Ketika Sungai Berhenti Memberi Berkah

Sumber:Kompas - 13 Juli 2004
Kategori:Drainase
PADA medio Februari 2004, ratusan nelayan yang menetap di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Siak, mulai dari kawasan hulu di Tapung hingga hilir di Pekanbaru Kota, serentak meninggalkan pekerjaan mereka dengan satu tujuan, yakni mendatangi sebuah perusahaan pengolah minyak sawit di wilayah Kandis, Kabupaten Bengkalis. Mereka menggunakan sekitar lima truk dan menempuh jarak ratusan kilometer dari perkampungan terapung mereka. Tekad mereka hanya satu, yakni minta keadilan kepada perusahaan yang dinilai telah mencemari Sungai Siak dan menghancurkan sumber penghidupan mereka, yakni PT Mulia Unggul Lestari (MUL).

"Saat itu sudah banyak ikan yang mati di Sungai Siak, sampai bau busuknya pun tercium hingga ke permukaan air sungai. Selama hampir sepekan kami menghirup udara yang bercampur bau bangkai ikan itu," tutur Bustami di atas rumah terapungnya di Desa Kuala Tapung, Kabupaten Kampar.

Ia melukiskan, akibat kematian ikan-ikan itu, mereka tidak bisa menangkap ikan sama sekali. Akibatnya menjadi fatal karena satu-satunya sumber penghasilan mereka, yakni menangkap ikan di Sungai Siak, tiba-tiba harus berhenti akibat pencemaran limbah kelapa sawit yang memenuhi sungai itu.

"Bayangkan, induk ikan Kayangan yang sengaja kami pelihara bersama agar bisa terus menghasilkan keturunan ternyata ikut mati gara-gara pencemaran itu. Oleh karenanya, kami para nelayan bersepakat untuk mencari keadilan ke sumber limbah yang kami tahu itu tadi, sambil membawa serta induk ikan Kayangan sebesar delapan kilogram sebagai bukti," ungkapnya.

Seperti pernah diberitakan Kompas, saat itu kesepakatan antara nelayan dengan pihak perusahaan (PT MUL) tidak tercapai sehingga sempat menimbulkan tindakan anarkis dari para penangkap ikan yang putus asa ini. Akibatnya, seorang pimpinan PT MUL dan seorang petugas kepolisian sempat cedera, sedangkan kantor perusahaan rusak parah. Peristiwa ini berujung pada penahanan sekitar 70 nelayan di Markas Polda Riau di Pekanbaru selama satu malam, termasuk Bustami.

BELUM habis malapetaka itu, pada 8 Juni 2004, ribuan ekor ikan dari berbagai jenis dilaporkan mati di sepanjang aliran Sungai Siak, terutama di 100 kilometer dari arah hulu ke hilir atau mulai dari kawasan Tapung, Kabupaten Kampar, hingga ke Pekanbaru. Saat itu, ikan puntius, baung, kelabau, patin, tapah, silais, juaro, kapiek, udang galah, moa (belut air payau), hingga udang biru loreng yang langka ditemukan mati terapung di atas permukaan air Sungai Siak.

Ikan-ikan itu rata-rata ditemukan mati dengan insang yang memucat, mata buram, sementara organ tubuh bagian dalamnya masih dalam kondisi utuh. Meski sudah ada yang ditemukan mengeluarkan bau busuk, sebagian besar ikan yang mati itu belum sempat membusuk ketika ribuan warga Pekanbaru menjaringnya untuk dijadikan lauk.

Kepala Bagian Penanganan Pencemaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Riau Arbaini menjelaskan, kondisi ikan-ikan tersebut menunjukkan bahwa kematiannya disebabkan karena kehabisan oksigen dalam waktu yang lama. Sementara ikan-ikan yang mulai membusuk diperkirakan memang telah mati lebih lama dan telah menempuh jarak yang cukup jauh sebelum ditemukan di Pekanbaru.

Direktur Rona Lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri menyebutkan bahwa kematian ikan-ikan itu diakibatkan oleh menurunnya pasokan oksigen di dalam air dalam waktu lama. Hal itu terlihat dari menurunnya kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) di Sungai Siak yang pada 8 Juni 2004 menjadi hanya 0,2 hingga 0,71 bagian per milimeter (part per milimetre/ppm).

"Padahal, enam hari sebelumnya, kondisi DO sungai Siak masih mencapai dua hingga tiga ppm. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada satu pun biota Sungai Siak yang akan mampu bertahan hidup. Akibatnya, tidak hanya ikan, ular yang biasa memakan ikan pun ikut mati kehabisan udara," papar Ariful.

Dalam malapetaka tersebut, jumlah ikan yang mati pada satu hari itu saja dilaporkan mencapai 1,8 ton. Kasus kematian ikan di Sungai Siak saat itu jauh lebih parah dibandingkan dengan peristiwa kematian ikan serupa yang terjadi pada Juni 2003 yang hanya membunuh sekitar 300 kilogram ikan.

"Ini merupakan kasus kematian ikan yang paling parah sepanjang sejarah Sungai Siak. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman akan hilangnya populasi ikan di Sungai Siak mendekati kenyataan. Padahal, kita belum memiliki data yang lengkap tentang spesies-spesies flora dan fauna yang hidup di sungai ini," ungkap Ariful.

Mengingat peristiwa kematian ikan ini berulang pada setiap tahun, ia menegaskan bahwa gangguan terhadap ekosistem Sungai Siak dewasa ini telah menghancurkan habitat ikan- ikan yang hidup di sana.

"Kami menemukan belut Moa, yang biasa hidup di daerah muara, justru di kawasan hulu. Sementara kami juga menemukan jenis ikan lain yang biasa hidup di daerah hulu justru di daerah hilir. Itu menandakan bahwa pencemaran limbah yang terjadi di habitat mereka masih berlangsung dan makin memburuk karena hingga saat ini terus terjadi," ujar Ariful.

SECARA perlahan namun pasti, pencemaran limbah yang terjadi di Sungai Siak telah menimbulkan dampak yang memprihatinkan dalam kehidupan para nelayan di sepanjang DAS Siak. Kematian ikan-ikan akibat limbah itu telah menimbulkan kerugian nyata bagi kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan.

Ikan-ikan baung, patin, atau selais hanya sebagian jenis ikan bernilai ekonomis tinggi yang biasa dikonsumsi oleh warga berpenghasilan menengah ke atas di berbagai rumah makan atau restoran di Pekanbaru. Akan tetapi, nilai jual ikan-ikan tersebut mulai jatuh seiring dengan kematian massal itu.

Surya Chandra, seorang penangkap ikan di kawasan Rumbai, Pekanbaru, menyebutkan, ikan baung segar dapat laku dijual dengan harga Rp 35.000 per kilogram, sementara patin seharga Rp 30.000 per kilogram, dan ikan selais dapat dihargai Rp 35.000 per kilogram di pasar tradisional.

"Tetapi, sekarang harganya malah jatuh karena warga bisa menjaring sendiri langsung dari sungai, sementara pedagang pasar tidak mau membeli dengan harga tinggi karena ikan-ikan itu sudah tidak segar lagi," ungkap Surya.

Akibat kematian ikan dalam jumlah besar itu, Surya menjadi salah satu dari ratusan nelayan di Sungai Siak yang beralih profesi dari penangkap ikan menjadi sopir taksi. Alih profesi itu terjadi karena pekerjaan sebagai penangkap ikan di Sungai Siak sudah tidak bisa memberikan hasil yang menjanjikan lagi. (Orin Basuki)

Post Date : 13 Juli 2004