Kulit Berbintik Menuding Limbah

Sumber:Majalah Gatra - 26 April 2007
Kategori:Air Limbah
PT Riau Pulp dituding mencemari Sungai Kampar. Bapedalda Riau menyatakan, limbah RAPP masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan. Apa yang terjadi?

Sekilas tak ada yang aneh di tubuh Inding. Lelaki 58 tahun warga Desa Sering, Kabupaten Pelalawan, Riau, itu memang berkulit hitam. Maklum, dia bekerja sebagai nelayan. Tapi, jika diperhatikan lebih saksama, di lengan dan punggungnya ada bintik-bintik bertebaran.

''Rasanya gatal dan panas,'' kata Inding, yang mengaku kena penyaklit kulit itu sejak tiga tahun lalu. Selama itu pula dia terus berobat, toh tak sembuh-sembuh juga. Bukan hanya Inding yang terserang penyakit bintik ini. Setidaknya ada 18 warga Desa Sering bernasib sama.

Kemudian Walhi (Wahana Lingkungan) Riau dan LSM lainnya membawa Inding dan tetangganya ramai-ramai berobat ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau, pertengahan Maret lalu. Selepas berobat, mereka tak langsung pulang, melainkan mampir ke Markas Polda Riau.

Di sana, Inding segera disodori sejumlah pertanyaan terkait dengan penyakitnya. Kepada Gatra, Inding mengaku menjawab apa adanya. Hasilnya tertuang pada surat tanda penerimaan laporan. Inding pun membubuhkan tanda tangannya pada surat. Belakangan surat itu berbuntut panjang.

Nah, di surat tertanggal 19 Maret itu tertulis bahwa Inding melaporkan telah terjadi tindak pidana ''Pencemaran atau Perusakan Lingkungan Hidup atau Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun''. Surat itu menyebutkan adanya perusakan lingkungan melalui limbah produksi dan penimbunan sodium chlorate yang terjadi sejak 1998 hingga sekarang di Desa Sering.

Yang kena getah tak lain PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), yang pabriknya berlokasi di Kabupaten Pelawan. Pabrik pulp dan kertas ini dituding melakukan pencemaran. RAPP dianggap melanggar Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Jhony Setiawan Mundung, menyatakan bahwa laporan yang disampaikan warga adalah langkah nyata korban limbah. Ia bilang, pencemaran itu berlangsung sejak 1999. ''Hingga kini tak ada langkah kongkret aparat yang berwajib untuk menuntaskan pencemaran lingkungan ini,'' kata Jhony.

RAPP selama ini memang memanfaatkan Sungai Kampar untuk membuang limbah. Bagi Inding, Sungai Kampar adalah tempat menggantungkan hidup. ''Semuanya, ya, di sungai itu,'' katanya lagi. Jarak antara rumahnya dan Sungai Kampar hanya 50 meter. Inding memanfatkan Sungai Kampar untuk mandi, mencuci, hingga buang kotoran.

Hal serupa dilakukan sebagian warga Desa Sering, Kecamatan Pelalawan, yang terdiri dari 414 kepala keluarga atau 1.635 jiwa. Hampir sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Sungai Kampar merupakan sungai terbesar yang langsung bermuara ke Selat Malaka. Panjangnya mencapai 413,5 kilometer, dengan kedalaman rata-rata 7,7 meter dan lebar 143 meter.

Tuduhan bahwa limbah PT RAPP yang menyebabkan gatal-gatal dibantah oleh Edward Wahab, Manajer Lingkungan RAPP. ''Tidak benar itu,'' katanya. RAPP berdiri sejak tahun 1992 dan dibangun di atas tanah seluas 1.750 hektare di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Limbah yang dihasilkan adalah 330.000 meter kubik per hari.

Limbah sebesar itulah yang digelontorkan ke Sungai Kampar. Tetapi, kata Edward, RAPP tentu tak sembarang buang limbah. RAPP, katanya, pernah menerima sertifikat karena dianggap memenuhi kaidah yang ditetapkan Lembaga Ekolabel Indonesia dalam mengelola hutan tanaman industri, sebagai bentuk pengelolaan hutan yang lestari.

Penghargaan itu adalah ''Sertifikat Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia''. Karena itulah, ''Limbah RAPP telah melalui proses pengolahan limbah yang sesuai,'' ujar Edward. Awalnya limbah yang ada dialirkan ke bucket screen. Tempat ini adalah wadah untuk menyaring partikel kasar.

''Jadi, yang kasar seperti plastik disaring di sini,'' kata Edward. Setelah itu mengarah ke primary clarifier untuk mengendapkan partikel padat dalam tahap pertama. ''Yang kasar belum tentu mengendap,'' kata Edward lagi. Jadi, biasanya partikel kasar itu malah mengapung.

Ketika sudah terjadi pengendapan, lalu dialirkan ke equalization bazin. Pada proses ini telah terjadi penyamarataan hasil partikel. Tetapi pada proses ini juga perlu diketahui apakah pH-nya rendah atau tinggi. ''Normalnya pH-nya adalah 7. Apabila pH-nya rendah, maka harus menambahkan basa. Sedangkan kalau pH-nya tinggi, maka ditambah asam,'' tutur Edward.

Setelah pH-nya netral, limbah itu didinginkan dengan di mesin cooling power. ''Karena menggunakan mikroorganisme atau bakteri, jadi perlu didinginkan,'' kata Edward. Nah, mikroorganisme ini tidak tahan dengan temperatur panas. Proses pendinginan dilakukan pada suhu 30 derajat celsius.

Kemudian limbah dibawa ke aeration basion. ''Ini berarti diperlukan pemberian oksigen karena menggunakan mikroorganisme. Oksigen yang diperlukan adalah sebesar 2,5 miligram per liter,'' ujar Edward. Tahapan selanjutnya adalah melalui secondary claifier (pengendapan tahap kedua).

Ini proses penyederhanaan senyawa yang kompleks ke senyawa sederhana. ''Kalau senyawa sederhana, maka mudah diendapkan,'' kata Edward. Setelah melalui rangkaian proses itu, barulah limbah aman dialirkan ke Sungai Kampar. Jarak antara pabrik dan Sungai Kampar sekitar 5 kilometer.

Agar lebih afdol, RAPP juga mengajak Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Riau untuk meneliti limbahnya dan kondisi Sungai Kampar. Sejak heboh kejadian ada korban pencemaran, Bapedalda Riau memang turun tangan mengambil sejumlah sampel pada 22 Maret lalu.

Bapedalda Riau meneliti limbah RAPP yang mencakup tiga hal. Yakni tingkat pH, kadar BOD (kebutuhan oksigen untuk proses biologi), serta COD (kebutuhan oksigen untuk proses kimia). Hasilnya, kadar pH limbah RAPP hanya 7,48, sedangkan kadar normalnya 6,0-9,0.

Selain itu, tingkat BOD mencapai 88 miligram per liter, sedangkan normalnya 150 miligram per liter. COD-nya mencapai 294 miligram per liter, sedangkan kadar normal yang diperbolehkan mencapai 350 miligram per liter. Batas unsur klorin yang diperbolehkan maksmial 600 miligram per liter.

Adapun kadar klorin yang ada pada sampel limbah RAPP hanya 0,52 miligram per liter. ''Jadi, sebenarnya semuanya masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan,'' kata Ir. Ma'ruf Maryadi Siregar, MSi, Kepala Bidang Penanggulangan Pencemaran Bapedalda Riau.

Berdasarkan SK Gubernur Nomor 23 Tahun 2003 tentang Peruntukan Sungai Kampar, baku mutu penerimaan RAPP itu di kelas II. ''Itu artinya, kawasan tempat pembuangan limbah RAPP diperuntukkan bagi pertanian, peternakan, dan rekreasi. Jadi, bukan untuk air minum,'' ujar Ma'ruf.

Ia menyatakan, pihaknya selalu mengawasi kondisi limbah RAPP yang dibuang ke sungai, rutin setiap bulan. Pengawasan itu dilakukan di tiga bagian, yakni air permukaan, saat limbah keluar. Juga pada saat limbah menyusut ke air tanah. Kondisi udara di sekitar limbah dan pabrik pun dipantau.

''Apa pun namanya, limbah pasti dipantau,'' kata Ma'ruf lagi. Kalau semua normal-normal saja, apa yang terjadi pada Inding dan sejumlah rekannya? Ma'ruf mengaku perlu penyelidikan lebih dalam lagi. ''Tingkat sensitivitas seseorang berbeda-beda. Ada yang mungkin gatal-gatal, ada yang tidak,'' ujar Ma'ruf.

Sedangkan Inding mengaku hanya memberi keterangan apa adanya. ''Saya tidak menuduh siapa-siapa,'' katanya. Bahkan Inding mengaku tidak tahu apakah bintik-bintik di kulitnya itu karena mandi di Sungai Kampar atau lantaran sebab lain.Rach Alida Bahaweres (Pekanbaru)



Post Date : 26 April 2007