Keringnya Mata Air Kami

Sumber:Kompas - 22 Maret 2006
Kategori:Air Minum
"Air untuk minum saja kurang, keluh Agus. Keluhan Agus, anak kepala dusun Pangukrejo. Keluhan Agus adalah juga keluhan 200 keluarga yang tinggal di dusun itu. Padahal lokasi Pangukrejo, di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, di kaki Merapi itu tidak jauh dari mata air Bebeng.

Dulunya dusun ini dikelilingi banyak mata air. Air bagi penduduk dusun Pangukrejo tidak hanya digunakan untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci. Air juga untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning. Setidak-tidaknya dalam sehari, setiap keluarga membutuhkan 30 liter air, kata Agus. Kini untuk menutup kebutuhan itu, sebagian warga yang mampu membeli air dari mobil tangki. Satu tangki air5.000 literdibeli dengan harga Rp 70.000. Biasanya untuk satu keluarga atau lebih, air sebanyak itu habis dalam sebulan.

Sekitar dua kilometer di bawah dusun Pangukrejo, seorang petani mengeluh. Sawahnya tak dapat ditanami padi karena tidak kebagian air dari sumber air di daerah Tanjung. Daripada sawah kekurangan air, lebih baik ditanami rumput untuk pakan ternak, kata petani itu, yang ditemui sedang menyabit rumput, Jumat (17/3) lalu.

Itu hanya sekelumit cerita penduduk mengalami kekurangan air untuk kebutuhan air minum dan pertanian. Cerita-cerita tersebut menjadi semakin ironis karena ketiga daerah tersebut berada di kaki gunung Merapi yang dikelilingi oleh banyak sumber mata air. Menurut catatan Pemkab Sleman tahun 1979, di Kabupaten Sleman terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.

Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon, satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Mata air mengering

Jangan salah jika menganggap mata air tidak bisa kering atau mati. Berkurangnya debit mata air Bebeng menjadi pertanda buruk suatu mata air akan kering. Mata air merupakan air tanah yang memancar keluar dari permukaan tanah karena permukaan air tanah naik. Jika permukaan air tanah turun karena pasokannya berkurang, mata air pun akan mengering.

Air tanah dan juga air permukaan adalah air yang berasal dari hujan (dan juga es) yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Volume air yang masuk dan menjadi cadangan air tanah itu lebih kecil dari air yang mengalir di permukaan. Menurut Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, jika air hujan yang jatuh ke tanah 38 inci, 26 inci akan masuk ke dalam tanah. Akan tetapi, yang tersimpan sebagai cadangan air tanah hanya 6 inci. Sebanyak 20 inci akan mengalir di atas permukaan air tanah dan kembali lagi menjadi uap air. Sedangkan 10 inci mengalir di permukaan sebagai run off (air larian), dan sisanya menguap.

Faktor perubahan musim berpengaruh pada mata air. Selama musim penghujan, debit mata air akan tinggi. Permukaan air tanah cenderung naik-yang keluar sebagai mata air semakin banyak. Air tanah saat musim hujan tidak hanya berasal dari cadangan air tanah saja, tapi juga dari air hujan yang meresap masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, saat musim kemarau debit mata air akan mengecil karena permukaan air tanah menurun.

Kata kuncinya pada infiltrasi, ungkap Gatot lagi. Jika permukaan tanah tertutup oleh bangunan, kecepatan air yang mengalir di permukaan tanah jauh lebih besar daripada yang meresap ke dalam tanah. Akibatnya, air yang masuk ke dalam tanah akan lebih kecil daripada air yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya, pasokan air tanah berkurang-permukaan air tanah turun-mata air mengering.

Contohnya mata air Bebeng di dusun Pangukrejo Sleman. Mata air yang hanya digunakan untuk pertanian dan keperluan air minum masyarakat ini semakin lama debitnya semakin mengecil. Penyebabnya adalah luas daerah resapan air di kawasan Kaliurang semakin berkurang seiring dengan meningkatnya persentase lahan terbangun untuk permukiman dan pariwisata. Menurut data BPS Kabupaten Sleman, tahun 2000 luas sawah yang ada di daerah resapan air (Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, Tempel, Ngemplak, sebagian Sleman, Ngaglik) adalah 10.472 hektar. Empat tahun berikutnya sudah turun menjadi 10.360 hektar. Sebaliknya luas lahan permukiman mengalami peningkatan. Tahun 2000 seluas 7.760 hektar. Tahun 2004 menjadi 7.781 hektar.

Penyebab kerusakan mata air selain berkurangnya daerah resapan air, juga dipicu oleh pengambilan air secara berlebihan, baik dari mata air secara langsung maupun melalui sumur artesis. Meski air disedot melalui sumur yang lokasinya beberapa ratus meter dari sumber mata air, tekanan pompa sumur akan lebih cepat menarik air tanah yang harusnya keluar sebagai mata air. Biasanya mata air yang dieksploitasi mempunyai debit yang besar dan digunakan diluar kepentingan pertanian dan kebutuhan air minum masyarakat.

Sumber air Sigedang dan Kapilaler di daerah Klaten, misalnya. Petani Kecamatan Pedan, Trucuk, dan Ceper mengeluh kekurangan air setelah PT Tirta Investama membangun sumur bor tepat 10 meter di atas Umbul Sigedang. Sampai sekarang masih menjadi perdebatan pengaruh keberadaan sumur bor milik industri air minum dalam kemasan tersebut terhadap ketersediaan air irigasi pertanian.

Memicu konflik

Berebut memanfaatkan mata air oleh berbagai pihakmasyarakat, industri, perusahaan air minumjuga dapat memicu konflik. Konflik seperti itu pernah terjadi Juli 1999 lalu antara petani daerah Pengging dengan PDAM Kota Surakarta. Proyek PDAM Surakarta yang memanfaatkan Umbul Kenanga untuk memperbesar debit air minum mendapat tentangan dari masyarakat Pengging karena dianggap mengurangi pasokan air irigasi untuk areal persawahan di delapan desa.

Konflik itu sebenarnya bisa dihindari dengan sistem proportional water sharing, kata Gatot Irianto. Sistem ini akan menempatkan setiap pengguna air secara proporsional dalam hal akses, kontrol, partisipasi, kontribusi, dan manfaat. Misalnya, pertanian mendapat 50 persen dari debit air, sektor air minum serta industri 35 persen, dan sisanya untuk konservasi lingkungan.

Kekurangan air di Sleman sekarang dan konflik karena air yang pernah terjadi di Boyolali agaknya bagian dari isyarat alam, agar manusia menjaga keseimbangan lingkungan. Selagi air itu ada, berebut memanfaatkannya dapat menyulut pertikaian. Bak kata Agus, warga dusun Pangukrejo tadi: Banyu iku adem tapi panas. Air itu sejuk, tapi dapat membakar kemarahan. Hanya saja, jika mata air itu sudah kering, orang mungkin tak perlu bertikai lagi, karena manusia mungkin akan menangis sampai kering air mata. Oleh M PUTERI ROSALINA

- Air Jadi Korban Keserakahan (Pikiran Rakyat - 22/03/06)
- Pemda Kurang Perhatikan Konservasi Air (Republika - 22/03/06)


Post Date : 22 Maret 2006