Korban Banjir: Masak Setiap Tahun Harus Mengungsi

Sumber:Kompas - 20 Januari 2005
Kategori:Banjir di Jakarta
SETIAP tahun harus mengungsi. Begitulah cerita sekaligus derita warga Jakarta yang tinggal di daerah rawan banjir, terutama di bantaran kali. Memang repot, tetapi mereka mengaku sudah terbiasa dengan "prosesi" tahunan itu. Tikar menjadi barang berharga ketika banjir datang.

"KAMU bisa nyelametin apa saja?" tanya Abah (65) ketika melihat adiknya, Sarifah (45), berada di lokasi pengungsian di Cililitan Kecil, Kramat Jati, Jakarta Timur.

"Televisi dititipin di rumah Pak Udin," jawab Sarifah.

Bagi warga yang kebanjiran, menyelamatkan barang elektronik seperti televisi atau VCD player memang pilihan pertama. Setelah itu baru baju, buku pelajaran anak, surat berharga, dan barang-barang lainnya.

"Memang benar, sudah tradisi. Ngangkut-ngangkut kompor, televisi, hingga baju. Tikar harus ada di rumah, jaga-jaga kalau ada banjir," tutur Ny Dedeh (35), warga RW 03 Kelurahan Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Bersama ibunya, Ana (60), dan empat anaknya, Dedeh mengungsi di pos ronda di pinggir Jalan Basuki Rahmat. "Sewaktu banjir besar dua tahun lalu, saya tidur di jalan sampai sebulan," kenang Dedeh sambil menyusui anaknya yang berusia dua tahun. Daerah Pondok Bambu dan Cipinang Muara dilalui Kali Sunter yang hampir setiap tahun "mengamuk".

Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada Selasa dan Rabu (19/1) memang menyisakan banyak cerita sedih yang anehnya sering menjadi cerita lucu di antara mereka sendiri.

"Mau pindah ke mana? Di sini juga ngontrak saja kok," kata Niroh, pengungsi lain.

Banjir kali ini memang merata di lima wilayah DKI Jakarta. Dan imbasnya pun dirasakan seluruh warga.

Di Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, tanggul yang dibuat warga tidak dapat lagi menahan derasnya aliran Kali Ciliwung. "Kami mengungsi di Masjid Atiq. Yang dibawa ya apa yang bisa dibawa saja," kata Sofi (30), warga Kebon Baru.

Wikayah (40) bahkan harus merasakan gatal-gatal dan perih karena eksim di kakinya belum sembuh betul ketika banjir datang. "Kaki saya kena air kali. Perih sekali," ujarnya saat berobat di posko pengobatan yang dikoordinir Suku Dinas Pelayanan Kesehatan Jaktim.

Bagi warga yang mempunyai kerabat, mereka lebih memilih mengungsi ke rumah kerabatnya daripada berdesak-desakan di penampungan. "Saudara sudah maklum kok," ujar seorang warga yang buru-buru naik ke dalam taksi.

Derita dirasakan pula oleh sekitar 200 pemulung yang tinggal di bantaran dan kolong Kali Ciliwung. Rumah habis tak berbekas. "Tinggal atapnya doang. Saya hanya punya baju yang melekat di badan," kata Hannes (45), pemulung asal Sulawesi.

Pemilik lapak pemulung, Kacung (65), mengatakan, tidak ada yang lebih berharga bagi pemulung selain barang bekas dan lapak yang setiap hari mereka kumpulkan. "Ya kertas, plastik, besi, kaleng, atau apa saja yang bisa dijual. Itu yang kami selamatkan," katanya.

TAK selamanya banjir itu cuma menghasilkan penderitaan. Di Kampung Melayu, misalnya. Untuk menembus banjir setinggi 1,5 meter, beberapa pemuda malah menyiapkan jasa angkutan berupa gerobak atau getek yang dirangkai dengan menggunakan stereofoam. Ada juga yang menggunakan sepeda yang dilengkapi dengan boks di bagian depannya seperti pedagang buah dan barang loak.

"Lumayan kok hasilnya," kata Ricky (26), warga Bukit Duri, sambil menunjukkan uang sebesar Rp 15.000.

Dalam waktu satu jam, Ricky bersama lima kawannya bisa mengantongi Rp 85.000.

Lelaki dua anak itu mengatakan, "Banjir tidak selamanya membuat kita sengsara. Ini buktinya. Saya bisa juga mencari uang kecil-kecilan. Lumayan untuk uang jajan anak."

Sejak dini hari, meluapnya Sungai Ciliwung sudah membuat kawasan Kampung Melayu banjir. Ruas jalan dari Casablanca menuju Kampung Melayu pun tergenang air sekitar 500 meter.

Untuk sekali menyeberang, para penumpang dikenai tarif Rp 5.000. Usaha jasa penyeberangan musiman itu dilakukan oleh beberapa kelompok pemuda.

Jasa penyeberangan itu sangat diminati, terutama oleh ibu-ibu. Ada juga karyawan yang masih mengenakan pakaian kerja. Daripada harus berjalan di tengah arus sungai yang meluap, mereka lebih memilih "perahu-perahu" yang sudah dilengkapi dengan tempat duduk darurat.

Sementara usaha kecil itu bolak-balik dilakukan, anggota tim pencari dan penyelamat dari kepolisian terus berupaya mengevakuasi warga yang terjebak banjir dengan menggunakan perahu karet. Beginilah cara warga Indonesia menyikapi datangnya banjir.

Banjir benar-benar sudah melanda Jakarta. Perut lapar mulai dirasakan warga di pengungsian. "Sembakonya mana?" teriak sejumlah ibu. (IVV/OSA)

Post Date : 20 Januari 2005