Leuser Dibabat, Banjir Tahunan Pun Menghantam

Sumber:Kompas - 01 Februari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
ALAM, yang semula menjadi tempat bergantung, telah berubah menjadi musuh. Banjir hampir tiap tahun menghanyutkan tanaman dan harta benda. Tanah subur di pinggir Taman Nasional Gunung Leuser itu telah berubah menjadi tanah bencana yang harus selalu diwaspadai. Itulah harga yang harus dibayar petani di Kabupaten Langkat, setelah hutan di hulu dibabat.

Tohir Siahaan (54), petani dari Desa Jati Sari, Kecamatan Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, siang itu, memanen sisa-sisa padi di sawahnya yang sebagian rubuh diterjang air bah. Hamparan padi yang semula menguning telah berubah kehitaman karena tertutup lumpur kering. "Dari sekitar setengah hektar sawah kami, hanya seperempat saja yang bisa dipanen. Itu pun sebagian puso karena telah dua pekan terendam air," katanya.

Tahun ini, sebagaimana tahun-tahun lalu, banjir bandang kembali melanda Kabupaten Langkat, yang berada di kaki Leuser. Namun, banjir kali ini terhitung lebih parah. Sedikitnya, 1.500 hektar tanaman pertanian di tiga kecamatan terendam air. Tanaman padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau, yang belum sempat di panen, rubuh. Banjir juga menggenangi kebun kelapa sawit dan ratusan rumah penduduk.

Menurut sejumlah warga, banjir tahun ini mulai terjadi sejak 20 Januari 2005. Air kiriman itu datang tiba-tiba dari hulu karena di tempat mereka tidak ada hujan sama sekali. "Ya, beginilah, tiap tahun kami selalu mendapat kiriman banjir, dan tanaman hancur semua," kata Tohir.

Walaupun banjir terus melanda lahan pertanian mereka, tetapi para petani itu tidak pernah jera menanam. Berhenti menanam, berarti asap dapur tidak akan mengepul lagi.

Menurut Tohir, tiap tahun, banjir di sini makin parah dan tingkat kerusakan juga kian parah. Tohir dan ribuan petani lain di Langkat kini di ambang dilema. Pertanian yang menjadi sandaran hidup mereka terus dihantam banjir.

Penasihat Kelompok Tani dan Nelayan Andalan Kecamatan Padang Tualang, Ramli Batubara, mengatakan, banjir itu merupakan banjir kiriman karena hutan di hulu rusak.

"Pada tahun 1970-an, daerah kami tidak pernah banjir. Kalaupun ada, intensitasnya sangat kecil dan tidak sampai menghanyutkan tanaman. Tetapi, saat hutan di Leuser banyak jadi kebun kelapa sawit dan kayunya terus diambil, banjir mulai datang," katanya.

BANJIR dan kerusakan hutan adalah dua sisi keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hutan Leuser adalah salah satu idola perambah hutan.

Menurut laporan Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW), perusakan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser sangat parah. Sebagai taman nasional tertua dan terluas di Indonesia, Leuser kehilangan 4.250 hektar (ha) lahannya karena ditebang dan disulap menjadi areal kebun sawit dan pembuatan jalan sepanjang 11 kilometer.

Berdasarkan data dari FWI/ GFW tahun 2001, pada tahun 1900-1997, terutama periode 1985-1997, Pulau Sumatera kehilangan 61 persen hutan atau setara 3,4 juta ha. Ini didasarkan pada asumsi bahwa tahun 1900 masih terdapat 16 juta ha hutan tutupan yang kemudian tahun 1997 menjadi seluas 2,2 juta ha.

Sampai kini, para pencuri kayu di TNGL juga terus gentayangan. Ini berarti, tahun-tahun ke depan, banjir masih akan terjadi. (AHMAD ARIF)

Post Date : 01 Februari 2005