Kisah PDAM Pertama di Indonesia Yang Menyuplai Air Siap Minum

Sumber:Majalah Air Minum - 30 September 2008
Kategori:Air Minum

Pada tanggal 8 September 1999, terukir satu momen penting dalam sejarah perairminuman Indonesia. Pendistribusian air siap minum langsung dari keran (potable water) oleh PDAM Kabupaten Buleleng diresmikan Menteri Kesehatan RI. Dengan peresmian itu, PDAM Kabupaten Buleleng berhasil menjadi PDAM pertama di Indonesia yang menyuplai air siap minum sesuai standar Depkes dan WHO

Kawasan pelayanan air siap minum itu mencakup wilayah barat Kota Singaraja dan kawasan wisata Lovina yang terkenal dengan pantai yang indah dan suasana yang khidmat. Saat diresmikan, daerah pelayanan air siap minum itu baru meliputi 4 ribu sambungan di 8 desa. Hingga saat ini, cakupan layanan air siap minum telah berkembang menjadi 12 ribu pelanggan di 12 desa/kelurahan, atau sekitar 30% dari total pelanggan PDAM Buleleng.

Sumber air yang digunakan untuk suplai air siap minum diperoleh dari mata air Mumbul yang dipompa ke reservoir Tegal Sari. Dari reservoir ini air dialirkan secara gravitasi ke wilayah pelayanan.

Keberhasilan PDAM Buleleng menyuplai air siap minum tidak terlepas dari peranan proyek bantuan pemerintah Jerman, GTZ. Proyek dimulai pada tahun 1992 sampai 1997 berupa bantuan teknis, pemasangan pipa distribusi dari bahan PVC, dan pengadaan peralatan laboratorium. Dalam rentang waktu tersebut juga dilakukan pelatihan-pelatihan, termasuk penggunaan program pencegahan korosi. Pada tahun 1998, Standard Operating Procedure (SOP) disusun dan suplai air siap minum diuji coba.

Atas keberhasilan itu, PDAM Kabupaten Buleleng memperoleh sejumlah penghargaan nasional. Tiga tahun berturut-turut sejak 2005, PDAM ini meraih penghargaan terbaik di bidang Cipta Karya Sub-Bidang Penyelenggara Air Minum Terbaik tingkat Nasional untuk kategori kota sedang/kecil. Prestasi tingkat nasional lainnya yaitu trofi Abdi Satya Bhakti dan piala Citra Pelayanan Prima 2006. PDAM Buleleng dinilai mampu memanfaatkan, menyuplai dan memelihara kualitas air minum yang prima, di samping memiliki kelembagaan yang kuat, manajemen yang solid, dan menjalin hubungan yang sangat baik dengan masyarakat.

PDAM yang dicintai masyarakat

Telah lama ada rasa penasaran tentang PDAM Buleleng yang harum namanya, namun belum pernah terekspos secara khusus di majalah ini. Akhirnya, Majalah Air Minum berkesempatan mengunjungi PDAM ini pada hari-hari menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan RI ke 63, Agustus lalu.

Di kantor PDAM Buleleng yang asri di kawasan perkantoran pemerintah di Kota Singaraja, wartawan Majalah Air Minum bertemu dengan Direktur Umum P.R. Mundarto, Direktur Teknik Nyoman Yuliartha, dan staf Humas Made Rudi Hartono. Direktur Utama Nyoman Arta Widnyana pada saat itu sedang mengikuti rapat dengan Pemkab Buleleng.

Ketika meninjau ruangan-ruangan di kantor tersebut, para staf menyapa dengan keramahan yang khas, seolah-olah kita sedang berada di sebuah hotel bintang lima. Pelayanan yang prima juga tampak di counter pembayaran rekening, maupun counter yang melayani keluhan pelanggan secara langsung.

Dalam bincang-bincang yang hangat, Direktur Umum Mundarto mengungkapkan bahwa PDAM Buleleng beruntung karena memiliki sumber mata air yang kualitasnya sangat bagus. Ini salah satu faktor yang memudahkan dilaksanakannya proyek air siap minum. Plus lagi, menurut Mundarto, sejak dulu masyarakat sudah punya kebiasaan minum air langsung dari sumber tanpa dimasak.

Diakui walaupun telah melayani 90% penduduk Kota Singaraja, cakupan layanan PDAM Buleleng bagi seluruh kabupaten baru kira-kira 30% dari sekitar 650 ribu jiwa penduduknya. Dari 148 desa/ kelurahan di kabupaten tersebut, 67 desa dilayani oleh PDAM, sedangkan sebagian besar sisanya memperoleh air bersih dengan sistem swakelola.

Satu fakta yang diamati oleh Majalah Air Minum ketika berkeliling Kota Singaraja dan berbincang dengan masyarakat setempat, PDAM Buleleng memang memiliki citra yang sangat positif di mata masyarakat. Bahkan ada suatu kebanggaan karena mereka tahu bahwa PDAM Buleleng adalah salah satu PDAM yang terbaik di Indonesia.

"Air mengalir 24 jam. Tekanannya bagus, dan kualitas airnya tidak pernah ada masalah," kata Wayan Mido, warga sebuah perumahan di Kota Singaraja. Meskipun anak-anaknya lebih suka meminum air kemasan, Wayan Mido mengaku lebih sering meminum air langsung dari keran.

Hasan Nosichan, warga di kompleks perumahan yang sama, memuji pelayanan PDAM yang tidak pernah mengecewakan. "Tidak salah lagi, PDAM kita ini kan PDAM terbaik di Indonesia," ujarnya.

Beberapa pelanggan yang ditemui wartawan Majalah Air Minum menyatakan tarif PDAM tergolong murah. Rata-rata pembayaran rekening mereka tidak lebih dari Rp 150 ribu setiap bulan.

Dengan tarif dasar Rp 800 per meter kubik, menurut Mundarto, sudah tercapai full cost recovery, dan PDAM selalu memperoleh keuntungan. Hebatnya, tarif yang berlaku bagi kawasan air siap minum dengan yang di luar kawasan ternyata tidak berbeda. Tapi sejauh ini tidak ada masalah yang cukup berarti yang mungkin timbul dari kecemburuan pelanggan atas penyamaan tarif itu.

Sementara itu, Direktur Teknik Nyoman Yuliarta mengkonfirmasi bahwa semua wilayah pelayanan mendapat pengaliran 24 jam, dengan tekanan rata-rata 0,8 atm pada jam puncak. Di luar jam puncak antara 2 sampai 3 atm. Dengan total kapasitas produksi sekitar 500 liter per detik saat ini, PDAM Buleleng melayani sekitar 31 ribu pelanggan.

Menurut Humas PDAM Buleleng Made Rudi Hartono, sudah sejak lama PDAM memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan masyarakat, terutama pelanggan.

"Masyarakat paham keadaan PDAM dan mereka bangga pada PDAM," kata Rudi.

Pelayanan prima yang diterapkan di PDAM ini menganut prinsip "Pelayanan Terbaik adalah Kewajiban Kami", yang menjadi spirit bagi semua pegawai. Mereka diharuskan melayani dengan ramah dan sopan serta memberikan informasi yang benar dan pasti. Kotak saran disediakan di loket pengaduan dan pembayaran.

Pengaduan dari pelanggan dilayani baik secara langsung, melalui telepon, komunikasi radio amatir, SMS, maupun email. Penanganan keluhan pelanggan dilakukan secara cepat dan tepat oleh Tim Distribusi, dan selalu dipantau oleh Direksi.

Hebatnya lagi, PDAM ini berani melakukan pengembalian seketika atas kelebihan pembayaran rekening air minum jika terjadi kesalahan baca stand meter air.

Hubungan antar pegawai diakui juga sangat bagus dan terbuka. Tidak ada jarak yang jauh antara atasan dan bawahan.

"Ada staf dari PDAM lain datang ke sini merasa heran kok atasan dan bawahan di sini bisa begitu akrab, sedangkan dia untuk ketemu sama atasannya saja susah sekali," cerita Rudi.

Masalah perlakuan akuntansi

Kinerja keuangan PDAM ini menurut pemeriksaan BPKP wajar tanpa pengecualian. PDAM Buleleng masih punya utang, tapi dibayar secara lancar.

Satu hal yang menarik, meskipun PDAM Buleleng memiliki prestasi yang membanggakan, tergolong PDAM sehat dan profit, diakui sendiri oleh beberapa staf bahwa kesejahteraan mereka belum terlalu menggembirakan. Standar gaji pegawai PDAM masih di bawah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika PNS bisa menikmati kenaikan gaji secara berkala, PDAM tidak.

Menurut Mundarto, kenaikan gaji pegawai PDAM Buleleng yang berjumlah 226 orang itu harus didahului oleh kenaikan tarif, sedangkan tarif tidak bisa setiap tahun naik. Dengan adanya inflasi, pendapatan perusahaan tidak bertambah, padahal biaya operasional selalu naik.

Hal yang mengganjal mengapa PDAM ini tidak dapat memberikan reward yang lebih tinggi kepada pegawai adalah adanya aturan bahwa anggaran gaji pegawai tidak boleh lebih dari 30% anggaran perusahaan. Tapi selain itu juga karena adanya perlakuan akuntansi yang menganggap pendapatan sambungan baru sebagai keuntungan seketika, sehingga dikenai pajak 30%. Ini menyebabkan PDAM seperti tertahan dalam penambahan jumlah pelanggan.

Keuntungan PDAM dianggap sebagian besar dari pendapatan sambungan baru. Keuntungan dari penjualan air lebih kecil. "Padahal pendapatan sambungan baru ini kan tidak ada uangnya. Tarif sambungan baru Rp 850.000, biaya yang dikeluarkan PDAM juga sebanyak itu, berarti nol. Karena aturan akuntansi yang berlaku, itu dianggap sebagai pendapatan PDAM, kena pajak laba perusahaan 30%," kata Mundarto.

"Kalau kita mengadakan gebyar sambungan baru, PDAM bisa bangkrut. Umpama ada 10 ribu sambungan baru, kita dapat Rp 8,5 M, padahal uangnya tidak ada. Di kas ada uang misalnya Rp 1 M. Kena pajak anggaplah Rp 3 M. Kita tidak mampu bayar. Ditambah lagi untuk PAD 55%," lanjut Mundarto.

Terpaksa untuk membayar pajak dan PAD itu diambil dari hasil penjualan air yang sebetulnya tidak banyak.

Masalah ini, jika dilihat dalam kerangka yang lebih besar, terutama berkaitan dengan target pemerintah memperluas akses masyarakat terhadap air bersih, adalah sebuah ironi. Bagaimana mungkin PDAM bisa menambah pelanggan (memperluas cakupan layanan) kalau dirasakan malah sebagai beban karena justru mempersulit keuangan PDAM yang sudah untung.

Kalau dulu, kata Mundarto, perlakuan akuntansinya berbeda. Sambungan baru dianggap pendapatan, tapi bukan seketika. Karena dianggap umurnya 10 tahun, maka dianggap pendapatan yang ditangguhkan. Dibagi 10 tahun berarti Rp 85 ribu tiap tahun, penyusutan juga 10 tahun.

"Kalau tidak hati-hati likuiditas bisa terganggu. Maka kita pakai trik, kalau bisa jangan terlalu banyak sambungan baru. Nanti kita tidak bisa bayar pajaknya. Kalau dilihat fungsi sosial dan komersil, terpaksa sosial kita tahan-tahan. Tapi ini kan justru menghambat perluasan cakupan layanan. Program pemerintah bagaimana pelayanan meningkat tidak bisa jalan. Kecuali akuntansinya diubah," kata Mundarto.

"Kita selalu kalah suara kalau mengangkat masalah ini di forum nasional, karena kebanyakan PDAM merugi, sedangkan kita termasuk PDAM yang untung. Kita kena pajak, yang rugi tidak," ujarnya lagi.

Bila memungkinkan ia berharap perlakuan akuntansinya kembali seperti dulu. Tapi risikonya, perhitungan pendapatan menjadi kecil sehingga PAD juga menjadi kecil. Inilah yang menjadi kontradiksi. Untuk itu pihak Pemda perlu menyadari sistem akuntansi yang fair bagi PDAM.

Debit menyusut

Beberapa persoalan besar mulai menghantui PDAM Buleleng. Di bidang teknis, seperti disinyalir oleh Direktur Teknik Nyoman Yuliarta, salah satunya adalah mulai menyusutnya debit dari sumber mata air. Karena itu, belakangan ini, PDAM beralih dari mata air ke sumur bor. Meskipun saat ini kualitasnya masih bagus dan kuantitasnya mencukupi, namun dalam jangka panjang menjadi tanda tanya, mengingat permintaan pelanggan semakin meningkat.

Kehilangan air PDAM ini tidak lebih dari 20%. Sesuatu yang sulit dicapai oleh mayoritas PDAM di Indonesia. Menurut Yuliarta, tiap tahun ada pengecekan kebocoran. Pihaknya beruntung karena drainase kota sudah tertata lumayan rapi sehingga memudahkan pengecekan.

Distribusi air PDAM Buleleng sebagian besar dilakukan dengan pengaliran gravitasi perpompaan (70%) langsung ke jaringan, terutama yang sumbernya berasal dari sumur bor. Hanya 30% pengaliran yang menggunakan gravitasi murni.

Masalah krusial lain, khususnya di bidang sumber daya manusia, diakui oleh Direktur Umum Mundarto, adalah kualitas pegawai PDAM Buleleng yang rata-rata dirasakan masih kurang memadai. Namun, untuk upaya peningkatan, diakui pula bahwa PDAM masih bersifat pasif. Hanya kalau ada penawaran pelatihan, misalnya dari Dinas PU atau Perpamsi, baru PDAM mengirimkan karyawan untuk mengikutinya sesuai kebutuhan. Dikatakan Mundarto, jenjang karir di PDAM Buleleng sudah jelas dengan ketentuan baku yang berlaku sama bagi semua pegawai. Per tahun, seorang pegawai rata-rata dapat menerima gaji 15 kali.

Sejak zaman Belanda

Kota Singaraja, kota kedua terbesar di Provinsi Bali setelah Denpasar, dulunya adalah pusat kekuasaan kolonial Belanda di Pulau Dewata. Sistem penyediaan air minum di Kota Singaraja dimulai oleh pemerintah Belanda pada tahun 1902, memanfaatkan sumber mata air di Desa Padang Belia. Pengaliran menggunakan sistem gravitasi dari reservoir di Bantang Banua.

Pada tahun 1955, dibentuk Perusahaan Air Minum (PAM) Negara Singaraja oleh Pemerintah RI dan dilakukan penambahan kapasitas memanfaatkan sumber mata air Mumbul yang terletak di tengah Kota Singaraja. Dibangun pula reservoir Giri Putri berkapasitas 550 meter kubik. PAM Negara terus melakukan penambahan kapasitas produksi sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat.

Pada tahun 1979, PAM Negara Singaraja diubah menjadi Badan Pengelola Air Minum (BPAM) Kabupaten Dati II Buleleng. Pada tahun 1986, BPAM itu diserahkan oleh Menteri PU kepada Gubernur Bali, untuk kemudian diserahkan oleh Gubernur kepada Bupati Buleleng. Dan sejak itu, berdirilah PDAM Kabupaten Buleleng dengan Perda No. 1 tahun 1984. Karena itu, walaupun perjalanannya telah demikian panjang, usia ini PDAM Buleleng baru terhitung 22 tahun, yang diperingati pada tanggal 10 September 2008 yang lalu.

Sejak beberapa tahun yang lalu PDAM Buleleng juga memproduksi air minum kemasan bermerek Yeh Buleleng. Pengelolaannya dilakukan oleh sebuah perusahaan yang dibentuk oleh PDAM Buleleng yaitu PT Tirta Mumbul Jaya Abadi.

Perkembangan usaha air minum kemasan itu selama tiga tahun terakhir cukup positif karena citra PDAM yang sudah terpatri baik di mata masyarakat. Permintaan terhadap air kemasan Yeh Buleleng itu tidak hanya datang dari penduduk Kabupaten Buleleng, tapi juga dari kabupaten lain di Bali. Perusahaan pengelola Yeh Buleleng kini terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi dan mengembangkan pemasaran produknya.

Dengan segala keunggulan dan kekurangan PDAM ini, ketika meninggalkan Singaraja, wartawan Majalah Air Minum berharap semoga PDAM ini dapat terus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakatnya. Prestasi yang diraih PDAM Buleleng semoga bukan sematamata karena keberuntungan memiliki sumber air yang bagus, kultur yang terpuji, dan simpleksitas masalah yang dihadapi. Dwike Riantara



Post Date : 30 September 2008