Kekeringan, Sulitkah Mengelola Air?

Sumber:Media Indonesia - 06 Oktober 2011
Kategori:Air Minum

BEBERAPA minggu terakhir ini kita disibukkan informasi dan berita, baik melalui media cetak maupun elektronik, mengenai kekeringan di berbagai wilayah di Tanah Air. Kalau dicermati, sepertinya berita mengenai kekeringan itu selalu berulang dari tahun ke tahun walaupun dengan intensitas berbeda. Tanggapan dari berbagai pihak yang berkepentingan pun sangat beragam.

Sebenarnya, begitu sulitkah kita merespons fenomena alam yang sering kali berulang dari tahun ke tahun itu? Perubahan iklim global telah memengaruhi iklim regional dan lokal, seperti yang cukup intensif dibahas dalam berbagai forum selama 10 tahun terakhir. Cuaca pun dapat berubah dengan cepat dan mungkin lebih sulit diprediksi.

Namun setidaknya, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita kuasai, didukung berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan pola siklus air yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, semestinya fenomena kekeringan dan dampaknya dapat diminimalkan.

Siklus air (water cycle) biasanya disebut juga daur hidrologi, yang diartikan sebagai suatu sirkulasi air yang meliputi gerakan dari laut ke atmosfer, atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut lagi. Dengan kata lain, siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukaan bumi dari satu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya.

Mengingat siklus air selalu berulang dari waktu ke waktu, meskipun dengan berbagai variasi atau pergeseran waktu dan intensitasnya, jumlah air secara total tetap sama. Tinggal bagaimana manusia dapat mengelola air dan siklusnya itu sehingga dapat memberi manfaat yang maksimal dan tidak menjadi bencana.

Beberapa bulan terakhir, beberapa daerah khususnya di Pulau Jawa diberitakan dilanda kekeringan. Banyak anggota masyarakat mulai mempertanyakan mengapa tahun ini kekeringan dan dampaknya begitu terasa jika dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Apakah cuaca dan curah hujan menjadi penyebab utamanya? Data yang disampaikan BMKG, berkaitan dengan cuaca dan curah hujan tahun ini, cukup menarik untuk disimak.

Musim kemarau tahun ini di beberapa daerah yang dilanda kekeringan masih dikategorikan normal jika dibandingkan dengan 2010. Bahkan tahun ini, periode musim kemarau diprediksi lebih pendek daripada tahun lalu. Pasalnya, musim kemarau baru dimulai pada Juli, sedangkan musim kemarau tahun sebelumnya telah dimulai pada Mei.

Dengan gambaran informasi dari BMKG tersebut, bisa dikatakan musim kemarau yang terjadi masih mengikuti pola rata-rata curah hujan di tahuntahun sebelumnya, walaupun mungkin ada perbedaan intensitas. Apabila ada dugaan bahwa dampak kekeringan yang melanda di beberapa wilayah di Indonesia tahun ini dirasa lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya, mungkin ada banyak faktor yang menyebabkan itu.

Faktor utamanya cuaca yang menyebabkan berkurangnya pasokan air. Faktor pendukung lainnya ialah faktor lingkungan yang dapat memperparah kondisi k e k e r i n g a n . Di antaranya, tidak tersedianya cad a n g a n air sebagai bufer di musim kemarau. Seperti yang telah disampaikan, dengan siklus air yang terus berulang, penyimpanan air saat musim hujan tiba sangat diperlukan untuk mengurangi dampak kekeringan.

Eksploitasi air yang berlebihan dan tidak efi sien akan memperparah defisit ketersediaan air permukaan dan air tanah. Daerah resapan air yang berkurang secara signifi kan dan berubah menjadi bangunan mengakibatkan jalan dan infrastruktur fi sik lainnya mempercepat air kembali ke laut sehingga mengurangi cadangan air. Kebutuhan air yang meningkat karena pertambahan jumlah penduduk akan memperparah defi sit air terutama di kan itu.

Faktor utamanya cuaca yang menyebabkan berkurangnya pasokan air. Faktor pendukung lainnya ialah faktor lingkungan yang dapat memperparah kondisi kekeringan.

Di antaranya, tidak tersedianya cad a n g a n air sebagai bufer di musim kemarau. Seperti yang telah disampaikan, dengan siklus air yang terus berulang, penyimpanan air saat musim hujan tiba sangat diperlukan untuk mengurangi dampak kekeringan.

Eksploitasi air yang berlebihan dan tidak efisien akan memperparah defisit ketersediaan air permukaan dan air tanah. Daerah resapan air yang berkurang secara signifikan dan berubah menjadi bangunan mengakibatkan jalan dan infrastruktur jalan dan infrastruktur fi sik lainnya mempercepat air kembali ke laut sehingga mengurangi cadangan air. Kebutuhan air yang meningkat karena pertambahan jumlah penduduk akan memperparah defisit air terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Seperti diketahui, kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia dapat berdampak cukup luas. Beberapa di antaranya dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi, seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, dan menurunnya pasokan air untuk industri domestik dan perkotaan. Untuk mengurangi dampak kekeringan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan berdasarkan waktunya, jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Untuk menangani masalah kekeringan dalam jangka pendek (dalam satu musim kering), biasanya tidak terdapat banyak pilihan. Apabila kekeringan sangat parah, prioritas utama ialah memenuhi kebutuhan air yang sangat mendesak, yakni air minum dan kebutuhan sehari-hari. Beberapa alternatif yang bisa dilakukan misalnya pengeboran air tanah dalam.

Namun, itu hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu yang memungkinkan

Di samping itu, biaya yang dikeluarkan cukup mahal untuk pengeboran, pompa dan listrik, serta perawatan. Hal lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekeringan ialah teknologi hujan buatan untuk irigasi. Alternatif hujan buatan dapat dilakukan apabila kekeringan melanda daerah dalam cakupan cukup luas. Beberapa hal yang diperlukan agar hujan buatan dapat dilakukan ialah terdapat awan yang cukup dan memenuhi syarat untuk terjadinya hujan buatan, salah satunya awan tidak terlalu tipis. Biaya untuk hujan buatan tergolong mahal, di samping ada risiko kegagalan.

Penanganan bencana kekeringan jangka menengah salah satunya dapat dilakukan dengan merevitalisasi danau, situ, dan embung sebagai penyimpan air sehingga dapat menampung air di saat musim hujan tiba. Pembuatan embung baru di lokasi-lokasi rawan kekeringan dapat meningkatkan cadangan air, memperbaiki saluran air (drainase) untuk mencegah dan me ngurangi kebocoran air, dan memperpanjang siklus air agar tidak cepat kembali ke laut. Bila perlu, ada penanaman air hujan, yaitu menggunakan kembali air yang sebelumnya telah dipakai dengan melakukan pengolahan sederhana dan meningkatkan jumlah tampungan air.

Dalam jangka panjang, penanganan--atau lebih tepat pencegahan--terhadap bencana kekeringan dapat dilakukan secara komprehensif dan terencana dengan mempertimbangkan fenomena alam, cuaca, dan siklus air sehingga bencana kekeringan dapat dihindari. Contohnya, mengatur kembali tata ruang secara baik dengan mempertimbangkan siklus air agar terjadi keseimbangan yang dibutuhkan, melakukan reboisasi dan penanaman pohon secara massal di wilayah-wilayah yang rawan kekeringan, serta membangun waduk dan bendungan untuk menampung air saat musim penghujan guna mengantisipasi banjir dan mengatasi kekeringan di musim kemarau.

Akhirnya, semua itu tergantung bagaimana kita memperlakukan air dan siklusnya agar bencana kekeringan tidak menimpa manusia, di samping kebijaksanaan masyarakat dalam menggunakan air dan perbaikan manajemen/pengelolaan air yang tepat. Semua itu demi menghindarkan manusia dari bencana yang tidak diinginkan. Ignasius DA Sutapa Peneliti Utama Bidang Teknologi Kimia dan Lingkungan Pusat Penelitian Limnologi LIPI



Post Date : 06 Oktober 2011