Kekeringan, Banjir, dan Ekonomi Suram

Sumber:Suara Pembaruan - 11 Juni 2008
Kategori:Kekeringan

Beralihnya musim hujan ke musim kemarau telah menunjukkan tanda-tanda akan terjadinya kekeringan dan puso tanaman di beberapa daerah. Jika musim kemarau ini lama, maka perekonomian, terutama yang dihadapi petani, akan terancam. Lahan pertanian petani akan mengalami kekeringan dan puso. Jika hal ini terjadi, maka angka penduduk miskin akan bertambah.

Gejala kekeringan yang mulai tampak di berbagai daerah ditandai dengan semakin berkurangnya air. Gejala kekeringan, antara lain, sudah melanda Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini, seperti yang diberitakan media massa, terdapat 48.000 keluarga yang kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka harus membeli air bersih dari tangki-tangki yang dijual oleh agen air. Dan parahnya, air yang dijual kepada rakyat sangat mahal. Pada 2006 saja, satu tangki air Rp 120.000. Harga ini cukup memberatkan rakyat miskin.

Di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, sebagian tanaman padi usia 45-60 hari terlihat layu. Daun padi menguning sebelum waktunya. Retakan sawah kian melebar. Seiring dengan menurunnya debit air di saluran irigasi sering terjadi rebutan air antarwarga.

Di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, 79 hektare sawah kekeringan. Tanaman yang baru berusia 30-50 hari layu dan nyaris kering. Pengamat hama dari Dinas Pertanian Banjarnegara, Aris Widiyanto, mengatakan, sawah yang kekeringan di daerah itu umumnya di kawasan hilir aliran irigasi.

Sedangkan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, lima waduk mendangkal. Waduk- waduk itu kini hanya menampung air 10-25 persen dari kapasitas normal. Akibatnya, lahan tanaman padi dan tambak di sekitarnya kekeringan.

Masyarakat di daerah yang kekurangan air, seperti disebutkan di atas, sangat khawatir bahwa musim kemarau ini akan lama. Sebab, selain menghentikan roda pertanian juga akan berdampak pada suramnya perekonomian nasional, buruknya kesehatan, semakin mahalnya bahan-bahan pokok, dan lain-lain. Logikanya, dalam teori ekonomi ketika lahan produksi sudah tidak bisa digunakan dan stok semakin berkurang, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi bahkan meningkat, maka harga barang-barang kebutuhan masyarakat semakin mahal.

Korban Pertama

Rakyat miskin, yang sebagian besar petani, akan menjadi korban pertama bencana kekeringan.Se-bab, lahan pertanian mereka sudah tidak bisa digarap lagi.Sumber penghasilan mereka menjadi kering. Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah mengimbau masya-rakat untuk menghemat air. Di samaping itu, pemerintah harus menyusun strategi jangka panjang dalam mengatasi kekeringan setiap tahun.

Sungguh ironis, Indonesia, yang katanya termasuk dalam lima negara kaya air di dunia, ternyata masih mengalami kekeringan. Anehnya lagi, ketika musim hujan air berlebihan bahkan terjadi banjir.

Dalam hal ini, faktor penyebab kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir. Keduanya berperilaku linier dependent, yakni semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan semakin besar pula banjir yang akan menyusul dan sebaliknya (Novitasari MT).

Dalam pandangan Novitasari MT (2006),

penyebab utama terjadinya kekeringan dan banjir adalah perubahan kawasan hutan di hulu-hilir air yang sebelumnya merupakan daerah resapan air menjadi lahan permukiman, industri, dan pertambangan. Bahkan menjadi hutan yang gundul. Akibatnya, air hujan yang jatuh langsung Meng-alirke sungai bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air mengakibatkan pada musim kemarau aliran air dalam tanah berkurang, sehingga memengaruhi sistem sungai. Sedangkan pada musim hujan akan terjadi banjir karena kurangnya lahan peresap air.

Hutan yang dijadikan lahan industri disinyalir oleh beberapa kalangan menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Modernisasi dan globalisasi yang ditandai adanya industrialisasi telah memunculkan permasalahan baru. Sebab, dalam dunia industri dewasa ini yang paling diutamakan adalah keuntungan sesaat.

Seperti yang ditulis Willy (2008), Indonesia sebagaimana yang tercatat dalam buku rekor dunia, Guiness Book, termasuk dalam negara dengan tingkat penghancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan dunia. Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, pembukaan areal untuk perumahan dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan air.

Pemerintah Tegas

Dengan demikian, melihat gejala kerusakan alam dengan adanya industrialisasi yang kemudian mengakibatkan banjir pada musim hujan dan ke- keringan pada musim kemarau, seharusnya pemerintah tegas dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada kepentingan seluruh rakyat, bukan karena oknum atau golongan tertentu. Banjir dan kekeringan yang setiap tahun terjadi harus segera bisa di-atasi dengan cepat, sehingga kesengsaraan rakyat dan kemiskinan dapat diminimalisir.

Dalam konteks ini, menurut Khudori (2003), ketimpangan neraca air di musim kemarau dan di musim hujan sebenarnya memberikan gambaran jika ada yang bisa dikelola untuk mengeliminasi kerugian. Caranya, mengelola risiko kekeringan dengan dua langkah sekaligus, penghematan air di kala kekurangan dan penyimpanan air di kala berlebihan. Dua aktivitas ini, lanjut Khudori, merupakan tindakan konservasi air, aktivitas yang berintikan penghematan penggunaan air.

Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak membangun embung, cekdam, sumur resapan atau terasering. Intinya, berbagai tindakan ini dimaksudkan untuk menghambat aliran air hujan dari hulu ke hilir, disertai peningkatan penyebaran seluas-luasnya ke dalam tanah. Dengan demikian, mudah-mudahan roda perekonomian akan tetap terjaga dalam kondisi apa pun.

Penulis adalah peneliti pada Institute for Social Empowerment Yogyakarta



Post Date : 11 Juni 2008