Kurangi Tingkat Kebocoran PAM

Sumber:Kompas - 05 Maret 2009
Kategori:Air Minum

Rencana Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah atau BPLHD DKI Jakarta menaikkan tarif air tanah lima kali lipat menuntut kesiapan PAM memasok air bagi industri dan rumah tangga. Dengan demikian, tingkat kebocoran PAM yang selama ini masih tinggi, mau tidak mau, harus ditekan semaksimal mungkin.

Hingga akhir tahun 2008, tingkat kebocoran PAM (non revenue water/NRW), baik Palyja maupun Aetra, masih cukup tinggi. Palyja masih mencatat kebocoran hingga 45,27 persen. Kebocoran air di Aetra lebih tinggi lagi, yakni 53 persen. Kebocoran ini tentu sangat merugikan pelanggan karena mereka harus membayar air yang tinggi, sementara tidak mendapat pasokan yang mencukupi.

Kebutuhan air bersih setiap orang berbeda, yakni dari 60 liter hingga 175 liter per hari. Jika jumlah penduduk di DKI Jakarta 8.699.600 orang, paling tidak mesti dipasok air bersih sejumlah 521.976 m hingga 1.522.430 m per hari. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan air bersih untuk kebutuhan komersial (industri, perkantoran, dan hotel) yang diperkirakan 33 persen dari kebutuhan di atas.

Kebutuhan ini juga belum termasuk para pelaju yang tinggal di sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang, dan Depok yang sehari-hari bekerja di Jakarta (Badan Regulator PAM DKI Jakarta). Kebutuhan air ini setiap tahun bertambah seiring naiknya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang besar.

Kebutuhan air yang demikian besar ini ternyata tidak mampu dipenuhi oleh PAM. Menurut Badan Regulator PAM DKI Jakarta, sekitar 30 persen dari pelanggan tersambung tidak menerima air 24 jam sehari. Pelayanan yang kurang memuaskan dari PAM ini tentu saja mendorong warga Jakarta menggunakan air tanah untuk keperluan sehari-hari.

Rhamses Simanjuntak, Business Service Director Aetra, mengakui, 15 persen dari 380.000 pelanggannya atau sekitar 50.000 pelanggan menjadikan PAM sebagai cadangan bagi air tanah. ”Mereka baru menggunakan PAM jika aliran listrik mati. Maka dari itu, tagihan mereka setiap bulan tidak sampai 10 m setiap bulan,” kata Rhamses.

Untuk meningkatkan penggunaan air PAM ini hingga minimal 11 m, Aetra memutuskan membuat undian Kran Rejeki Aetra 2009 yang berhadiah mobil dan motor.

Produksi air

Sebenarnya, kebutuhan air bersih Jakarta mampu dipenuhi sebagian besar oleh produksi PAM mengingat kapasitas produksi air Jakarta pada tahun 2007 sudah mencapai 425.613.975 m per tahun.

Jumlah ini disumbang dari Palyja 164.406.585 m per tahun dan Aetra (dulu masih bernama Thames PAM Jaya) sebesar 261.207.390 m per tahun. Jika kebutuhan maksimal air bersih adalah 1.522.430 m per hari, atau 555.686.950 m per tahun, kebutuhan ini bisa dipenuhi oleh produksi yang ada.

Sayangnya, kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi. Separuh dari produksi ini tidak bisa terjual. Ada yang dicuri dengan sambungan ilegal, ada juga karena perawatan instalasi di tempat pengolahan air maupun pipa yang tidak sesuai standar.

Produksi yang cukup besar, sementara kebocoran yang tetap tinggi dari kedua operator ini harus lebih dicermati sebagai pemborosan dan inefisiensi manajemen. Biaya produksi tentu akan menjadi faktor utama dalam penentuan tarif air. Akibatnya, tarif tidak bisa murah. Sementara air yang diproduksi tidak semuanya bisa dimanfaatkan oleh pelanggan.

Haryadi Priyohutomo, Presiden Direktur PAM Jaya, mengakui adanya inefisiensi yang dilakukan oleh kedua operator. PAM Jaya telah mengenakan sanksi terhadap mereka. Hal ini telah masuk dalam perjanjian kerja sama, di mana kedua operator harus memenuhi target-target yang telah ditetapkan, termasuk target mengurangi tingkat kebocoran.

”Selama lima tahun kedua, Palyja telah membayar kompensasi Rp 165 miliar dan Aetra membayar Rp 183 miliar karena mereka tidak mencapai target yang ditetapkan. Selain itu, mereka juga terkena penalti, Palyja Rp 2,2 miliar dan Aetra Rp 4 miliar,” kata Haryadi.

PAM Jaya juga telah menargetkan, kebocoran atau NRW harus terus diturunkan hingga 40 persen untuk Palyja pada tahun 2012 dan 45 persen untuk Aetra tahun 2012.

Mengurangi kebocoran

Palyja menggunakan gas helium untuk mengetahui titik-titik kebocoran. Sementara Aetra mengerahkan karyawannya untuk turun mencari kebocoran. Sudah beberapa tersangka pelaku penyambungan ilegal ditangkap dan diproses ke pengadilan. Namun, cara ini belum efektif menurunkan kebocoran. Meyritha Maryanie, Corporate Communications Head Palyja, mengakui sangat sulit untuk menurunkan 1 persen saja dari angka kebocoran.

Saat ini pelanggan Jakarta dikenai biaya PAM yang cukup tinggi. Tarif terendah Rp 1.050 per m, sedangkan yang tertinggi Rp 14.650 per m. Tarif terendah Rp 1.050 per m ini masih lebih murah dibandingkan dengan tarif di PAM Semarang (Rp 1.250), Bogor (Rp 1.100), dan Serang (Rp 1.100). Meski demikian, jika dirata-rata, tarif PAM Jaya adalah Rp 7.000 per m dan menjadi tarif yang termahal di Indonesia.

Tarif yang mahal, sementara pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan, tentu akan membuat pelanggan tetap memilih menggunakan air tanah. Walaupun pajak air tanah akan dinaikkan menjadi Rp 8.800 hingga Rp 23.000 per m, pelanggan rumah tangga mewah maupun industri akan berhitung, sama-sama membayar mahal tetapi ketersediaan air terjamin, tentu mereka memilih tetap menggunakan air tanah. M Clara Wresti



Post Date : 05 Maret 2009