Konferensi Bali Gagal Wujudkan Harapan

Sumber:Kompas - 15 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas Komentar kecewa masih mewarnai hari terakhir Konferensi Para Pihak Ke-13 Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau COP-13 UNFCCC. Abetnego Tarigan dari Civil Society Forum menilai COP-13 Indonesia masih perlu lebih tegas dalam diplomasi internasional untuk mencapai hasil.

"Dengan biaya Rp 115 miliar dari APBN, Indonesia tidak mendapat hasil optimal untuk memastikan rakyat selamat dari dampak perubahan iklim, ujar Abetnego.

Menurut dia, Presiden COP-13 telah membiarkan proposal-proposal yang mengancam keselamatan rakyat di masa depan diluncurkan sepanjang konferensi. Proposal itu terkait dengan reforestasi/aforestasi, degradasi lahan, konservasi dengan kompensasi, perluasan pasar karbon, dan energi yang intinya menunda kewajiban dan upaya mendesak penurunan emisi.

Civil Society Forum menyerukan agar sejumlah teknologi atas nama perubahan iklim dihentikan, seperti teknologi penggunaan bibit transgenik, pembangkit listrik tenaga nuklir, biofuel/agrofuel, dan teknologi penangkap dan penyimpan karbon yang hanya akan membawa bencana baru bagi warga dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.

Negara-negara Utara pencemar emisi karbon memang bergeming. Padahal, dalam 15 tahun terakhir emisi karbon negara-negara maju dalan Annex-1 naik 16-25 persen. Tidak ada keseriusan dan niat baik pemimpin negara-negara maju sejak awal persidangan, katanya.

Eropa ancam boikot

Menyusul kebuntuan perundingan, sejumlah negara Uni Eropa (EU) mencanangkan akan memboikot pertemuan negara- negara ekonomi maju utama yang direncanakan di Hawaii, AS.

Negara-negara yang akan memboikot itu, menurut majalah ECO, adalah Perancis, Jerman, dan Portugal (Presiden EU). Mereka menyatakan, jika di Bali tidak ada kesepakatan, mereka tidak akan menghadiri forum yang digagas pemerintahan Presiden AS George W Bush.

Menteri Lingkungan Perancis Borloo menegaskan dalam pidatonya di sidang pleno, Pembicaraan di sidang MEM (pertemuan negara ekonomi maju utama) tidak punya arah jika tidak memasukkan target kuantitatif pengurangan emisi, katanya.

Martin Khor dari Third World Network tak bisa mengatakan proses di Bali ini gagal karena pertemuan ini memang tidak dimaksudkan untuk memutuskan sesuatu, tetapi menunjukkan arah perundingan ke depan.

Anonio Hill dari Oxfam juga menegaskan pentingnya pertemuan Bali. Namun, sikap AS membuat pertemuan di Bali menjadi lebih panas. Padahal, negara berkembang yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim telah memperlihatkan komitmen yang besar.

Mundur 15 tahun

Bill Hare dari Friends of the Earth International menambahkan, sikap AS membuat situasi mundur 15 tahun dengan proposal yang menolak target penurunan emisi, pendanaan untuk adaptasi, dan alih teknologi. Bantuan yang disepakati untuk membantu negara-negara kurang berkembang (LDCs), yakni 0,7 persen GDP negara maju, dalam 15 tahun hanya 67 juta dollar AS. Ini setara biaya sebulan cairan penahan sinar matahari di AS.

Bali Roadmap yang akan dinegosiasikan dua tahun ke depan, menurut Hill, adalah mengenai hidup dan mati jutaan orang miskin di dunia yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Karena itu, perlu komitmen yang mengikat, yakni common but differentiated responsibilities and polluter pays.

Sampai terakhir, Martin tidak melihat ketulusan AS dan negara-negara industri untuk bersungguh-sungguh berperan karena mereka memiliki agenda sendiri terkait perdagangan.

Sebagai contoh, akhir November lalu, AS dan Uni Eropa bersama-sama menyampaikan proposal informal kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai liberalisasi produk dan jasa di bidang lingkungan yang terkait dengan perubahan iklim, termasuk 43 produk terkait mitigasi dalam perubahan iklim dan ratusan lain yang terkait produk dan jasa lingkungan.

Martin juga mengungkapkan ketidaktulusan negara maju yang secara historis menyumbangkan emisi terbesar ke atmosfer.

Setiap bantuan ke negara berkembang sebenarnya merupakan desakan agar negara berkembang melakukan sesuatu yang menguntungkan negara maju, ujar Martin. Maria Hartiningsih dan Brigitta Isworo Laksmi



Post Date : 15 Desember 2007