Ketika Air Bersih Jauh dari Jangkauan

Sumber:Kompas - 05 Juli 2008
Kategori:Sanitasi

Yuliana Mone (4), penderita marasmus dengan berat badan 7,6 kilogram, Senin (23/6), menjerit memanggil mamanya dari belakang rumah kediamannya di Dusun C, Desa Oebobo, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ia dikerubuti tiga ekor anjing, yang sedang menjilati bokongnya karena baru saja membuang hajat.

Ibunya, Ny Marselina Mone (35), tengah hamil tujuh bulan, duduk di beranda rumah. Ia mengambil sabut kelapa di sampingnya kemudian membersihkan pantat Yuliana.

”Di sini tidak ada kamar WC. Kalau ada pun sulit digunakan karena tidak ada air. Kamar WC tidak menggunakan closet leher angsa, tetapi tempat duduk langsung tembus penampungan. Tidak heran kalau di dalam lubang WC itu banyak tongkol jagung, sabut kelapa, kain, dan dedaunan. Barang-barang itu digunakan untuk membersihkan pantat. Bau pun sangat menyengat,” tutur Ny Marselina tersenyum malu.

Mengatasi kondisi itu keluarga Marselina membuang hajat di hutan sekitar rumah. Tetapi, anak-anak kebanyakan membuang hajat di sekitar rumah dan anjing yang akan membersihkan.

Dinding rumah terbuat dari batang nipah atau orang Timor menyebutnya bebak dan atap dari alang-alang atau daun kelapa. Dinding rumah itu berlubang-lubang sehingga lalat dengan mudah keluar masuk.

Pemandangan hidup seperti itu sudah menjadi bagian hidup dari kebanyakan warga desa setempat. Mereka pasrah menjalani hidup, apa adanya.

Yuliana yang sedang bermain di panas terik tiba-tiba menghampiri ibunya minta minum. Ny Marcelina berjalan menuju rumah tetangga, sekitar 10 meter dari kediaman sambil meringis memegang perut. Semalam suntuk Ny Marselina mengaku perutnya mulas dan sakit-sakitan.

Marselina membawa air satu gelas, yang langsung ditimba dari ember tetangga untuk anaknya. Air itu tidak direbus. Mengonsumsi air yang tidak direbus sudah menjadi kebiasaan hidup warga.

Suami Marselina, Gabriel Mone, siang itu sedang mencari kayu bakar di hutan untuk dijual. Kini tumpuan hidup kebanyakan warga Timor Tengah Selatan (TTS) adalah kayu bakar, yang dipajang di sisi jalan utama Soe-Kupang-Kefamenanu. Harga kayu itu Rp 1.000-Rp 2.000 per ikat atau sekitar 30 batang dengan panjang 1,5 meter.

Ketika ditemui pukul 13.00 Wita Ny Marcelina mengaku belum makan dari pagi. Di rumah itu tidak ada makanan.

”Hari-hari hidup kami seperti ini. Kalau suami pulang bawa pisang atau ubi, kami rebus untuk makan. Tetapi, kalau tidak, kami bertahan sampai malam,” kata Ny Marcelina.

Ketua Kader Posyandu Dusun C, Desa Oebobo, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten TTS, Ny Boro Lado mengatakan, Yuliana adalah salah satu dari 35 anak kasus gizi buruk di dusun itu. Meski gizi buruk, anak-anak itu setiap hari dibawa paksa oleh orangtua ke ladang.

Pulang sore hari tidak mandi, langsung tidur karena tidak ada air. Mereka mengonsumsi makanan yang jarang dicuci, sering sakit perut, dan diare menahun.

Musim diare terparah biasanya pada bulan September-Oktober. Puluhan anak balita di TTS meninggal dunia karena diare. Saat itu semua sumber air di daerah itu kering.

Pola hidup warga yang tidak peduli pada kesehatan pribadi dan lingkungan memperparah kondisi itu. Mereka seakan membiarkan kasus gizi buruk menimpa anak meski mereka tahu anak itu menderita gizi buruk.

”Kami sudah beri penjelasan tentang bagaimana mengatasi gizi buruk. Buktinya, waktu dialog soal gizi buruk dan bagaimana mengatasinya mereka bisa jawab semua pertanyaan. Artinya, mereka paham tentang gizi buruk dan cara mengatasi,” kata Lado.

Persoalan gizi buruk di TTS menurut Lado sangat kompleks. Masalah utama adalah air bersih. Hampir semua anak balita di dusun itu tidak mandi dan jarang minum. Hanya dua keluarga di dusun itu yang memiliki sepeda motor, setiap hari pergi mengambil air untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga.

Warga setiap hari harus mengambil air bersih di Sungai Bentuka, 7 kilometer dari dusun itu. Biasanya warga hanya mengambil 2-3 jeriken berukuran 5 liter untuk minum dan masak. Mandi dan mencuci kurang diperhatikan.

Dua keluarga sudah berusaha menggali sumur dengan kedalaman 7-10 meter. Mereka berhasil mendapatkan air, tetapi rasanya asin. Air itu digunakan untuk mencuci, menyiram halaman rumah, dan kamar WC.

Pemerintah tahu kesulitan air bersih tersebut. Dalam setiap kunjungan kerja, warga selalu mengusulkan agar dibuat sumur bor yang lebih dalam untuk mendapatkan air bersih yang berkualitas. Tetapi, pemerintah menolak dengan alasan tidak ada biaya.

”Saat terjadi gizi buruk luar biasa dengan korban meninggal dunia puluhan orang, di situ baru pemerintah kirim air tangki ke lokasi kejadian. Setelah 2 sampai 3 pekan beroperasi, mobil tangki itu berhenti dengan alasan tidak ada lagi bahan bakar,” tuturnya.

Jumlah kasus gizi buruk di TTS dari Januari 2008 hingga 13 Juni 2008 sebanyak 3.116 kasus, gizi kurang 14.039 kasus, sedangkan korban meninggal dunia tiga orang.

Jika kasus ini tidak segera ditangani, memasuki bulan Juli-Desember 2008 jumlah korban meninggal dunia akan bertambah. KORNELIS KEWA AMA



Post Date : 05 Juli 2008