Lengah Mengawasi Lingkungan, Banjir Padang Semakin Parah

Sumber:Kompas - 18 Mei 2004
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BANJIR yang melanda sebagian wilayah Kota Padang, tanggal 5 dan 6 Mei lalu, membuat Soesilo Abadi Piliang, warga kawasan Anak Aia, Kecamatan Koto Tangah, panik dan tidak menyangka hal itu terjadi. Selama ini kawasan itu relatif aman dan bebas banjir. Akan tetapi, entah kenapa banjir yang baru pertama kali terjadi di kawasan itu ketinggian airnya langsung mencapai sebatas leher orang dewasa.

"Saya tak peduli harta benda, yang penting anak-istri selamat. Banjir kali ini sungguh mencemaskan dan mencekam karena terjadi malam hari, serta baru pertama kali lokasi perumahan ini dilanda banjir besar," kata Soesilo, wartawan harian Singgalang.

Tidak hanya Soesilo yang menderita karena banjir, tetapi juga ribuan warga Kota Padang lainnya di Kampung Jambak, Anak Aia, Aia Pacah, Simpang Kalumpang, Lubuak Buayo, Pauah, Pengambiran, Perumnas Belimbing, dan kawasan lainnya. Pokoknya, asal hujan 1-2 jam, kawasan tersebut kebanjiran. Bahkan, jalan-jalan utama di pusat kota digenangi air, sampai arus lalu lintas macet.

"Sudah tak terhitung berapa kali banjir menggenangi rumah kami, hingga ketinggian 50 cm-150 cm, tergantung curah hujan dan lamanya hujan. Yang pasti, kerugian masyarakat tak terhitung. Ini banjir yang ketiga kalinya sebulan terakhir," kata Usman, Ketua RT di Kampung Batipuah, Koto Tangah.

Banjir bandang di Kota Padang itu tidak hanya merusak harta benda, tetapi juga menimbulkan korban jiwa. Untungnya, Wali Kota Padang Fauzi Bahar, Wakil Wali Kota Yusman Kasim, serta Tim SAR tanggap sehingga sesegera mungkin melakukan evakuasi dan menyiapkan bantuan darurat, terutama makanan.

"Entah kapan kami terbebas dari (ancaman) banjir. Sepertinya, pengendalian banjir Kota Padang tak bermanfaat sama sekali. Atau ada faktor lain yang harus dicarikan solusinya?" kata Risman, warga kawasan dekat Pasar Lubuak Buayo, Padang.

Berdasarkan data studi Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1983 dan studi evaluasi lingkungan, tidak kurang Rp 6,5 miliar nilai harta benda lenyap setiap terjadi banjir besar di Kota Padang tahun 1972 sampai tahun 1992.

Sayangnya, data terbaru 10 tahun terakhir (1992-2002) tidak ada sehingga hal ini diyakini menjadi penyebab pemerintah kota kurang peduli dengan banjir Padang ini dan sekaligus kurang peduli dengan persoalan lingkungan dan tata ruang kota.

KALAU mencermati riwayat Kota Padang yang kini berpenduduk 761.476 jiwa (tahun 2003), ibu kota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) ini menjadi langganan banjir sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ini dimungkinkan karena Kota Padang dengan luas 695 km persegi terletak pada dataran aluvial yang terbentuk oleh tiga aliran sungai utama, yaitu Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Airdingin, dengan daerah tangkapan hujan bersumber dari Gunung Bolak, Gunung Lantiak, dan Gunung Bongsu masing-masing 172 km persegi, 213 km persegi, dan 131 km persegi.

"Pada areal 695 km persegi itu terdapat kawasan rawan banjir lebih kurang 3.500 hektar, yaitu 1.600 hektar pada permukiman penduduk, 1.500 hektar lahan persawahan, dan 400 hektar lahan rendah lainnya," ungkap Fauzi Bahar.

Kota Padang dengan curah hujan 4.200 mm per tahun, dengan topografi berupa relief kasar berketinggian 0,5 sampai 1,800 m dari permukaan air laut rata-rata, telah lama menjadi langganan banjir (tahunan), sedangkan bencana banjir yang serius muncul beberapa kali, yaitu tahun 1972, 1979, 1980, 1981, 1982, 1986, 2000, dan 2004 dengan dampak berbagai penderitaan yang dialami warga kota.

"Ibu kota Provinsi Sumbar ini di pusat kotanya dilalui enam sungai, yaitu Batang (Sungai) Arau, Batang Jirak, Batang Kuranji, Batang Balimbiang, Batang Airdingin, dan Batang Laras, di mana terdapat daerah rawan banjir 3.500 hektar, khususnya di sekitar daerah aliran sungai (DAS) tersebut," jelas Fauzi Bahar.

Menurut dia, pertumbuhan kota yang 70 persen warganya mendiami DAS, maraknya permukiman baru di dataran rendah yang merupakan tampungan air alami, serta berubahnya tata guna lahan di DAS yang tidak ditunjang upaya pengelolaan dampaknya secara memadai, merupakan faktor dominan yang menimbulkan bencana banjir di Kota Padang.

Penyebab banjir lainnya, lanjut Wali Kota Padang, adalah tingginya intensitas curah hujan, degradasi dan agradasi sungai yang melintasi Kota Padang, serta kerusakan lingkungan alam/kawasan hutan lindung di hulu sungai pada kawasan Bukit Barisan.

"Maraknya penebangan hutan dan kurangnya pengawasan dari masyarakat, termasuk aparat terkait, serta bermainnya beberapa oknum untuk membabat hutan, menjadikan banjir Padang sebagai ancaman serius dan mesti diwaspadai bila musim hujan tiba. Bayangkan, kawasan yang tak pernah banjir tiba-tiba direndam banjir hingga 1,5 meter," ujarnya.

BAGAIMANA dengan keberadaan dan aplikasi pengendalian banjir, apakah sudah berfungsi optimal? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji karena pengendalian banjir Kota Padang dimulai sejak zaman pemerintah Hindia Belanda, tahun 1918, dengan pembuatan banjir kanal. Tujuannya, membagi sebagian debit aliran Batang Arau ke saluran baru guna mengamankan daerah Pasar Mudik, Palinggam, dan Seberang Padang dari genangan banjir, yang kala itu merupakan pusat kota.

Karena perkembangan kota dan pertumbuhan penduduk berdampak pada perubahan tata guna lahan, kapasitas fasilitas tersebut tidak lagi memadai.

Lalu, tahun 1982 sampai 1983, JICA melakukan studi kelayakan. Dilanjutkan dengan perencanaan detail dari awal tahun 1986 sampai 1989. Tahun 1996, fasilitas pengendali banjir tahap I difungsikan sehingga dampak kerugian akibat banjir bisa dikurangi, baik yang disebabkan oleh air limpasan permukaan dari bagian hulu akibat hujan lokal (dari dalam kota) maupun akibat pengaruh pasang air laut.

Namun, mantan Kepala Dinas PU Pengairan Sumbar Ir H Bambang Istidjono MSCE mengatakan, khusus penanganan banjir yang diakibatkan oleh hujan lokal dari dalam kota, fasilitas pengendalian banjir yang telah diselesaikan masih belum dapat difungsikan optimal karena drainase kota belum memadai.

"Dengan demikian, apabila turun hujan lebat di Kota Padang, genangan air cenderung cepat terjadi pada beberapa lokasi. Keterbatasan saluran drainase sekunder dan tersier kota itu menyebabkan genangan tersebut tidak segera tersalurkan menuju sungai-sungai yang telah dinormalisasi," katanya.

Ia melukiskan, untuk mengendalikan banjir sudah dilakukan penanganan sungai-sungai Batang Arau, Batang Airdingin, Batang Jirak, Batang Kuranji, Batang Belimbing, dan Batang Laras sepanjang 21,11 km. Selain itu, rehabilitasi/pembangunan baru drainase Purus, drainase Ulakkarang, dan lain-lain 8,22 km, serta normalisasi Banjir Kanal 6,8 km. Juga dibangun penampungan air (kolam retensi) drainase kota di Ulakkarang 27.000 meter persegi dan di Ujung Gurun 32.600 meter persegi.

Menurut Bambang Istidjono yang kini Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumbar, terdapat 19 areal drainase kota seluas 4.188 hektar yang memerlukan penanganan/rehabilitasi. Seluruhnya menggunakan saluran utama Batang Arau, Batang Kuranji, Batang Airdingin, dan Batang Tabing.

Artinya, masih cukup banyak yang harus dikerjakan dalam memenuhi kebutuhan kota akan jaringan drainase, yang urgensinya menyangkut tiga fungsi utama. Ketiga fungsi itu adalah penyalur air limpasan permukaan ke sungai dari lingkungan permukiman, penapis/penyimpan luapan air laut jika pasang naik, dan penampung/penahan limpahan banjir sungai/DAS yang dihuni banyak warga.

TERLEPAS dari sarana dan prasarana pengendalian banjir yang sudah dibangun dan kini tidak terawat-karena endapan di sungai dan kolam retensi tak pernah dikeruk-rupanya masih ada beberapa hal yang berkaitan dengan lingkungan yang lalai menjadi perhatian Pemerintah Kota Padang.

Sarana pengendalian banjir dibangun, tetapi reboisasi hutan hampir tak pernah dilaksanakan. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan maraknya penebangan hutan di kawasan hulu sungai, yang sebenarnya merupakan kawasan tangkapan hujan.

Lihatlah, misalnya, ketika Batang Airdingin meluap, yang memutuskan badan jalan, merobohkan beberapa unit bangunan dan merobohkan tanggul pengaman dan merusak sarana milik PDAM, betapa potongan-potongan kayu gelondongan sisa penebangan liar bertebaran di mana-mana.

"Kawasan hutan di hulu sungai rusak parah, penebangan liar marak. Inilah akar masalah banjir Padang," kata Edwar, pejabat PDAM Kota Padang, ketika bersama Kompas meninjau kawasan hutan yang rusak di hulu Batang Airdingin, Kecamatan Koto Tangah, Januari 2004.

Ketika Wali Kota Padang Fauzi Bahar ingin membuktikan dengan meninjau lokasi kawasan hutan, Rabu (12/5), ternyata ditemui penumpukan kayu hasil tebangan liar 3,5 meter kubik. Aktivitas penebangan hutan, menurut laporan masyarakat, sudah berlangsung lama dan dilakukan sejumlah oknum.

Fauzi dengan tegas meminta Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Padang untuk lebih meningkatkan pengawasan dan melakukan antisipasi segera terhadap kawasan hutan yang dibabat oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab itu. Masyarakat juga diminta melaporkan oknum yang membabat hutan tersebut karena bahaya yang akan ditimbulkan dari aktivitas penebangan hutan cukup fatal.

Karena akar persoalan banjir bandang Kota Padang ini sudah jelas, kini kita tunggu gebrakan wali kota yang peduli pada nasib dan penderitaan warganya itu. (YURNALDI)

Post Date : 18 Mei 2004