkan, hampir setiap minggu selalu terjadi air dari perusahaan daerah air minum yang dijualnya kotor atau berbau.

Keakraban dan saling percaya itu juga membuat Giyanto dan teman-temannya tidak khawatir ketika pembeli mereka mengetahui bahwa harga satu pikul atau dua jeriken air yang masing-masing berisi 20 liter air yang mereka beli sebesar Rp 1.500 itu sebenarnya hanya dibeli oleh para penjual air dari bosnya, yaitu Djali, seharga Rp 300. Sehingga, untuk tiap pikul para penjual air itu untung Rp 1.200.

Meski mengetahui keuntungan para penjual air itu mencapai 400 persen, mereka tidak pernah diprotes oleh konsumennya karena merasa mengambil keuntungan terlalu besar. Sebab para pembeli itu juga sadar bahwa untuk mendapatkan keuntungan tersebut Giyanto dan kawan-kawannya setiap hari harus berjalan berkeliling kampung lebih dari lima kilometer.

Sebaliknya, pengertian konsumen ini membuat Giyanto dan kawan-kawannya juga tidak berani menaikkan harga air seenak mereka sendiri. "Kenaikan harga BBM Maret lalu memang membuat harga hampir semua barang ikut naik. Tetapi harga air belum naik karena harga dari Djali belum juga naik. Lagipula, kalau sekarang harga dinaikkan, kasihan langganan," ujar Sudirjo.

BUAH dari hubungan baik dengan pembeli dan saling menghormati tempat jualan temannya, Giyanto dan teman-temannya mengaku dapat berdagang dengan tenang. Mereka dapat menikmati pekerjaan itu meski pendapatan kotor yang diperoleh setiap hari hanya sekitar Rp 28.800. Itu pun dengan catatan semua air yang ada laku terjual.

Pendapatan itu diperoleh karena biasanya mereka menjual air dalam tiga putaran. Setiap kali putaran membawa 16 jeriken, yang masing- masing berisi 20 liter, sehingga ada 24 pikul air yang mereka jual di mana setiap pikul mereka untung Rp 1.200. "Jika dihitung hasil jualan kami memang lebih kecil dibanding kerja lain, seperti kuli bangunan yang sehari bisa mendapat Rp 50.000. Namun, kami dapat tidur tenang di rumah Djali dan punya langganan tetap, sedangkan mereka harus tidur di proyek, dan jika proyek selesai mereka harus mencari pekerjaan baru," kata Giyanto.

Setelah dipotong untuk makan di warung langganannya, merokok, dan ongkos pulang pergi Jakarta-Cilacap, setiap bulan Giyanto mengaku bisa membawa pulang uang ke kampungnya Rp 500.000. "Cukuplah untuk membayar sekolah dua anak saya, membayar iuran desa, dan menyumbang tetangga yang punya hajat," katanya. Dia menambahkan, untuk makan diambil dari hasil panen sawahnya.

Perasaan cukup itu pula yang membuat Giyanto dan temannya tidak terlalu berpikir dan berharap dengan janji pemerintah akan adanya berbagai dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM pada bulan Maret lalu. (NWO)



Post Date : 01 April 2005