Kinerja PDAM Kota Bandung

Sumber:Pikiran Rakyat - 12 Mei 2006
Kategori:Air Minum
TANGGAL 26 April 2006 PR menurunkan berita berjudul "Alasan Investasi Tarif Ledeng Naik". Di situ dikemukakan kinerja PDAM Kota Bandung 2005. Jumlah pelanggan 140.951. Jumlah produksi air 79.260.302 m3. Jumlah distribusi air 76.327.798 m3. Jumlah penjualan air 33.925.075 m3. Pendapatan Rp 87.342.585.000. Keuntungan Rp 3.531.681.625. Jumlah kebocoran air 35.764.906 m3. Marilah secara awam kita coba lakukan analisis atas data tersebut.

Jumlah produksi dibandingkan dengan debit air 2.500 liter/detik, atau setahun = 60 x 60 x 24 x 365 x 2.500 liter = 78.840.000.000 liter = 78.840.000 m3, relatif cukup wajar. Jumlah penjualan dibandingkan dengan jumlah air yang didistribusikan, raib sebesar 76.327.798 m3 - 33.925.075 m3 = 42.402.723 m3. Ratio air yang raib = 42.402.723 m3 : 76.327.798 m3 x 100% = 55%. Ini berarti setengah lebih dari jumlah air yang didistribusikan hilang! Sebagian besar dari yang raib 35.764.906 m3 diklaim sebagai kebocoran (49%). Sisanya 42.402.723 m3 - 35.764.906 m3 = 6.637.817 m3 (6%) entah menguap ke mana!

Harga jual rata-rata/m3 = pendapatan : quantity penjualan = Rp 87.342.585.000 : 33.925.075 = Rp 2.575/m3. (Menurut PDAM Rp 1.800). Nilai air yang raib = 42.402.723 x Rp 2.575 = Rp 109.187.011.725. Biaya = Rp 87.342.585.000 - Rp 3.531.681.625 = Rp 83.810.903.375. Ratio biaya = Rp 83.810.903.375 : Rp 87.342.585.000 x 100% = 96%. Ratio keuntungan = Rp 3.531.681.625 : Rp 87.342.585.000 x 100% = 4%.

Ratio di atas tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena dalam jumlah pendapatan termasuk penerimaan dari jasa pelayanan air kotor sebesar 30%, yang seharusnya dilaporkan terpisah pada pos penghasilan lain-lain. Jika dilaporkan secara terpisah sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim berlaku, maka gambaran kinerja menjadi sbb. : Pendapatan = 100/130 x Rp 87.342.585.000 = Rp 67.186.604.000. Rasio biaya = Rp 83.810.903.375 : Rp 67.186.604.000 = 125%. Laba usaha = Rp 67.186.604.000 - Rp 83.810.903.375 = (-) Rp 16.624.299.000. Rasio laba usaha = (-) Rp 16.624.299.000 : Rp 67.186.604.000 = (-) 25%. Ini berarti PDAM menderita rugi usaha cukup besar. Penghasilan lain-lain 30/130 x Rp 87.342.585.000 = Rp 20.155.981.000. Keuntungan (laba bersih) = laba usaha + penghasilan lain-lain = (-) Rp 16.624.299.000 + Rp 20.155.981.000 = Rp 3.531.682.000.

Berdasarkan hasil analisis tersebut kiranya direksi PDAM harus melakukan investigation audit. Ratio biaya mencapai 125% dari pendapatan. Dalam pos biaya mana telah terjadi inefisiensi? Mengapa? Ratio laba usaha (-) 25%. Mengapa? padahal PDAM adalah perusahaan monopoli. Ratio air yang hilang dalam distribusi sangat tinggi 55%. Apakah yang dilaporkan sebagai kebocoran 35.764.906 m3 semuanya karena rusaknya pipa saluran, atau karena "bocor" yang lain? Demikian juga sisa air yang hilang lainnya 6.637.817 m3, kemanakah itu?

Keuntungan Rp 3.531.682.000 diperoleh karena kontribusi jasa pelayanan air kotor sebesar Rp 20.155.981.000. Mungkin kondisi begini telah berjalan lama. Alih-alih untuk membuat jaringan, hasil retribusi air kotor digunakan untuk menomboki kerugian usaha. Padahal pungutan retribusi air kotor yang selama ini dilakukan oleh PDAM itu menyalahi aturan tentang pemungutan retribusi pada umumnya (PR 21 Pebruari 2006 "Retribusi Air Kotor PDAM, Adilkah?"). Retribusi seharusnya hanya dipungut kepada mereka yang memperoleh imbalan langsung atas jasa pelayanan yang dipungut retribusi tersebut. Tetapi PDAM memungut retribusi air kotor kepada semua pelanggan air bersih tanpa melihat apakah dia menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM atau tidak.

Semua pelanggan air bersih diwajibkan membayar retribusi jasa pelayanan air kotor sebesar 30% dari jumlah pemakaian air bersih. Misalnya seorang pelanggan golongan tarif Rumah Tangga 2A3 tiap bulan rata-rata memakai air bersih 100 m3 (Rp 252.000,00). Maka retribusi air kotor yang wajib dibayarnya tiap bulan adalah sebesar 30% x Rp 252.000,00 = Rp 75.600,00. Semakin besar dia memakai air bersih, akan semakin besar pula retribusi yang harus dibayar. Masih oke kalau dia menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM, walaupun dalam hal ini perlu diingat bahwa salah satu faktor dari retribusi adalah harus ada pilihan (alternatif).

Kalau dia merasa tarifnya terlalu mahal, dia bisa minta pemutusan hubungan atas instalasi pembuangan limbah air kotor itu. Tidak ada paksaan dalam retribusi, selalu harus ada pilihan. Bagaimana kalau dia bukan pengguna instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM? Karena dia juga diwajibkan membayar retribusi jasa pelayanan air kotor, maka pungutan tersebut sungguh tidak adil.

PR 7 Maret 2006 memuat berita berjudul "PDAM Kota Bandung Pungut Biaya Jasa Air Kotor". Diberitakan bahwa : "Sejak Februari 2006, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung, memungut biaya jasa pelayanan air kotor sebesar Rp 5.000,00 kepada masyarakat pengguna instalasi air limbah PDAM. Menurut Meliana (Humas PDAM), pelayanan air kotor ini ditujukan kepada masyarakat yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor dari PDAM.

Dari instalasi ini, limbah kemudian diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang ada di Bojongsoang agar tingkat pencemarannya berkurang sebelum dibuang ke sungai". Secara tegas dalam berita itu beberapa kali disebutkan, bahwa pungutan biaya jasa pelayanan air kotor itu ditujukan kepada masyarakat yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM. Artinya hanya ditujukan kepada mereka yang memperoleh imbalan langsung saja. Sedangkan mereka yang tidak menggunakannya, tidak dikenai pungutan. Khusus bagi pelanggan air bersih dikatakan: "Bagi pelang-gan air bersih, tagihan langsung dimasukkan ke masing-masing rekening". Dari isi berita itu dapat disimpulkan bahwa bagi pelangan air bersih :

a. Yang tidak menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM, tidak dikenai tagihan biaya jasa pelayanan air kotor dalam masing-masing rekening.

b. Yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM, akan dimasuk-kan tagihan biaya jasa pelayanan air kotor sebesar Rp 5.000,00 ke dalam masing-masing rekening.

Pelanggan air bersih pasti gembira. Pungutan biaya pelayanan air kotor tidak lagi menjadi momok. Pungutan itu hanya dikenakan kepada pelanggan air bersih yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM saja. Jumlahnya pun relatif tidak besar hanya Rp 5.000,00. Namun ketika dikonfirmasikan ke PDAM melalui Sdr. Umar Salim, Kepala Bagian Operasional Air Kotor, jawabannya sungguh amat bertentangan. Katanya ketentuan itu hanya ditujukan kepada mereka yang bukan pelanggan air bersih, yang selama ini tidak terjangkau oleh kewajiban untuk membayar biaya pelayanan air kotor. Sedangkan terhadap pelanggan air bersih tetap diwajibkan untuk membayar biaya pelayanan air kotor sebagaimana yang selama ini berlaku, dan tarifnya pun tetap sebesar 30% dari jumlah pemakaian air bersih. Penerapannya juga masih tetap seperti yang selama ini berlaku, tidak melihat apakah dia mengguna-kan instalasi pembuangan limbah air kotor dari PDAM atau tidak.

Setiap produk hukum harus dibuat dengan merujuk kepada peraturan yang sebelumnya. Karena ketentuan mengenai pungutan retribusi air kotor yang sekarang hanya dikenakan kepada mereka yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor dari PDAM saja (memperoleh imbalan langsung), maka perlu dikaji ketentuan yang sebelumnya apakah juga berlaku demikian. Jika berlaku sama, maka tidak ada masalah. Kedua ketentuan itu bisa berjalan seiring. Tetapi karena ketentuan yang lama mengenakan pungutan kepada semua pelanggan air bersih tanpa melihat apakah menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM atau tidak, artinya bertentangan dengan ketentuan yang baru, maka ketentuan yang lama harus dicabut.

Ketentuan yang baru harus mengakomodasi ketentuan lama yang dicabut, yaitu harus berlaku juga bagi pelanggan air bersih dengan perlakuan yang sama. Karena peraturan yang lama tidak dicabut, maka terjadi ketentuan yang tumpang-tindih dan tidak sinkron, sehingga menimbulkan ketidak-adilan yakni:

a. Sama tidak menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM, tetapi pelanggan air bersih diwajibkan untuk membayar retribusi air kotor sementara yang bukan pelanggan air bersih tidak dikenakan pungutan walaupun berlimpah-ruah menggunakan air jet pump.

b. Sama menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor PDAM, tetapi pelang-gan air bersih harus membayar dengan jumlah yang jauh lebih besar sementara yang bukan pelanggan air bersih hanya dikenakan pungutan sebesar Rp 5.000,00.

Suatu produk hukum harus dibuat dengan sebesar mungkin memerhatikan rasa keadilan. Oleh karena itu hendaknya pemerintah beserta DPRD Kota Bandung dapat meninjau kembali ketentuan tentang retribusi air kotor. Pungutan hendaknya hanya dikenakan kepada mereka yang menggunakan instalasi pembuangan limbah air kotor dari PDAM saja. Sedangkan terhadap mereka yang tidak menggunakannya agar tidak dikenakan pungutan. Jangan jadikan pelanggan ledeng sebagai sapi perah.

Alasan yang dikemukakan oleh PDAM : "Biaya tersebut (jasa pelayanan air kotor) difungsikan sebagai upaya membantu kesehatan masyarakat miskin perkotaan melalui keberadaan jaringan air kotor sekaligus untuk biaya pemeliharaan dan pengelolaannya" (PR 13 April 2006). Penyelenggaraan pelayanan masyarakat dan fasilitas umum seperti taman kota, pemakaman, tempat pembuangan akhir sampah, saluran air kotor, adalah kewajiban pemerintah kota. Jika mampu pakai dana sendiri (APBD). Jika tidak mampu cari pinjaman atau gandeng swasta. Setelah sarana dan prasarananya tersedia, baru pungut retribusi. Yang masuk taman kota, yang dikubur, yang buang sampah, yang menggunakan saluran air kotor, kenakan retribusi. Tetapi yang tidak menikmati, jangan dipungut. Ini baru benar retribusi. Jangan bebankan kepada segelintir anggota masyarakat seperti pungutan jasa pelayanan air kotor. Itu bukan retribusi, tetapi "pungutan paksa" namanya.

Mari lanjutkan analisis awam kita dengan "berandai-andai". Andai pipa saluran seluruhnya baik, maka data kinerja PDAM 2005 akan berubah total. Jumlah distribusi 76.327.798 m3. Toleransi kebocoran (10% cukup wajar) = 7.632.780 m3. Penjualan = 76.327.798 m3 - 7.632.780 m3 = 68.695.018 m3. Harga jual rata-rata/m3 = Rp 2.575. Tetapi karena termasuk pungutan jasa pelayanan air kotor sebesar 30%, kita keluarkan dahulu. Harga jual rata-rata/m3 bersih = 100/130 x Rp 2.575 = Rp 1.980. Pendapatan = 68.695.018 x Rp 1.980 = Rp 136.016.135.640. Biaya Rp 83.810.903.375. Laba usaha = Rp 136.016.135.640 - Rp 83.810.903.375 = Rp 52.205.232.265. Rasio biaya = Rp 83.810.903.375 : Rp 136.016.135.640 x 100% = 62%. Rasio laba usaha = Rp 52.205.232.265 : Rp 136.016.135.640 x 100% = 38%.

Sungguh sangat menarik! Maka mengapa tidak segera melaksanakan penggantian pipa yang bocor? Jangan hanya menjadi wacana. Jangan ditangguh-tangguhkan. Sudah berapa orang Direktur Utama PDAM Bandung mengemukakan tentang pipa saluran: rusak, bocor, tua, aus, peninggalan Belanda, dan lain-lain, tetapi perbaikan menyeluruh tidak pernah dilakukan. Hanya main tambal sulam saja. Jangan sampai menimbulkan prasangka bahwa karena isu kebocoran sangat reasonable digunakan untuk menutup-nutupi "kebocoran", maka perbaikan pipa yang rusak selalu dibiarkan berlarut-larut.

Bila pipa tidak bocor maka tekanan blower akan tinggi, sehingga pelanggan tidak perlu menyedot pakai Sanyo. Tidak masalah biayanya Rp 100 juta atau lebih per km. Jika pipa yang bocor panjangnya 60 km atau 100 km, biaya yang dibutuhkan "hanya" berkisar Rp 10 - 20 miliar. Dananya bisa pakai pinjaman dari bank. Melihat hasil analisis, kiranya banyak bank dan atau lembaga keuangan lainnya yang dengan senang hati akan bersedia memberikan pinjaman karena sangat feasible, asal semuanya dilakukan secara transparan. Bisa juga dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak swasta (investor), tetapi jangan buru-buru mengasumsikan kenaikan tarif. Tanpa menaikkan tarif pun, tanpa memaksa pelanggan air bersih membayar retribusi pelayanan air kotor fiktif pun, PDAM bisa untung Rp 52 miliar.

Oleh Drs. H. TEDDY SANGUDY, Ak.Penulis, akuntan tinggal di Bandung.

Post Date : 12 Mei 2006