Ketika Dam Mencekik Sungai Dunia

Sumber:Gatra - 18 April 2007
Kategori:Air Minum
Sejumlah sungai di sejumlah negara di dunia banyak yang rusak. Akibat tercemar dan pembangunan bendungan. Kondisi sungai di Indonesia setali tiga uang alias rusak parah.

Siapakah sebenarnya ''bapak'' peradaban umat manusia? Bukan para filsuf, ilmuwan, apalagi negarawan. Sang bapak tak lain dan tak bukan: sungai. Dialah yang pertama kali menyediakan makanan, minuman, transportasi, bahkan tempat sampah massal bagi manusia.

Contohnya adalah munculnya peradaban Lembah Indus di DAS (Daerah Aliran Sungai) Indus. Kawasan di perbatasan Pakistan dan utara India itu berkembang pada periode 3.300-1.700 sebelum Kristus. Sebagian ahli percaya, peradaban inilah yang kemudian melahirkan sejumlah peradaban lain di kawasan Asia Tenggara. Mulai periode maharaja Hindu, kerajaan Islam, hingga era kolonialisme.

Lalu, bagaimana kini wajah sang pencipta peradaban itu? Nasibnya memang mengenaskan: keruh, banyak sampah, dan bau. Sebagian lagi alirannya hampir tercekik karena disudet, dihambat oleh irigasi, bendungan, dan waduk. Sejumlah aliran sungai terbesar dunia bahkan harus berjuang agar dapat mencapai lautan.

Itulah nasib yang menimpa Sungai Rio Grande, yang melintas dari perbatasan Amerika Serikat hingga Meksiko. Alirannya kadang-kadang gagal mencapai muara di Teluk Meksiko, gara-gara sudah habis disedot untuk irigasi dan dihambat oleh pembangunan dam.

Nasib yang sama dialami sungai-sungai besar yang bersejarah, seperti Sungai Indus dan Sungai Nil. Selain itu, sebagian besar warga kota-kota dunia tak ada lagi yang mengambil airnya sebagai sumber air minum. Itu tak lain karena sungai telah menjadi tempat sampah raksasa dan penyebab banjir.

Begitulah setidaknya laporan terbaru World Wide Fund for Nature (WWF). Lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup ini mengeluarkan laporan berjudul ''World's Top 10 Rivers at Risk'', Maret lalu. Laporan setebal 53 halaman ini dilansir untuk memperingati Hari Air Sedunia, 22 Maret lalu.

Lalu, apa pentingnya kondisi ini? ''Sungai-sungai yang kritis ini tentu berbahaya bagi kehidupan manusia,'' tutur Direktur Program Air Bersih Dunia WWF, Jamie Pittock. Jika kondisi sungai kritis, kata Jamie, juga berarti mengancam sejumlah masalah lainnya. Mulai bidang pembangkit listrik tenaga air, transportasi air, turisme, hingga masalah pengendalian banjir, biodiversitas flora dan fauna.

''Dari semua masalah itu, bagian terpenting adalah kondisi sungai yang kritis juga menunjukkan krisis air bersih,'' kata Jamie. Ujung-ujungnya, terjadi krisis makanan, pendapatan, dan sebagainya. ''Kondisi ini paling terasa bagi sejumlah komunitas di negara-negara berkembang,'' kata Jamie lagi.

WWF menyimpulkan, salah satu penyebabnya adalah kebijakan perencanaan dan pemeliharaan sungai yang payah. ''Krisis perubahan cuaca kini menjadi perhatian para pengusaha dan pemerintahan. Kami juga ingin mengimbau, masalah krisis air bersih yang berawal dari sungai-sungai kritis ini harus menjadi perhatian mereka,'' ujar Jamie.

Sungai-sungai yang diteliti WWF memang tidak sembarangan. Mereka adalah sungai-sungai besar dan bersejarah di dunia yang banyak melahirkan peradaban manusia. Misalnya Sungai Nil, yang mengalir melintasi 10 negara di Afrika, merupakan sungai terpanjang di dunia (6.695 km). Toh, rupanya kebesaran mereka sebanding dengan penderitaan yang terjadi tadi. Sebanyak lima sungai dari 10 sungai dunia yang diteliti WWF berada di kawasan Asia (baca: Rusak Karena Ulah Manusia).

Dari sekian banyak masalah yang ada, WWF mengidentifikasi setidaknya ada lima kondisi dan ancaman utama yang melanda sungai-sungai itu. Pertama adalah eksploitasi air sungai yang berlebihan. Itulah yang terjadi pada Sungai Rio Grande dan Sungai Gangga. Penggunaan sungai untuk pertanian dan konsumsi sehari-hari membuat debit airnya jauh berkurang.

Menurut WWF, warga India kini mengalihkan setidaknya 60% aliran Sungai Gangga untuk irigasi skala besar. Pengalihan air sungai terbesar adalah Waduk Farraka, yang terletak 18 km dari perbatasan Bangladesh. Waduk ini rata-rata mengalihkan debit air Gangga dari 2.213 meter kubik per detik menjadi hanya 316 meter kubik per detik untuk irigasi.

Masalah kedua menyangkut pembangunan bendungan dan infrastruktur lainnya yang banyak menyedot dan menghambat aliran air. Ini terjadi pada Sungai Salween yang melewati Cina-Myanmar-Thailand. Rupanya masing-masing negara sudah punya rencana sendiri untuk Salween.

Cina telah berencana membangun lebih dari 13 proyek PLTA skala besar yang banyak menyerap air Sungai Salween. Myanmar tak mau kalah. Pemerintah mereka telah merencanakan pembangunan sejumlah proyek bendungan skala besar dan menengah sepanjang Sungai Salween yang mengalir di wilayah mereka.

Tak hanya bendungan dan irigasi yang menjadi musuh sungai. Masalah ketiga adalah perubahan iklim. Itulah yang dialami Sungai Indus. Sungai ini memang sangat sensitif terhadap perubahan iklim, karena Indus banyak menerima pasokan air dari glasier di Pegunungan Himalaya. Sebanyak 70%-80% air Sungai Indus berasal dari Himalaya. Jika musim kering, pasokan air akan banyak karena glasier mencair. Sebaliknya, air akan menyusut jika musim dingin.

Namun, karena terjadi perubahan iklim, ''tata air'' seperti ini menjadi berubah. Intergovernmental Panel on Climate Change, lembaga antarnegara tentang perubahan iklim, melaporkan bahwa pemanasan global telah membuat pasokan air berlebihan ketika musim hujan dan sebaliknya terjadi kekeringan besar-besaran ketika musim kemarau.

Masalah terakhir adalah polusi. Kondisi itulah yang menimpa Sungai Yangtze. Betapa tidak, menurut kalkulasi WWF, setidaknya sebanyak 430 juta jiwa penduduk kini memanfaatkan dan tinggal di kawasan DAS Yangtze. Walhasil, badan Sungai Yangtze telah terbelit oleh berbagai industri skala besar dan kecil, bendungan, maupun proses sedimentasi di sana-sini.

Kaya Tapi Miskin

Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, Indonesia tercatat sebagai negara terkaya akan sungai. Data Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah 2004 menunjukkan, Nusantara memiliki sekitar 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak sungai. Panjang total sungai utama mencapai 94.573 km dengan luas daerah aliran sungai (DAS) mencapai 1.512.466 kilometer persegi.

Walau begitu, kekayaan ini tak diimbangi dengan sistem pengelolaan dan pelestarian sungai yang baik. Dari waktu ke waktu, kondisi sungai Indonesia terus memburuk. Menurut data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil, 2003), DAS dengan kondisi kritis terus meningkat. Dari sebanyak 22 DAS kritis (1984) menjadi 39 DAS (1992). Jumlahnya bertambah lagi menjadi 59 DAS kritis (1998) hingga 62 DAS kritis (2003).

Depkimpraswil mencatat, kondisi sungai pada umumnya mengalami penurunan kualitas air. Jadi, diperlukan pengelolaan kualitas air secara terpadu. Berbagai upaya menyehatkan sungai telah dilakukan. Misalnya, pelaksanaan program Prokasih (Program Kali Bersih) sejak 1989. Hingga setidaknya lima tahun kemudian, sudah ada 50 sungai yang menjadi pasien Prokasih.

Toh, rupanya laju kerusakan lebih cepat ketimbang program pemulihannya. Maklum saja, faktor yang merusak sungai lebih banyak. Dari pencemaran limbah rumah tangga dan industri, erosi dan sedimentasi, berkurangnya daerah resapan air, proyek irigasi dan bendungan, hingga pertumbuhan permukiman di bantaran sungai.

Karena itu, tentu program pemulihan harus dilaksanakan lebih banyak. Jika tidak, Indonesia menjadi negara kaya akan sungai tetapi miskin kebijakan pelestarian.Nur Hidayat



Post Date : 18 April 2007