Ketika Sampah (Politik) Sulit Dibusukkan

Sumber:Kompas - 10 Januari 2004
Kategori:Sampah Jakarta
TINGGINYA budaya suatu bangsa bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan sampah. Bangsa ini menganggap sampah sebagai barang yang tak berharga sehingga mencampakkannya begitu saja ke tempat-tempat pembuangan akhir. Barang buangan itu kemudian menggunung, seperti di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi, lalu menimbulkan masalah karena sulit dibusukkan menjadi unsur hara yang sangat berguna bagi kehidupan. Ketika pembusukan politik pun sulit dilakukan terhadap rezim yang otoriter dan korup, bangsa ini lalu jatuh ke jurang krisis multidimensi.

SECARA filosofis sampah sebenarnya harus dianggap sebagai benda berharga, bukan benda yang patut dibenci. Sampah bila dikelola (dibusukkan) secara beradab bisa menjadi bahan baku pembuatan pupuk, gas bio, dan lain-lain. Di alam, proses pembusukan merupakan salah satu proses terpenting, bagian dari siklus hara yang berkaitan erat dengan keseimbangan alam (homeostasis) dan kesinambungan kehidupan.

Semua sisa-sisa kehidupan secara perlahan tapi pasti akan busuk, kemudian terurai menjadi unsur hara atau sebagai "makanan" yang menopang kehidupan selanjutnya dan memberi ruang kepada generasi baru makhluk hidup. Sudah merupakan dalil bahwa dalam suatu ekosistem, tanpa adanya proses pembusukan, kualitas dan kuantitas kehidupan akan menurun menuju kepunahan.

Dengan kemajuan teknologi, proses pembusukan di alam dapat dipercepat untuk kepentingan manusia. Penimbunan sampah organik yang menggunung dapat dipercepat pembusukannya dengan menggunakan mikroba dan cacing tanah dalam tempat khusus yang berfungsi sebagai reaktor. Semua faktor lingkungan, seperti suhu dan kelembaban, dapat dikontrol dalam reaktor tersebut (continuous-flow reactor) sehingga berlangsung proses pembusukan yang optimum.

Penambahan sampah organik dan pemanenan hasil akhir kompos dilakukan secara otomatis. Percepatan pembusukan di alam memerlukan teknologi dan biaya yang tinggi, tetapi tetap laik (feasible). Hal ini karena setelah proses pembusukan berlangsung, efisiensi ruang dan estetika atau kesehatan menjadi lebih baik bagi masyarakat. Selain itu, hasil akhir pembusukan sampah organik, antara lain kompos berkualitas (20-25 persen dari bahan dasar sampah yang tidak berharga), dapat dimanfaatkan untuk agrobisnis.

Akan tetapi, semua itu tidak terjadi di republik ini. Lambatnya proses pembusukan sampah berjalan paralel dengan sulitnya pembusukan politik (political decay/decomposition politic) dalam sejarah pemerintahan negeri ini. Memang pembusukan politik dalam suatu pemerintahan dapat dianalisis dari segi cost and benefit dibandingkan dengan pembusukan yang terjadi di alam. Tetapi, percepatan pembusukan politik sering kali dianggap lebih murah dibandingkan dengan jika proses pembusukan politik dibiarkan lebih lama.

Dalam pemerintahan yang otoriter dan represif, percepatan pembusukan politik sangat sulit terjadi karena ada prinsip kestabilan semu yang didukung militer. Lihatlah proses pembusukan politik Orde Baru yang berlangsung lebih dari 30 tahun. Saat itu para politikus dan masyarakat dengan "sabar" menunggu percepatan pembusukan politik Orde Baru yang pasti terjadi karena semakin merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sebelumnya, bangsa ini harus menunggu lebih dari 350 tahun untuk merdeka dari penjajahan Belanda dan dari penjajahan Jepang yang sekitar 3,5 tahun. Pembusukan politik pemerintah kolonial waktu itu pasti terjadi walaupun sangat lambat karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.

Merdeka pasti lebih baik, prinsip ini dipakai oleh pemimpin kemerdekaan Soekarno-Hatta untuk menyatukan Bangsa Indonesia. Berbagai usaha pembusukan dari luar melalui separatisme dengan pemberontakan dapat diatasi karena prinsip persatuan itu. Tetapi, karena tidak adanya kontrol yang jelas terhadap pemerintah, pemerintah Orde Lama menjadi tidak peka terhadap tuntutan masyarakatnya.

Para pemimpin menjadi represif dan elitis, kesulitan ekonomi tak pernah habis-habisnya, rakyat tertekan. Saat itu mulai terjadi pembusukan politik dalam Pemerintahan RI yang baru lahir. Perlahan tapi pasti, akhirnya pemerintahan Orde Lama tumbang. Pembusukan politik memberi dasar liberalisasi, konsolidasi, dan transisi. Supaya proses transisi dapat tuntas, diperlukan transition of justice. Hal ini untuk menghindari adanya hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, tanpa kontrol yang jelas.

Seperti halnya di alam, proses transisi ini sangat peka. masyarakat awam, intelektual, dan mahasiswa dapat merupakan pendorong proses transisi sehingga berlangsung lancar. "Pembusukan politik sangat perlu untuk meluruskan arah transisi yang menyimpang dari reformasi," tulis Bintoro Gunadi, peneliti tamu di Soil Ecology Laboratorium, Ohio State University, AS, di harian ini beberapa waktu lalu.

Namun, pada kenyataannya bukannya terjadi pembusukan politik yang mengubah nasib negeri menjadi lebih baik, tetapi bermunculannya politisi busuk yang cenderung menghambat terjadinya proses itu. Benar-benar menyedihkan, di era reformasi, bangsa ini justru masuk jurang krisis multidimensi disertai utang menggunung seperti gunung sampah di Bantar Gebang.

KONDISI Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang sudah sedemikian parah karena asal mula penanganan sampah sangat gegabah. Selama belasan tahun sampah langsung dibuang bertumpuk tanpa ditimbun tanah sebagai syarat sanitary landfill. Sejak dibukanya 16 tahun lalu, berat tumpukan sampah Bantar Gebang sudah diperkirakan mencapai 36 juta ton. Bau menyengat akibat gunung sampah itu mencapai radius 15 kilometer.

Proses pengurukan sampah dengan tanah yang seharusnya dilakukan secara berkala untuk meredam bau sampah juga tidak dilakukan dengan benar. Warga di tiga desa sekitar TPA berkali-kali mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar segera memperbaiki sistem pengolahan sampahnya di Bantar Gebang. Surat protes telah dilayangkan ke meja gubernur. Unjuk rasa besar-besaran yang berpotensi kekerasan juga berulang kali digelar.

Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi berupaya mengambil alih pengelolaan TPA Bantar Gebang dari tangan Pemprov DKI. Tetapi ujung-ujungnya, setelah dilakukan negosiasi sana-sini, dengan berbagai uang kompensasi, TPA Bantar Gebang akhirnya dioperasikan kembali. Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sepakat menggunakan kembali TPA Bantar Gebang untuk menampung sampah warga Jakarta terhitung 1 Januari 2004.

Bekasi juga menuntut Pemprov DKI segera membayar dana kompensasi Rp 8 miliar bagi warga di sekitar TPA Bantar Gebang. Belakangan DKI memberikan kompensasi sebesar Rp 14 miliar untuk TPA Bantar Gebang. Selain dana kompensasi, Pemkot Bekasi masih meminta lagi uang retribusi sampah sebesar Rp 85.000 per ton kepada DKI.

"Ini semua demi masyarakat. Kasihan mereka sudah bertahun-tahun merasakan dampak kerusakan lingkungan akibat TPA Bantar Gebang," ujar Tjandra Oetama, Ketua Tim Pengelola TPA Bantar Gebang Pemkot Bekasi.

Usulan itu tentu saja membuat DKI berang. Karena merasa dipecundangi, Gubernur DKI Sutiyoso secara sepihak memutuskan untuk tidak lagi membuang sampah di Bantar Gebang. DKI lalu memindahkan tumpukan sampah ribuan ton ke daerah Cilincing dan Rorotan, Jakarta Utara. Kepala Dinas Kebersihan DKI Selamat Limbong mengatakan, penarikan uang retribusi itu tidak masuk akal karena lahan TPA Bantar Gebang adalah milik DKI.

Pembuangan sampah ke rawa-rawa jelas menunjukkan ketidaksiapan DKI untuk mengelola sampah warganya. Rawa-rawa yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air untuk mengendalikan banjir di Jakarta malah diuruk dengan ribuan ton sampah. Pembuangannya pun dilakukan dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) yang sangat merusak lingkungan. Pembuangan sampah ke rawa hanyalah memindahkan masalah dan bukan memecahkan persoalan.

Pakar lingkungan Prof Otto Soemarwoto menilai, persoalan sampah di Bantar Gebang yang mendapat penolakan dari warga sekitarnya sebenarnya tidak perlu terjadi jika Pemprov DKI sebagai pengelola mempelajari Protokol Kyoto yang terkait dengan pengelolaan sampah.

"Penolakan itu kan karena masyarakat tidak mendapatkan untung apa-apa. Kalau keberadaan sampah-sampah itu masih bisa memberikan keuntungan kepada masyarakat di sekitarnya, saya kira warga juga tidak akan menolak," tutur Otto.

Dalam Protokol Kyoto ini banyak sekali yang bisa dilakukan sehingga sampah masih bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tempat pembuangannya. "Dalam Protokol Kyoto disebutkan kalau pengelolaan sampahnya baik bisa dapat duit. Duitnya ini dibagi bersama dengan masyarakat di situ, jadi DKI dapat, masyarakat juga dapat. Dana itu besar jumlahnya. Saya baca misalnya di Belanda, Rumania menang tendernya dan dapat banyak," ujar Otto.

Persoalannya, Indonesia belum meratifikasi Protokol Kyoto. Karena itu, belum banyak pihak yang memahami apa-apa yang bisa dimanfaatkan dari protokol tersebut.

SAMPAH bisa dipandang sebagai kotoran sekaligus harta karun. Sebab yang namanya sampah organik itu selalu ada di mana-mana dan bagi yang memanfaatkan atau memproses akan mendapatkan uang. "Kalau bicara soal pertanian organik yang sekarang sedang ngetren, masyarakat yang sehat bisa lebih ditunjang dengan pemanfaatan sampah itu," kata Dr Suhirman (61) ahli biodeterioration of materials dari Porsmonth University, Inggris.

Mantan Kepala Kebun Raya Bogor (1990-1997) ini melihat bahwa di Norwegia tahun 1994 orang sudah menaruh perhatian pada produk pertanian organik, malahan pertanian dalam arti luas. Misalnya, kalau mereka minum sudah tak memakai gula, tetapi memakai madu. Mereka juga menghindari penyemprotan produkproduk pertanian menggunakan bahan kimia.

Mengenai pertanian organik itu, jelas intinya atau primadonanya adalah kompos. Kalau tanah itu dikompos dengan baik, tanah akan sehat. Kalau kelebihan air, tanah berkompos akan mendrainasekannya. Kalau kekurangan air di musim kemarau, air itu ditahan. Kompos mempunyai daya tahan terhadap zat-zat, seperti fosfor, nitrogen, dan elemen-elemen mikro, seperti magnisium dan polidenum. Tanpa kompos, begitu ada air akan terus larut. Karena itu, bila ada tanaman di tanah berpasir, kalau pun tumbuh akan kurus. Pertanyaannya, bisakah DKI Jakarta memanfaatkan harta karun itu? Jawabnya, bisa asal ada kemauan.

Di Belanda, misalnya, industri kompos membuat jalur jalan kereta api sendiri dan tidak lagi menggunakan angkutan truk seperti di Jakarta. "Jalur KA itu dibuat dengan rencana yang matang. Kita merencanakan kawasan industri bisa. Kawasan industri kompos harus ada kalau tidak ingin selalu kerepotan dengan tumpukan sampah," ujar Suhirman. Sebagai ladang sampah, ibu kota Republik ini tak akan kehabisan bahan baku kompos. Kalau bahan baku melimpah, semestinya harus ada pabriknya, sebab sampah tak bisa ditumpuk dari hari ke hari. Kalau ada pabrik kompos, begitu sampah masuk, secara otomatis akan dipilah oleh mesin pengolah sampah, antara kaleng, beling, plastik, sampah organik, dan lain-lain. Sampah yang telah terseleksi itu lalu dicacah oleh mesin pencacah. Selanjutnya masuk ke tabung pengolah dan beberapa saat kemudian keluar sudah menjadi kompos dalam karung. Di samping kompos, sampah juga bermanfaat untuk biogas.

Ketika menjadi Kepala Kebun Raya Bogor, Suhirman pernah mengoperasikan mesin mini pengolah sampah menjadi kompos. Ia banyak menerima pesanan untuk keperluan lapangan golf. "Lapangan golf itu kecil, tetapi kalau pertanian kan luar biasa kebutuhannya. Kalau kita memupuk anorganik tanpa pupuk organik yang cukup, itu akan tidak efisien. Ia akan mudah terbasuh oleh hujan," kata Suhirman.

Ia sudah melontarkan pemanfaatan sampah untuk kompos itu sejak tahun 1976. "Tetapi, sampai kini kok belum ada dari instansi pemerintah yang serius membuat industri kompos dari sampah. Mungkin ada prioritas lain sehingga pemanfaatan sampah untuk kompos diabaikan. Padahal, ini sebetulnya menyangkut citra bangsa. Oleh bangsa lain kita ditertawakan, ngurus sampah saja enggak becus," kata Suhirman.

Kompos asal sampah itu bisa dijual secara komersial karena kualitasnya cukup bagus. Karena tak ada dukungan politik dari pemerintah, kompos yang menguntungkan itu terabaikan. Padahal, pupuk organik ini dibutuhkan untuk usaha tani seperti sayuran. "Sekarang ini, pupuk ayam dipakai itu bagus-bagus saja, tetapi kalau dicampur kompos akan lebih bagus lagi," tambahnya.

Warga Republik ini benar-benar menderita ketika gunungan sampah maupun politik pemerintahan yang korup sulit dibusukkan. (pun/DMu)

Post Date : 10 Januari 2004