Lawan Diare

Sumber:Republika - 21 Desember 2004
Kategori:Sanitasi
Mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi timbulnya diare sebanyak 42-47 persen. Menjelang akhir tahun 2004, banyak kasus kesehatan yang terjadi di Indonesia. Sebut saja diare dan muntaber, yang sampai menelan korban jiwa. Kasus diare yang menimpa Jawa Timur, Makassar, hingga Papua itu menyebabkan puluhan orang meninggal dunia.

Di Papua saja, menurut laporan dinas kesehatan setempat, belasan orang meninggal akibat diare. Para korban meninggal berasal dari Kampung Tomoekang, Kampung Kali Tami, Arthamas, dan Wariagar. Keadaan sanitasi, termasuk air untuk kebutuhan keluarga di daerah yang terjangkiti wabah diare itu, masih memprihatinkan. Dinas setempat menilai, sanitasi di sana tak layak bagi kesehatan. Selain itu, ternyata masyarakat setempat masih kurang bersentuhan dengan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Kasus diare di masing-masing wilayah di Indonesia meningkat hingga 50 persen dari tahun lalu. Khusus untuk Surabaya diare mencapai puncaknya hingga mencapai 300 persen pada November 2004. Di ibukota propinsi Jawa Timur itu diare dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Sabun

Sejak awal musim penghujan, diare melanda daerah Solok, Bandar Lampung, Jakarta, Indramayu, Garut, Klaten, Surabaya, Makasar, Banjarmasin, dan Papua. Ironisnya, kebanyakan para penderitanya adalah anak-anak dan balita.

Menurut Direktur Eksekutif Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) Taufik O Malik, diare merupakan penyakit nomor dua mematikan pada anak-anak di Indonesia setelah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). ''Kebanyakan menganggap penyakit ini sebagai hal biasa, tak mematikan, dan sering disepelekan. Padahal, penyakit ini sangat serius. Ini yang harus bisa dihindari, terutama masalah-masalah yang menyangkut kebiasaan, higienitas, dan lingkungannya,'' ujarnya dalam diskusi Journalist Forum di KuIS Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurutnya, soal kebiasaan, kebersihan, dan lingkungan sangat tergantung pada masyarakat sendiri. Yang penting adalah mengubah perilaku yang ada menjadi perilaku sehat. Misalnya, soal kebersihan tangan. Karena penyakit diare terkait dengan kebiasaan hidup yang tak sehat, Taufik mengatakan metode relatif sederhana dan berbiaya rendah adalah dengan menerapkan perilaku mencuci tangan dengan sabun pada saat yang tepat.

Berdasarkan survei yang dilakukan KuIS di beberapa daerah didapatkan, praktik mencuci tangan masih belum banyak dilakukan masyarakat. ''Mencuci tangan dilakukan hanya upaya untuk kebersihan, bukan untuk kesehatan. Akibatnya, mencuci tangan itu dilakukan bila tangan kotor. Padahal, tangan bersih pun bisa saja mengandung kuman penyakit,'' ujar Risang dari KuIS.

Menurutnya, praktik mencuci tangan dengan menggunakan air saja tak cukup karena air tak membunuh kuman. Agar tangan bersih, maka perlu dicuci dengan sabun. Dan, ternyata praktik mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi insiden diare sebanyak 42-47 persen. Bila dikaitkan dengan statistik global penderita diare, maka angka tersebut memperlihatkan hanya sekitar satu juta anak dapat diselamatkan dengan praktik mencuci tangan dengan sabun yang tepat.

Diare pada anak

Menurut dr Badriul Hegar dari Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, kematian akibat diare pada anak-anak dan balita lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Di RS Cipto Mangunkusumo, pasien yang dirawat sehari (one day care-ODC) sebanyak 1.146 orang (survei tahun 1998-2000). Sebanyak 70 persen dari pasien itu terkena diare, dan dari angka tersebut sebanyak 80 persennya adalah anak-anak berusia di bawah 5 tahun.

''Sebagian besar kasus diare pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun, sekitar 70-80 persen, disebabkan oleh infeksi diare akibat rotavirus. Lainnya disebabkan oleh bakteri, dan parasit,'' ujar Badriul yang juga sekretaris umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini. Besarnya angka penderita diare pada anak-anak disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, anak-anak tidak diberi air susu ibu (ASI) secara penuh, kurang gizi, campak, dan karena imunodefisiensi (rendahnya daya tahan tubuh).

Ada sejumlah perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman penginfeksi dan meningkatkan risiko diare. Antara lain tak memberikan ASI secara penuh pada bayi, menggunakan susu botol yang tak bersih, dan menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Selain itu, menggunakan air minum yang tercemar bakteri dari tinja, tak mencuci tangan setelah BAB (buang air besar), dan tak membuang tinja dengan benar.

Masalah ekonomi

Selain menimbulkan wabah, diare juga membawa masalah lain, yaitu soal ekonomi. Menurut Dr Mahlil Rubi MKes dari Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, diare secara tak langsung menimbulkan kerugian ekonomi yang tak sedikit. Kerugian tersebut, lanjut Mahlil, berkaitan dengan biaya penanganan penyakit dan dari sisi produktivitas kerja. Dia menghitung kerugian ekonomi negara akibat sakit diare, mati karena diare, dan biaya berobat sampai Rp 86,6 triliun.

KuiS juga mengungkapkan kerugian akibat diare untuk pembiayaan di rumah seperti yang terjadi di Lampung. Penyakit diare umumnya berlangsung selama 2-3 hari. Itu artinya seorang penderita harus kehilangan Rp 15 ribu hingga Rp 30 ribu. Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk sekali berobat mencapai 25 ribu rupiah. Bisa dihitung berapa nilai kerugian bila seorang kepala keluarga terkena penyakit diare.

Penggunaan Oralit Belum Optimal

Orang yang terserang diare akan kekurangan cairan. Maka, yang perlu diatasi pertama adalah mengganti cairan tubuh yang hilang. Ahli anak dr Badriul Hegar mengemukakan, pada saat diare oralit sangat perlu. ''Minuman pengganti cairan tubuh lainnya kerap tak sesuai dengan komposisi yang dibutuhkan tubuh. Malahan bisa mengakibatkan penyakitnya bertambah parah,'' lanjutnya.

Diare, katanya, sebenarnya bisa sembuh dengan sendirinya di hari ke-5 setelah infeksi. Namun, penanganan diare perlu diketahui penyebabnya. Yang penting, pada tahap awal infeksi diperlukan terapi suportif guna mencegah dan mengatasi dehidrasi. Sebagai terapi awal biasanya dilakukan rehidrasi (pemberian cairan ke dalam tubuh) oral. Di sinilah masalahnya. Menurut Badriul, terapi rehidrasi belum dipahami oleh semua orang. Bahkan, ada anggapan bahwa terapi rehidrasi oral tak perlu. Memang rehidrasi tidak menyembuhkan, namun sangat penting mengatasi dehidrasi. Banyak kasus kematian terjadi karena kurang memahami ini untuk menangani dehidrasi.

Sayang, penggunaan oralit di rumah sakit masih belum optimal. Menurut Badriul, di rumah sakit penggunaan oralit untuk penderita diare masih sekitar 70 persen. Sementara sisanya masih menggunakan cairan lainnya. ''Sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang, oralit sangat penting dengan komposisi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh,''ujarnya.

Karena itu, penggunaan oralit atau bisa saja digantikan dengan larutan gula-garam sangat penting dalam terapi diare awal. Menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), kandungan natrium pada oralit mencapai 90 mikrogram/liter. Kandungan ini kemudian diturunkan untuk meningkatkan penyerapan dalam tubuh. Tingginya kadar natrium pada cairan bisa menyebabkan kejang-kejang dan bengkak pada mata penderita. ''Ini malah bisa memperparah kondisi pasien,'' sambungnya. Bila penderita diare diberi antibiotik, pemberian itu, kata Baidrul, harus hati-hati. Pada tahap awal antibiotik tak sepenuhnya diperlukan. Ini dibutuhkan bila penyebab infeksi diare sudah diketahui.

Laporan : wed

Post Date : 21 Desember 2004