Kemarau Panjang dan Krisis Air

Sumber:Kompas - 09 Oktober 2006
Kategori:Air Minum
Sesungguhnya ketidaknormalan iklim seperti kemarau panjang yang menimpa kita dewasa ini bukanlah hal baru karena di waktu lalu pun hal itu biasa terjadi. Jadi, tidak mengherankan bila masyarakat Sunda di masa lalu telah mengenal beberapa jenis kemarau panjang. Misalnya, margsana, kemarau 9 bulan; parepong, kemarau 8 bulan; dan manalung, kemarau 7 bulan.

Namun, dalam perkembangannya dewasa ini, ketidaknormalan iklim seperti kemarau panjang tersebut cenderung makin kerap terjadi dan dan krisis air makin meningkat.

Dulu, masyarakat Sunda memiliki kearifan tinggi dalam mengelola sumber air. Hal tersebut seperti diungkapkan Hasan Mustapa dalam bukunya yang berjudul Adat-adat Urang Priangan Jeung Urang Sunda Lian ti Eta di tahun 1913. Masyarakat Priangan sangat menghormati dan memelihara sumber air.

Sumber air tersebut biasanya dinamakan hulu cai atau sirah cai. Air seolah-olah disamakan dengan manusia yang sedang tidur, kakinya mengarah ke mana-mana. Maksudnya, air dari kepala (hulu) mengalir ke mana-mana menjadi anak-anak sungai dan masuk ke sawah-sawah, kolam, dan lain-lain. Dengan istilah hulu cai itu, maka di masa lalu petugas desa yang mengatur pembagian air irigasi biasa dinamakan mantri ulu atau ulu-ulu.

Pada umumnya daerah-daerah sekitar sirah cai itu ditumbuhi aneka ragam tumbuhan yang sangat khas, misalnya caringin/beringin, loa, teureup, picung, jati, hampelas, awi tamiang, awi tali, dan awi gombong. Karena itu, dari daerah-daerah tebing bukit (gawir) yang rimbun pepohonan, dari dalam tanah, celah-celah batu, atau akar-akar tumbuhan keluar air sebagai hulu cai.

Dari daerah hulu cai tersebut air terus mengalir dan biasanya membentuk sungai-sungai kecil (selokan) dan terus mengalir ke hilir menjadi sungai besar (walungan). Biasanya tempat-tempat keluarnya sumber air tanah tersebut diberi nama berdasarkan pohon utama di wilayah tersebut ataupun kekhasan lainnya, misalnya Cipicung, Ciloa, Citeureup, Citaming, dan Cipasantren. Sebab, sumber air tersebut keluar dari bawah pohon picung, loa, teureup, dan awi taming, atau berada di dekat daerah tempat belajar mengaji atau pesantren.

Di samping itu, dikenal pula sumber air tanah yang tidak menjadi hulu sungai, yang dinamakan cai nyusu atau seke. Karena itu, dikenal beberapa daerah tempat sumber air tanah tersebut, seperti Sekeloa (di bawah pohon loa), Sekejati (di bawah pohon jati), Sekemirung (di bawah pohon mirung atau hamirung). Dikonservasi

Mengingat sumber air atau sirah cai dianggap penting untuk kehidupan manusia, terutama untuk bertani, maka berbagai sirah cai senantiasa dikeramatkan dan tidak pernah ada orang yang berani merusaknya. Bahkan, pada masa-masa lalu, sebagai upaya penduduk untuk menjamin keberhasilan bertani sawah, sebelum memulai menggarap lahan sawah semua penduduk yang mendapat air dari sirah cai yang sama biasa melakukan selamatan di daerah sirah cai tersebut.

Setelah berdoa, orang-orang yang ikut selamatan selanjutnya pulang ke rumah masing-masing. Esok luasnya para petani tersebut dengan perintah mantri ulu-ulu memulai memperbaiki parit-parit, memperkokoh tanggul-tanggul, simpangan air dari parit, dan mengatur saluran-saluran untuk membagi air ke sawah.

Pada masa lalu, kendati para petani tidak menggunakan berbagai peralatan canggih, mereka telah mempunyai kemampuan untuk meramal perubahan musim dan ketidaknormalan cuaca atau musim. Contohnya, untuk meramalkan tibanya musim hujan, para petani umumnya menggunakan pertanda rasi bintang di alam, kehadiran beberapa jenis hewan, dan masa berbuah atau berbunga tumbuhan tertentu.

Masyarakat Sunda juga telah mempunyai berbagai prediksi tentang perubahan musim dengan karakteristiknya. Misalnya, dikenal daur ulang ketidaknormalan musim dalam delapan tahunan, yang biasa dinamakan windu. Windu tersebut terdiri dari bulan Alip, Ehe, Jimawal, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir dengan masing-masing karakteristik dan kesesuaiannya untuk bercocok tanam. Krisis air bersih

Akibat perkembangan zaman, yaitu jumlah penduduk kian padat, perkembangan ekonomi cepat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berubah pesat, berbagai pengetahuan tradisional penduduk lokal banyak yang hilang. Hal tersebut dikarenakan banyak orang tua yang memiliki pengetahuan tersebut telah meninggal. Sementara generasi muda sekarang tidak atau kurang tertarik lagi untuk mempelajari berbagai pengetahuan tentang lingkungan di sekitarnya.

Ditambah pula, berbagai sumber pustaka atau buku yang dipelajari di sekolah-sekolah atau bangku kuliah lebih didasarkan pada contoh- contoh pengetahuan dari luar, masyarakat Barat. Pada umumnya cara pandang ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tersebut menekankan pada dasar sekular, mekanistis, dan reduksionistis.

Ilmu Barat bertumpu pada pemisahan antara jiwa dan tubuh, subyek dan obyek, roh dan materi, fakta dan nilai. Jadi, ilmu modern menganggap manusia bernilai pada dirinya sendiri, sementara alam hanya dilihat sebagai obyek dan alat bagi kepentingan manusia. Sifat dan perilaku manusia menjadi eksplotatif dan manipulatif terhadap alam serta lebih berorentasi pada kepentingan uang karena pertambahan penduduk yang cepat dan perkembangan ekonomi pasar yang sangat pesat.

Dengan landasan perkembangan manusia yang berorientasi pada kepentingan ekonomi, telah terjadi proses desakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Alam yang dipahami sakral oleh masyarakat lokal dan menyimpan sejuta misteri yang sulit dijelaskan menggunakan akal budi, yang membangkitkan sikap kagum penuh rasa hormat, menjadi kehilangan sakralitas dan misterinya dalam pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Keraf, 2002).

Konsekuensinya, berbagai sumber air tanah seperti hulu cai, cai nyusu, dan seke dewasa ini banyak yang rusak atau hilang sama sekali karena berbagai pepohonan di sekitar sumber air tersebut tidak lagi dihormati dan dijaga oleh penduduk lokal. Namun, pepohonan di daerah- daerah sumber air itu dibuka, antara lain lahannya dikonversikan menjadi peruntukan lain seperti permukiman dan pabrik.

Di samping itu, di daerah-daerah lainnya berbagai pepohonan di kawasan sumber air ditebangi penduduk untuk dijual kayunya. Terlebih lagi, adanya introduksi teknologi baru seperti gergaji mesin ke desa- desa telah menyebabkan makin gampangnya orang menebang kayu dan menjualnya untuk menghasilkan uang.

Karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam dasawarsa terakhir ini, ketika timbul kemarau panjang, krisis air bersih makin dirasakan banyak orang di Tanah Air, termasuk di Tatar Sunda. Sebab, banyak sumber air yang dahulu dihormati dan dijaga urang Sunda kini telah punah karena ulah manusia yang tidak bijaksana terhadap alam. JOHAN ISKANDAR Peneliti Pada PPSDAL Unpad



Post Date : 09 Oktober 2006