Kesulitan Air Itu Berulang di Ngestirejo...

Sumber:Kompas - 19 Juni 2007
Kategori:Air Minum
Suasana Telaga Tritis di Desa Ngestirejo, Tanjungsari, Gunung Kidul, Senin (18/6) siang, tampak tenang. Hanya terlihat beberapa perempuan mencuci di sisi selatan. Di sisi utara, setelah membasuh tubuhnya dengan air telaga yang berwarna kecokelatan, seorang lelaki paruh baya segera memikul dua jeriken penyimpan air.

Saat ini Telaga Tritis masih mampu menyediakan cukup air bagi warga di sekitar Ngestirejo untuk mencuci atau memandikan ternak. Ketika persediaan di bak-bak penampungan air hujan warga semakin menipis, Telaga Tritis menjadi satu-satunya sumber air yang dapat dijangkau.

"Mau beli air mahal. Selama Telaga Tritis masih banyak air, saya ambil air di sini. Di musim kemarau pun, saat telaga mengering, warga biasa mengeduk telaga untuk mendapat air," kata Temon, warga Dusun Walikangin, Ngestirejo, sebelum mencuci.

Perempuan berusia 48 tahun itu lalu bercerita, hujan yang sudah lama tidak turun membuat air di bak-bak penampungan mereka saat ini mulai menipis. Beberapa warga bahkan sudah membeli air yang harganya bervariasi antara Rp 70.000-Rp 150.000, tergantung jarak dan kesulitan medan.

"Mereka yang punya uang ya sudah membeli air. Air di bak saya masih ada sedikit, kalau sudah terpaksa baru nanti beli. Tidak ada uang," ujar Temon. Apalagi, seperti warga Ngestirejo umumnya, Temon pun mengalami gagal panen padi tahun ini. Kacang tanah yang ditanam setelah padi pun gagal panen karena kekurangan air sejak masa tanam.

Walaupun Risman (24), warga Dusun Kudu, Ngestirejo, juga gagal panen, ia sudah berencana membeli air 2-3 hari mendatang. "Saat ini bak air masih saya kuras supaya air yang dibeli nanti dapat tertampung semua," tuturnya. Untuk membeli 5.000 liter air yang biasanya habis dalam satu bulan, Risman harus mengeluarkan Rp 80.000. Air itu ia beli dari para penjual yang mengangkut air dalam truk tangki berkapasitas 5.000 liter.

Supriyanto Sandam (37), salah seorang penjual air, mengungkapkan, dalam dua minggu ini permintaan air dari warga sudah mulai mengalir. Adapun air itu bersumber dari sumur bor yang ada di daerah Karangrecek, Gunung Kidul.

Bagi keluarga besar yang terdiri lebih dari enam anggota dan memiliki anak kecil, kebutuhan air tentu lebih besar. Selama enam bulan kekeringan mereka bisa menghabiskan 15 tangki air. Jika harga satu tangki Rp 100.000, satu keluarga harus menyediakan Rp 1.500.000 untuk kebutuhan air selama musim kemarau. Memang bukan jumlah yang sedikit. Karenanya, tak jarang warga harus berutang untuk membeli air. "Tiap musim kemarau, warga sudah biasa cari pinjaman uang maupun menjual sapi atau barang-barang lainnya untuk beli air," papar Risman.

Sampai saat ini di Desa Ngestirejo memang belum ada aliran air dari perusahaan daerah air minum. Warga umumnya menampung air hujan dalam bak-bak penampungan air yang ada di tiap rumah. Selain itu, mereka mengambil air dari Telaga Tritis yang biasa mengering di musim kemarau. Kalaupun ada bantuan air bersih dari pemerintah di musim kemarau, warga hanya bisa memperoleh dalam jumlah yang sangat terbatas. "Biasanya hanya boleh mengambil dua jeriken saja," ungkap Risman.

Tak hanya warga Ngestirejo saja yang selalu mengulang rutinitas membeli air tiap musim kemarau. Berdasarkan data Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Gunung Kidul akhir tahun lalu, 11 kecamatan di Gunung Kidul, antara lain Tepus, Tanjungsari, dan Purwosari, tercatat mengalami kekeringan. Tujuh kecamatan lain menyusul mengalami kesulitan air bersih karena mengeringnya sumber-sumber air pascagempa.

Meski warga sudah terbiasa menghadapi kekeringan, tidaklah bijaksana jika masalah ini hanya dikategorikan sebagai permasalahan rutin tahunan. Lebih jauh perlu dipikirkan terobosan-terobosan baru untuk mengalirkan air ke daerah-daerah kering itu. (AB3)



Post Date : 19 Juni 2007