Komitmen Negara Maju Dituntut

Sumber:Koran Sindo - 07 Desember 2007
Kategori:Climate
NUSA DUA(SINDO) Negara maju terus dituntut agar bersedia memberikan komitmen secara mengikat dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.

Dalam perjalanan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), tampak kekecewaan negara-negara maju di dalam negosiasi karena banyaknya tekanan dari negara-negara berkembang untuk membuat komitmen baru.

Yang sedang terjadi adalah tagihan dari negara-negara berkembang terhadap negara maju. Mereka (negara maju) belum kasih komitmen baru. Kita mesti mengikat mereka dengan komitmen dulu dengan tambahan yang lain. Itu yang belum terjadi, tutur Presiden COP ke-13 UNFCCC Rachmat Witoelar di Nusa Dua,kemarin.

Dia berharap negara-negara maju yang banyak memproduksi emisi menunjukkan sikap konsekuen terhadap pernyataan peduli terhadap perubahan iklim. Sebagai negara yang tempo hari berdosa karena membuat banyak emisi, mereka harus konsekuen, tandas Rachmat. Dalam kesempatan itu, Rachmat sempat melakukan dialog dengan para aktivis lingkungan.

Selain berasal dari dalam negeri yang mewakili perempuan, pemuda, petani, nelayan, dan masyarakat adat, juga terdapat aktivis dari sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada,dan Australia. Kepada mereka, Rachmat menegaskan bahwa perundingan yang dilakukan akan diarahkan pada tercapainya keadilan iklim bagi setiap negara.

Karena itu saya berharap dukungan kalian terhadap apa yang kita perjuangkan,pintanya. Terhadap jalannya konvensi, sejauh ini Rachmat optimistis negosiasi mengenai dana adaptasi,transfer teknologi,dan clean development mechanism (CDM) rampung sebelum pertemuan Conference of Parties 13 (COP-13) atau pertemuan tingkat menteri pada 12 Desember 2007.

Seperti diketahui, negosiasi mengenai dana adaptasi,CDM,dan transfer teknologi masih cukup alot, saat negara-negara maju menolak membuat komitmen baru. Senada dengan Rachmat,Sekretaris Eksekutif UNFCC Yvo de Boer menyatakan, saat ini konferensi bergerak ke arah yang positif.Menurut De Boer, sejumlah delegasi seperti dari Brasil, China, Uni Eropa, dan Jepang telah mengajukan proposal yang akan dibahas dalam kontak grup.

Saat ini delegasi dari berbagai negara sedang membahas bagaimana transfer teknologi dapat dijalankan,katanya. Menurut De Boer, delegasi sedang membahas bagaimana teknologi ramah lingkungan dapat diterapkan di negara berkembang. Delegasi juga sedang merancang roadmap bagi pemerintah agar bertindak nyata.

De Boer menjelaskan, setiap negara telah mengajukan proposal tentang bagaimana roadmap itu dapat berjalan efektif, termasuk mekanisme kerja sama antara negara maju dan negara berkembang. Negara kaya harus mendukung negara berkembang. Mekanisme pasar harus dapat membantu proses pengurangan emisi, tandasnya.

Negara industri harus memotong emisi gasnya, kata De Boer. Menurut De Boer, Protokol Kyoto merupakan sebuah pakta yang unik dalam mengupayakan pengurangan emisi global hingga 30 miliar ton karbon. Dia mengungkapkan,lambatnya penerapan Protokol Kyoto di masing- masing negara terkait mekanisme di parlemen dan pemerintahan.

Sikap AS

Delegasi AS untuk negosiasi UNFCCC Harlan Watson menegaskan sikap Washington.Amerika Serikat tetap tidak akan berubah untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto, meski saat ini Komite Senat Lingkungan dan pekerjaan Umum AS telah mengeluarkan rancangan undang-undang untuk memotong emisi AS sebesar 70% pada 2050 dari pembangkit listrik, manufaktur, dan transportasi.

Rancangan undang-undang itu kini sedang dibahas di Senat untuk disahkan secara penuh. Dalam proses kami, pemungutan suara untuk rancangan undang-undang itu bukan proses akhir.Saya tidak tahu detailnya, tetapi kami tidak akan mengubah posisi kami di sini, tegas Watson di Nusa Dua kemarin.

Posisi AS semakin terisolasi di Bali setelah menolak desakan Australia meratifikasi Protokol Kyotol. Meski demikian, tindakan Senat AS itu mendapat sambutan hangat dari peserta konferensi di Bali.

Sementara itu, delegasi Australia di Bali menyatakan, Canberra mendukung dokumen PBB yang menyatakan pemotongan emisi gas antara 25% dan 40% di bawah level 1990 pada 2020. Pemerintah Australia saat ini sedang mengupayakan pemotongan emisi sebesar 60% pada 2050. (maya sofia/syarifudin/miftachul chusna/titis widyatmoko)



Post Date : 07 Desember 2007