Khaotik "Abstrak"

Sumber:Kompas - 01 Desember 2010
Kategori:Climate

Mengapa gerak dunia (tampak) demikian lamban dalam merespons isu pemanasan global, terutama setelah Protokol Kyoto? Padahal, semua sektor telah mengungkap situasi apokaliptik yang bakal mereka hadapi pada pertengahan abad ini jika tak ada gerakan global radikal untuk menahan pemanasan global.

Ratusan juta orang bakal terusir dari tempat tinggalnya: akibat banjir, tenggelam oleh naiknya paras muka laut, atau karena bencana longsor, atau badai; jutaan orang akan kelaparan akibat puso, kekeringan, dan bencana banjir. Perubahan iklim dapat memicu genosida—seperti terjadi di Darfur, Chad timur, akibat perebutan sumber air.

Peluang bergerak secara global dan radikal selalu terbuka. Setiap tahun setidaknya ada delapan kali pertemuan dari berbagai level sebagai upaya mencari model tindakan bersama yang memadai untuk mengatasi pemanasan global. Toh, jalan tetap buntu.

Isu pemanasan global, penyebab perubahan iklim, tidak seperti isu lain pada umumnya, seperti ancaman perang. Hal ini antara lain karena skalanya yang global dan kita sepertinya hanya berurusan dengan masa depan. Padahal, dampak pemanasan global, baik langsung maupun tak langsung, sudah demikian sering terjadi dan intensitasnya pun semakin membesar. Prediksi ancaman pada masa depan selalu dituliskan dan dari waktu ke waktu gambarannya semakin mengerikan.

Namun, semua informasi tersebut tidak mempan, tidak mampu menggerakkan orang mengubah gaya hidupnya yang secara langsung menambah emisi gas rumah kaca (GRK)—penyebab pemanasan global. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim karena penguapan meningkat akibat semakin panasnya atmosfer dan permukaan laut. Semua fakta itu toh tetap ”berjarak” dengan kehidupan keseharian kita.

Keberjarakan tersebut terjadi karena pengalaman apokaliptik, katastropik yang mengancam peradaban manusia masih dipandang sebagai sesuatu yang tidak riil bagi hampir semua orang—karena tidak secara langsung bersentuhan dengan kehidupan kesehariannya. Kehidupan mereka masih ”baik-baik” saja: sibuk dan rutin.

Seperti diutarakan Anthony Giddens dalam bukunya, the Politics of Climate Change, politik perubahan iklim harus mengatasi ”Giddens paradoks”. Karena ancaman itu tidak tangible (nyata), tidak segera terjadi (immediate), maka seberapa pun hebat dampaknya, orang akan tetap berpangku tangan, menunggu hingga ancaman makin nyata dan akut sebelum mereka beranjak bekerja—dan... ketika itu semua sudah terlambat.

Itulah yang kini terjadi di dunia politik global. Lambatnya respons tersebut mendapatkan legitimasinya ketika sistem globalisasi mengambil alih seluruh narasi perundingan global—seperti Pertemuan Para Pihak ke-16 (COP-16) Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Cancun, Meksiko, 29 November hingga 10 Desember 2010 ini.

Di arena global muncullah pengelompokan negara-negara, polarisasi China-AS, negara maju-negara berkembang, dan sebagainya. Panel Ahli Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim akhirnya menjadi ”tameng” belaka. Mereka yang pertama kali ”ditinggalkan”. Padahal, merekalah yang memaparkan perkara ini secara keilmuan. Di sisi lain, para politisi amat sadar akan menangguk kekuasaan dan pengaruh jika turut dalam perdebatan isu panas ini: isu pemanasan global. Sementara isu pemanasan global tetap tinggal sebagai khaotik abstrak—apokaliptik itu tetap abstrak.... Brigitta isworo L



Post Date : 01 Desember 2010