Kembalikan Daya Serap Tanah

Sumber:Kompas - 30 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta

Jakarta, Kompas - Faktor penyebab banjir Jakarta beberapa hari lalu, antara lain, karena kurangnya daerah resapan dan penurunan tanah di Jakarta. Faktor ini ternyata sudah muncul sejak masa Batavia (sekarang Jakarta) dijadikan markas dagang swasta Belanda.

”Masalah banjir memang ada sejak dahulu. Saat VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/ Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) berkuasa, mereka banyak menebangi pohon untuk industri gula tanpa peduli alam,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, pada diskusi soal banjir, di Jakarta, Selasa (29/1). Diskusi diadakan Forum Pembaca Majalah Historia yang bekerja sama dengan Wisdom Institute.

Sungai Ciliwung, lanjut Bondan, dulu merupakan urat nadi Batavia, di mana banyak pohon tumbuh. Namun, setelah pohon- pohon ditebang untuk bahan bakar industri gula, aneka bencana di Jakarta bermunculan.

”Apa yang terjadi pada zaman VOC itu menular pada mentalitas masyarakat hingga saat ini. VOC sama sekali tak pernah memikirkan kelestarian dan dampaknya terhadap lingkungan. Akhirnya, kemampuan tanah untuk menyerap air kurang,” lanjutnya.

Kurangnya daya serap tanah Jakarta terhadap air ternyata diiringi dengan aktivitas penyedotan air tanah secara besar-besaran. Permukiman, industri, perkantoran, dan kepentingan komersialisasi terus menyedot air. Yang terjadi ialah penurunan tanah di Jakarta.

”Turunnya tanah di Jakarta itu karena banyak air disedot dari tanah. Di mana ada bangunan, di situ air tanah disedot. Membangun sesuatu di atas tanah Jakarta itu sama dengan mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap air,” kata ahli perkotaan Marco Kusumawijaya.

Kanal dan kondisi tanah

Penurunan tanah di Jakarta, menurut Marco, pada suatu titik tertentu bisa turun 18 sentimeter per tahun. ”Bayangkan saja tanah itu dalam 10 tahun ke depan. Penurunannya bisa setara tinggi badan manusia,” ujarnya.

Jakarta sebenarnya juga pernah punya beberapa kanal. Kanal-kanal itu antara lain Kanal Gajah Mada-Hayam Wuruk di bagian selatan, Kanal Bandengan di daerah barat, dan Kanal Jayakarta di tenggara. Namun, lanjut Marco, kanal-kanal tersebut ditutup dan kini dijadikan jalan.

Sementara itu, Bondan mengatakan, tahun 1830 beberapa kanal memang sudah dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, karena air pada kanal tersebut tidak mengalir, yang terjadi adalah munculnya nyamuk- nyamuk yang menyebarkan penyakit malaria.

Pemimpin Redaksi Majalah Historia Bonnie Triyana mengungkapkan, banjir yang terjadi berkali-kali di Jakarta seharusnya membuat siapa saja belajar.(K10)



Post Date : 30 Januari 2013