Krisis Air

Sumber:Suara Pembaruan - 05 Juni 2009
Kategori:Air Minum

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni, menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan krisis air yang tengah mengancam kehidupan manusia. Forum Air Sedunia yang berlangsung Maret lalu di Turki mengajak seluruh umat manusia untuk turut aktif mencari solusi atas persoalan kelangkaan air.

Sadar atau tidak sadar, praktik bisnis besar yang berpusat pada keuntungan tengah menghancurkan kehidupan. Hutan belantara porak-poranda digilas roda ekonomi pasar global. Tanah, air, udara, dan laut telah beralih fungsi dari sistem yang mendukung kehidupan menjadi gudang limbah.

Keprihatinan terhadap lingkungan yang semakin rusak patut mendorong masyarakat luas untuk ikut aktif mengambil tindakan guna mencegah konflik memperebutkan pasok-an air yang makin langka. Konflik yang kini terjadi di wilayah Darfur, Sudan, dipicu oleh kekeringan dan krisis air bersih.

Krisis air dan strategi mengatasinya patut diangkat sebagai tema debat politik capres 2009. Para kandidat memaparkan konsep dan rencana kebijakan di bidang lingkungan kepada masyarakat. Rumusan konkret save our water untuk dijadikan sebagai way of life pemerintahan hasil Pemilu 2009 amat penting, mengingat persediaan air dapat terpuruk akibat pemanasan global dan pertambahan penduduk yang kian masif.

Pemanasan global telah memicu perubahan iklim yang berdampak pada penguapan air dari permukaan bumi lebih cepat. Pertambahan populasi dunia yang signifikan, dari 6,5 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada pertengahan abad ke-21, mendorong meningkatnya penggunaan air. Jumlah penduduk yang kekurangan air akan meningkat menjadi 3,9 miliar pada 2030. Itu mendekati separuh dari jumlah populasi dunia.

Indonesia tidak luput dari bencana itu. Kita bakal mengalami krisis pangan yang lebih buruk jika air selalu dianggap sebagai sumber daya alam yang tak terbatas. Dari perspektif pertanian, air adalah pilar ketahanan pangan. Alam yang selama ini diharapkan bisa memasok kebutuhan air untuk sektor pertanian ternyata memiliki keterbatasan.

Alam kerap dimaknai sebagai sumber air yang tak terbatas, sehingga saat air berlimpah orang cenderung tak mempedulikannya sebagai anugerah Tuhan. Ketika air "mogok" mengalir di sungai dan petani berteriak karena air menghilang dari sawah, kita tersentak, alam punya batas untuk dikuras.

Keberhasilan pemerintahan rezim Orde Baru memutar roda pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah menetaskan bentuk kemiskinan baru. Lingkungan hidup dieksploitasi. Alam yang diciptakan Tuhan untuk kita pakai bersama dikuras sepuas-puasnya untuk menyokong kenikmatan hidup bagi sekelompok orang.

Banjir

Perambahan hutan (illegal logging dan perluasan perkebunan kelapa sawit) yang dikendalikan pemodal besar guna mengisap madu sumber daya alam acap meminggirkan kepentingan masyarakat sekitar hutan. Banjir dan kekeringan sebagai buah perubahan iklim tak bisa dilepaskan dari disorientasi ekologi akibat kerakusan sekelompok orang terhadap nilai ekonomis hutan.

Pemanasan global telah meningkatkan suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun terakhir. Dampak lanjutannya, kegagalan panen, sehingga jumlah korban kelaparan dan gizi buruk terus meningkat. Selain itu, penyakit menular yang diakibatkan bakteri dan virus kian merajalela, karena suhu bumi kian sesuai dengan perkembangbiakannya.

Disorientasi ekologi merupakan cermin dari persoalan kita secara keseluruhan. Kita kehilangan etika dalam segala aspek kehidupan, karena selalu berjubahkan habitus lama dan berikatpinggangkan keangkuhan. Ekologi diposisikan sebagai pelengkap penderita dan kerap ditempatkan sebagai objek yang harus dieksploitasi.

Perilaku dan sikap kita yang kian rakus menggunakan sumber daya alam telah sampai pada tingkat melebihi batas kemampuan lingkungan untuk menanggungnya. Patut disadari, dampak penggundulan hutan yang sistematis bisa melahirkan monster ekologi bernama banjir bandang, tanah longsor, dan penyakit menular yang memiliki daya dekstruktif mengerikan.

Buah dari ketidakramahan terhadap lingkungan menempatkan Indonesia menjadi perusak hutan tercepat di dunia. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), selama periode 2000-2005 Indonesia merusak hutan sekitar 1,87 juta hektare setiap tahun atau seluas 300 lapangan bola setiap jam. Prestasi buruk ini akan melahirkan berbagai bencana alam di masa mendatang.

Krisis air yang tengah mengancam kehidupan menuntut kesadaran setiap warga untuk kian peduli pada pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi yang tidak ramah lingkungan adalah pembangunan hegemoni yang mendatangkan bencana ekologis. Mari kita perlakukan bumi sebagai rumah bersama dan menghentikan perilaku buruk yang menguras sumber daya alam untuk kepentingan sesaat. Memelihara sumber daya alam dan lingkungan memiliki arti penting dalam menyelamatkan kehidupan.

Posman Sibuea Ketua Lembaga Penelitian Unika Santo Thomas SU Medan dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)



Post Date : 05 Juni 2009