Laporan Pebangunan Manusia Indonesia Tahun 2004, Mereduksi Pengalaman Manusia ke Dalam Angka

Sumber:Kompas - 02 Agustus 2004
Kategori:Umum
Di kolong jembatan layang Slipi, Jakarta Barat.
Suatu siang .

SEORANG bocah berumur sekitar empat tahun dengan baju lusuh berjinjit untuk menggapai jendela mobil sambil menengadahkan tangan. la tidak bicara apa apa, juga tidak memainkan kecimpringnya. Kalau pengemudi mobil yang satu tidak memedulikannya, dengan cepat ia beralih ke pengemudi mobil di belakang.

Ketika lampu hijau lampu pengatur lalu lintas menyala, dengan lincah ia kembali ke trotoar, bergabung dengan seorang perempuan yang sedang menunggui seorang anak yang setengah telanjang tergolek di tanah beralaskan selembar kain lusuh. Usia anak itu sekitar dua tahun. Perut perempuan itu membusung, seperti sedang hamil tua.

Kenyataan itu, meskipun ada di depan mata, sangat interpretatif. Banyak orang menduga, perempuan dan anak anak itu hanyalah bagian dari suatu sindikat pengemis jalanan, seperti yang banyak ditulis media massa. Bukankah jumlahnya bisa tiba tiba berlipat ganda menjelang Lebaran? Bisa jadi pula, seperti digerutukan banyak orang, orang orang itu ingin mendapatkan uang dengan cara yang paling gampang.

Akan tetapi, adakah orang yang dalam hidupnya bisa mencukupi kebutuhan dasarnya makan tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anak anaknya, di sekolah desa yang paling sederhana, kalau sakit bisa ke dokter atau ke mantri untuk mendapat obat mau mengemis atau diajak untuk mengemis?

Bukankah mengangsurkan tangan menanti uang recehan tidak bisa disebut sebagai kerja, karena di situ yang dipertaruhkan adalah martabat manusia?

Di sebuah rumah berukuran sekitar lima kali delapan di kawasan Kreo, Jakarta Barat, Mpok Minah bingung mencari uang masuk SLTA untuk anak bungsunya. "Mahal banget sekarang. Mpok bingung gimane cari uang ampe ratusan ribu begitu," ke1uh Mpok Minah (52). Selama ini Mpok Minah bekerja sebagai pemijat. Empat anaknya yang lain hanya lulus SLTP. Dua di antaranya perempuan, sudah menikah, tidak bekerja. Dua lainnya bekerja sebagai buruh dan tukang ojek. Suami Mpok Minah adalah pedagang ikan keliling yang enarn bulan terakhir ini tidak bisa bekerja setelah ditabrak mobil pada suatu subuh, sehabis mengambil dagangan ke Muara Karang. "Mau berobat juga duitnya enggak ada," keluhnya.

Kompas (17/7) mernuat kisah tragis keluarga keluarga dari kelas bawah yang habis habisan karena narkoba. Mereka sama sekali tidak punya akses untuk mendapatkan obat obat antiretroviral untuk anggota keluarga yang sudah terinfeksi HIV, yang satu di antaranya sudah meninggal karena AIDS. Mereka hidup di "rumah rumah" dari plastik dan kardus. Gambaran muram yang menyangkut hampir semua aspek kehidupan ini tak bisa disikapi hanya sebagai kasus.

DI dalam laporan setebal 205 halaman itu, pengalaman manusia dengan kemiskinannya dalam arti luas lenyap ditelan angka. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) 2004 sarat dipenuhi angka dan asumsi asumsi yang dibuat dari angka angka itu. Padahal, gambaran mengenai hal itu berserakan, bahkan hanya dua tiga langkah dari kantor lembaga lembaga yang menerbitkan laporan tersebut. Situasi itu seharusnya dipaparkan di dalam boks boks, untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi riil dalam kehidupan sehari hari. Dengan demikian, angka angka yang disajikan menjadi punya makna.

Angka tetap merupakan hal yang penting untuk mengetahui kenaikan atau penurunan suatu situasi berdasarkan indikator indikator yang dibuat. Akan tetapi, angka angka itu tidak bisa mewakili pengalaman manusia. Bagaimand bisa angka menjelaskan situasi murid di banyak sekolah yang roboh seperti diungkapkan media massa? Bagaimana angka bisa menggambarkan rasa lapar?

Jadi, tampaknya kita tidak usah terlalu berbesar hati karena Indeks Pernbangunan Manusia (IPM, Human Development Index, HDI) mengalarni peningkatan dari 64,3 pada tahun 1999 menjadi sekitar 66 pada tahun 2002.

Banyak hal bisa dipertanyakan dalam laporan tersebut. Kesan bahwa laporan ini sangat berpihak pada neoliberalisme muncul dari pertanyaan ahli ekonomi koperasi dan guru besar ekonorni FE UI, Prof Dr Sri Edi Swasono, dalam diskusi peluncuran laporan itu.

Ia menanyakan apakah ada non economics tools yang bisa digunakan. Dengan perangkat non ekonomi, berarti free market tak bebas lagi. la juga mempertanyakan IPM yang dihitung hanya berdasarkan hal hal yang sifatnya sangat fisikal. "HDI yang tinggi tidak selalu menjarnin manusia lebih beradab," ujar Sri Edi Swasono. Pertanyaan itu mungkin mengacu pada negara negara maju yang memerangi negara lain atas nama apa pun untuk menutupi kepentingan ekonorninya sendiri.

Francis Wahono dari organisasi nonpemerintah Cindelaras Yogyakarta yang dihubungi pada kesempatan berbeda mernpertanyakan kriteria kemajuan pendidikan kalau hanya dikaitkan dengan angka masuk sekolah. "Kualitasnya bagaimana? Angka putus sekolah bagaimana? Bagaimana dengan penyerapannya di dunia kerja?"

Fifi Kumiati dari Sanggar Kreativitas Anak di Dompu, Nusa Tenggara Barat, dalam wawancara dengan tim penilai untuk pemimpin muda yang diprakarsai Dana Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Anak (Unicef), mengatakan, di tempatnya tinggal, anak kelas V SD belum lancar membaca. "Banyak sekali anak putus sekolah karena orangtuanya sungguh-sungguh miskin sehingga tidak mampu membiayainya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi," ujarnya. Namun, masalah bukan merupakan masalah eksklusif di Dompu. Di Bantar Gebang, Bekasi, yang letaknya hanya beberapa puluh kilometer dari Jakarta, hal yang sama juga terjadi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000 menunjukkan, jumlah anak yang bekerja meningkat menjadi 2,3 juta lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak bekerja yang tercatat pada tahun 2000. Data statistik pendidikan memperlihatkan antara tahun 1995 1999 tercatat 11,7 juta anak meninggalkan bangku sekolah. Program Penghapusan Pekerja Anak Organisasi Perburuhan Internasional (IPEC/ILO) memperkirakan jumlah sesungguhnya pekerja anak berusia di bawah 15 tahun adalah delapan juta anak.

Masalah lain menyangkut pendidikan adalah tidak terlihat perbedaan akses antara anak desa dan perkotaan. Data BPS tahun 1999 menunjukkan, 60 persen anak perempuan di tingkat SLTA mengalami putus sekolah di pedesaan. Ini merupakan indikator yang cukupmengkhawatirkan karena mereka dengan mudah menjadi mangsa perusahaan jasa tenaga kerja dan jaringan perdagangan perempuan.

Angka pengangguran menjadi sangat signifikan kalau dihubungkan dengan kenaikan situasi pendidikan dalam LPMI 2004. Pada kenyataannya banyak lulusan universitas tidak terserap oleh lapangan kerja yang tersedia sehingga bekerja di tempat tempat yang seharusnya diisi oleh lulusan yang tingkat pendidikannya di bawah mereka.

Menarik disimak, isu jender dalam laporan ini hanya dikaitkan dengan pendidikan dan kesehatan, tetapi tidak diintegrasikan ke dalam isu isu lainnya, misalnya isu kemiskinan dan hak pangan. Padahal, dampak kemiskinan sangat berbeda pada laki laki dan perempuan.

Laporan itu menyebut angka kematian ibu melahirkan yang tetap tinggi, tetapi tidak ada gambaran mengenai semakin sulitnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar ketika secara bertahap subsidi kesehatan terus berkurang. Laporan ini tidak membuat pemaparan fakta di beberapa daerah di Jawa Barat, misalnya, di mana angka kematian ibu adalah tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Padahal, pemaparan itu bisa memperlihatkan keterkaitan antara pembangunan prasarana jalan dan rumah sakit dengan ketersediaan tenaga medis di daerah daerah terpencil serta pandangan budaya dan mitos tentang kematian akibat melahirkan yang masih dikukuhi masyarakat di banyak desa.

Dikarenakan Strategi Penghapusan Kemiskinan Nasional (SPKN/PRSP) disinggung sebagai salah satu upaya penghapusan kemiskinan, hampir bisa dipastikan dana yang dipakai adalah dana dari Bank Dunia karena program ini merupakan program Bank Dunia, khususnya ditujukan kepada 42 negara pengutang miskin (HIPCs).

Indonesia, menurut beberapa sumber, sebenarnya tidak termasuk dalam kelompok negara-negara itu, namun secara "sukarela" mau menjadi bagian di dalamnya. Program program seperti ini, kalau tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan yang berbedabeda, akan mengulang kegagalan seperti program program serupa yang pernah ada, yang tidak memperbaiki keadaan, malah menambah utang.

LAPORAN ini juga terkesan mereduksi beberapa hal penting sehingga bisa menyesatkan. Di antaranya adalah hak atas pangan yang diterjemahkan sebagai "keamanan pangan". "Istilah keamanan pangan merupakan pendekatan konsumsi," tegas Francis Wahono. "Kalau pendekatannya konsumsi, maka cara apa pun dianggap boleh dilakukan untuk memenuhinya, termasuk oleh korporasi internasional. Lalu, petani dan nelayan kita dikemanakan?"

Menurut dia, seharusnya digunakan pendekatan produksi. "Ekonom kita, Prof Mubyarto, pernah menclesakkan hal itu, tetapi kurang didengar," ujar Francis. Kalau pendekatannya konsumsi, persoalannya adalah kemampuan membeli.

"Bagaimana orang bisa membeli kalau ia tidak punya pekerjaan? Antropolog Anne Booth pernah mengatakan, daripada produksi sendiri mahal, mengapa tidak impor beras saja karena lebih murah. Tapi, dia lupa bahwa di Indonesia produksi terkait dengan lapangan kerja," sambungnya.

Francis melihat ada skenario besar di balik penggunaan istilah dan pendekatan pendekatan itu. Ia mengingatkan agar hati hati terhadap gagasan gagasan dan praktik praktik kapitalisme neoliberal yang kerap kali menggunakan pendekatan "kemanusiaan", tetapi sesungguhnya mengecoh karena di balik semua itu tujuan mereka semata mata adalah keuntungan.

LPMI 2004 juga mereduksi rasa aman hanya sebagai aman dari tindakan kriminal sehingga dibutuhkan tambahan anggaran yang cukup signifikan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas polisi.

Hal itu tentu saja penting, tetapi rasa aman tidak bisa disandarkan hanya kepada aparat. Rasa aman terkait dengan segala hal yang bermuara pada kesetaraan dan keadilan di bidang sosial, ekonomi, dan politik di antara kelompok kelompok sosial di dalam masyarakat. Peran masyarakat sendiri juga cukup penting untuk meningkatkan keamanan di wilayahnya masing masing.

LPMI 2004 juga tidak melihat penggusuran yang represif di berbagai kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, sebagai sumber kerawanan sosial karena kota semakin banyak dikuasai oleh kepentingan bisnis pribadi dan korporasi yang kian tidak peduli dengan hajat hidup orang banyak.

KORUPSI hanya disebut sekilas di dalam LPMI 2004. Padahal, pembangunan manusia tak mungkin dilakukan secara maksimal kalau korupsi terus dibiarkan. Seperti dipaparkan dalam "Sepuluh Agenda Rakyat untuk Meraih Keadilan" Yang dirumuskan oleh seiumlah organisasi lebih dari 55 organisasi nonpemerintah, Indonesia masih menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup di dunia.

Praktik korupsi di Indonesia kian merajalela dan dilakukan secara terbuka. Dalam waktu dua tahun, (Januari 2002 April 2004) misalnya, telah terjadi 1.198 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 22 triliun. Korupsi bukan monopoli kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan bisnis, khususnya bisnis konglomerasi.

Pemerintah tidak berdaya berhadapan dengan perilaku korup para konglomerat hitam. Ini terbukti dengan dikucurkannya dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 140 triliun untuk membantu para konglomerat. Selanjutnya pemerintah berutang kepada masyarakat Rp 620 triliun untuk menyelamatkan konglomerat itu dari kehancuran.

LPMI menyebut pajak sebagai salah satu sumber pembiyaan pembangunan sosial yang bisa dihimpun. Akan tetapi, laporan itu tak menyebut bahwa pada kenyataannya pemasukan terbesar bagi pemerintah dari pajak berasal dari rakyat biasa, bukan konglomerat. Sebagai gambaran, pajak penghasilan mencapai Rp 41 triliun tahun 1999/2000 atau 33 persen dari total pendapatan nonmigas, sementara pajak dari perusahaan ekspor dan impor hanya menghasilkan Rp 5,5 triliun.

Seperti dikemukakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie, kalau pemerintahan berjalan efektif, reorientasi kebijakan publik dengan mudah dipenuhi, misalnya melalui peningkatan efisiensi penggunaan anggaran pemerintah dan mencegah kebocoran keuangan negara melalui pemberantasan korupsi yang sistematis.

Kalau komitmen pemerintah muncul, pemerintah perlu meninjau kembali prioritas alokasi anggaran, termasuk kemungkinan reorientasi alokasi pembiayaan dan penekanan pembangunan sosial. Saat ini lebih dari 20 persen belanja pemerintah dialokasikan untuk menyubsidi badan usaha milik negara (BUMN).

Jumlah itu ditambah dengan jumlah angsuran utang dan bunganya setiap tahun, hanya kurang dari separuh anggaran belanja negara yang digunakan untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Persoalan utang ini yang dipertanyakan oleh aktivis Dita Indah Sari karena LPMI 2004 tidak menyinggung masalah utang secara mendalam.

Dengan situasi korupsi dan utang sebesar 68,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun lebih dan utang dalam negeri yang hingga 2 Juli mencapai Rp 622,7 triliun), tanpa komitmen yang kuat, gambaran optimis mengenai pembangunan sosial di Indonesia adalah too good to be true. (MARTA HARTININGSIH)

Post Date : 02 Agustus 2004