Ketika Manusia dan Tanah Berebut Air

Sumber:Kompas - 17 Juli 2006
Kategori:Air Minum
Kreativitas acap kali muncul dalam keterdesakan atau saat-saat seseorang kepepet. Dalam situasi dan kondisi terkini, kekeringan melanda banyak wilayah, kreativitas masyarakat pun spontan muncul untuk menyiasati sulitnya mendapatkan air. Tiada irigasi, air got (selokan) pun jadilah.

Lantaran sulitnya mendapatkan air seiring datangnya musim kemarau, petani di Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, terpaksa menggunakan air got untuk mengairi sawah. Air got dari pemakaian di rumah sakit tersebut dialirkan ke sawah untuk mengairi padi yang mulai kekeringan. Upaya habis-habisan itu dilakukan untuk menyelamatkan tanaman padi, harapan hidup petani.

Paini (47), petani warga Kedanyang, Kecamatan Kebomas, misalnya, mengaku sangat terpaksa menggunakan air got dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gresik untuk tanamannya. Air got dialirkan dengan pipa paralon, bahkan ada yang terpaksa bolak-balik karena menggunakan wadah yang harus dipikul.

"Jika tidak mendapatkan air yang cukup, tanaman bakal puso," kata Paini cemas, yang menanam padi seluas 1 hektar.

Puso berarti tanaman gagal menghasilkan. Puso bermakna ancaman bagi petani dan sederet perut yang menanti penuh harap. Padahal, di tengah ancaman tak memperoleh hasil, menyembul pula kecemasan akan melonjaknya harga-harga kebutuhan hidup. Anak-anak segera masuk sekolah. Mereka butuh baju, sepatu, buku dan pensil, serta makanan.

"Sekitar satu setengah bulan lagi tanaman ini akan dipanen. Jika air kurang (seperti saat ini), dipastikan tanaman padi mengering. Hasil pun tak diperoleh," ujar Ruslan (50), warga Desa Kembangan.

Kesia-siaan mengancam. Tetapi, beruntunglah Ruslan, masih punya modal. Untuk mempertahankan dan menyelamatkan tanamannya, ia menyewa pompa air. Pompa itu digunakan untuk menyedot air dari Waduk Bunder, yang juga telah menyusut airnya. Biayanya cukup mahal. Sewa pompa Rp 60.000 per jam.

"Setiap hektar rata-rata membutuhkan waktu pengairan 6-10 jam. Berarti untuk menyedot air dibutuhkan biaya Rp 360.000 hingga Rp 600.000," kata Ruslan.

Situasi sulit juga tampak di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Petani menggantungkan harapan pada delapan embung atau waduk kecil yang dijadwalkan selesai akhir 2006. Pemkab Grobogan memang sudah berencana mempercepat penyelesaian proyek lima embung pada akhir Juli ini. Namun, kecil pula kemungkinan embung-embung itu dapat berfungsi, memenuhi harapan petani, mengingat ketika embung selesai dibangun, kemarau sudah telanjur parah. Air yang diharapkan bisa ditampung embung sudah sulit diperoleh.

"Lahan yang kami tanami kebetulan bukan sawah di jaringan irigasi sekunder. Air di sungai sudah surut dan sawah kami tidak menjangkau. Kami terpaksa membiarkan tanaman mati," ujar Karyono, Ketua Kelompok Tani Tegowanu. Mengenaskan.

Petani di Gubuk, Marjono, menuturkan, kemarau tahun ini sangat kering. Jika kemarau tahun lalu petani masih berharap menanam kedelai untuk menambah penghasilan, saat kemarau kali ini kedelai pun layu tidak bisa tumbuh.

Dari menanam kedelai di lahan setengah hektar saja, setelah dua setengah bulan petani sudah bisa panen. Hasilnya pun bagus, bisa mencapai 700 kg. "Sayangnya tanam kedelai pun mati, kekurangan air," kata Marjono.

Oh Jakarta

Kekeringan yang melanda Pulau Jawa yang memproduksi sekitar biji-bijian bukannya berakibat pada lahan pertanian. Kini bencana tersebut mulai menimbulkan dampak di Jakarta, ibu kota negeri ini, yang tak diperhitungkan sebagai produsen padi dan palawija.

Suplai air dari Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, ke Instalasi Pengolahan Air Pejompongan, Jakarta, merosot tajam. Pasokan air baku, yang seharusnya 6.200 liter per detik, pada 14 Juli lalu tinggal 3.000 liter per detik.

"Kami sungguh kelabakan dengan suplai air baku dari Bendungan Jatiluhur ke instalasi Pejompongan yang merosot hingga 50 persen," kata Ratna Indrayani, Manajer Humas Palyja di Jakarta, Jumat lalu.

Menurut Ratna, kondisi itu terjadi sejak dua pekan lalu. Sudah dua minggu ini pula konsumen di Cengkareng, Kapuk, dan Muara Angke makin jarang terlayani air bersih. Masyarakat di Jakarta Pusat pun terancam.

Saluran air baku dari Waduk Jatiluhur menuju Jakarta sejauh 70 kilometer. Menurut Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djendam Gurusinga, di sepanjang jalur itulah terjadi penurunan volume air, dampak kekeringan. Setiba di Jakarta, volume air baku itu diperkirakan hanya mencapai 12 meter kubik per detik.

"Secara kasarnya, pada musim kekeringan seperti saat ini sudah terjadi perebutan air baku, antara kebutuhan manusia dan kekeringan tanah yang kemudian secara cepat mengisap air yang lewat saluran," kata Djendam.

Pada sisi kiri dan kanan saluran air terhampar ribuan hektar tanaman padi yang krisis air. Sebagian petani terpaksa memompa air tersebut untuk menghidupi tanamannya.

"Tindakan petani itu memang salah, tetapi kami pun tidak bisa menghentikan. Kami terus mencari jalan keluar agar pemompaan air itu dihentikan," kata Slametto, Direktur Pengolahan Perum Jasa Tirta II.

Petani padi di hilir aliran air boleh saja disalahkan memompa air baku untuk air bersih warga Jakarta itu.

Mereka juga bisa disalahkan karena mungkin menanam di lahan tadah hujan, di luar jangkauan irigasi, atau di luar jadwal tanam yang direkomendasikan.

Namun, sungguh keterlaluan jika kita menutup mata akan kenyataan bahwa kekurangan air itu justru "dosa" para pembabat hutan, terutama di hulu sungai. Akibat ulah merekalah hujan sebentar pun sudah mengirim banjir, kemarau sedikit pun kekeringan, membuat tanaman merana.

Juga menyulitkan manusia yang tak mampu membeli air, kecuali menyandarkan air harapan pada alam. Tetapi lingkungan telah rusak, hancur tak keruan akibat keserakahan manusia juga.(DIS/ACI/JAN/NAW/WHO)

Post Date : 17 Juli 2006