Limbah Deterjen Pencucian Mobil

Sumber:Warta Bintaro - 30 November 2008
Kategori:Air Limbah

WARTA BINTARO - Tidak banyak yang tahu sejarah deterjen. Lebih banyak lagi yang tidak menyadari bahwa deterjen dalam limbah rumah tangga dan limbah pencucian mobil menurunkan kualitas air. Senyawa aktif pada deterjen tidak mudah didegradasikan oleh bakteri yang terdapat pada saluran air buangan. Di Bintaro, usaha pencucian mobil menjamur.

Deterjen buatan atau synthetic detergent adalah campuran sejenis senyawa bahan pembersih yang berkandungan utama zat surfaktan (surfactant atau surface active agents), dengan bahan-bahan lain seperti zat pengisi (fillers), pembentuk (builders), serta komponen lain seperti pewarna, pewangi, boosters dan lain-lain.

Surfaktan adalah senyawa kimia yang mudah larut dalam cairan yang memungkinkannya terserap pada zat lain sehingga zat tersebut menjadi mudah larut atau memiliki sifat kimia fisika tertentu dalam suatu cairan. Molekul surfaktan setidaknya berkandungan satu gugus yang memiliki afinitas pada permukaan cairan polar, yang umumnya dipahami sebagai tingkat kelarutan dalam air, dan satu gugus lain yang tidak gampang berafinitas dengan air.

Deterjen buatan pertama kali diperkenalkan di Jerman pada Perang Dunia I, sewaktu manusia mulai memanfaatkan lemak guna kepentingan non-pangan. Ketika itu deterjen hanya terbuat dari jenis alkil naftalena sulfonat (alkyl naphthalene sulphonate) berantai pendek. Dibuat dari penggabungan butil alkohol (butyl alcohol) dengan naftalen (naphthalene) yang kemudian disulfonasikan. Produknya dipasarkan dengan nama dagang Nekal. Produk-produk deterjen jenis ini adalah zat pembersih yang tergolong sedang-sedang saja, tetapi merupakan zat yang mempercepat pembasahan. Sekarang Nekal masih diproduksi dalam jumlah besar guna kepentingan industri tekstil.

Rantai Panjang

Di akhir dekade 1920-an dan awal 1930-an, beberapa jenis alkohol rantai panjang disulfonasikan dan dinetralkan dengan garam lalu diperdagangkan tanpa banyak campuran lain. Ada beberapa yang menambahkan natrium sulfat (sodium sulphate) guna meningkatkan kemampuan pencucian deterjen tersebut. Pada awal dekade 1930an, mulai diproduksi deterjen dari alkil-aryl sulfonat (alkyl aryl sulphonate) berantai panjang dengan inti aromatik benzena (benzene). Produk deterjen yang dijual pertama kali di Amerika itu menggunakan alkil yang diperoleh dari minyak bumi. Lagi-lagi, produk deterjennya merupakan hasil reaksi dengan garam-garam natrium yang diperkaya menggunakan natrium sulfat (sodium sulphate). Baik senyawa-senyawa alkohol sulfat (alcohol sulphate) maupun alkil-aryl sulfonat (alkyl aryl sulphonate) diperdagangkan sebagai zat pembersih, yang ketika itu tidak diminati pasar.

Di akhir Perang Dunia II, alkil aril sulfonat berhasil menggusur penggunaan alkohol sulfat sebagai bahan pembersih. Alkohol sulfat digunakan scbagai bahan utama dalam pembuatan shampoo. Cuma Teepol, sejenis alkohol sulfut sekunder (secondary alcohol sulphate), yang tetap populer sebagai bahan pembersih selama beberapa tahun.

Dalam perkembangan industri kimia selanjutnya, di Amerika muncul Igepon=T (bentuk garam sodium dari oleyl taurida), di Jerman muncul Mersolates (alkane sulphate), di Inggris Teepol (olefin sulfat atau olefine sulphate sekunder yang berasal dari minyak bumi). Bahan-bahan itu masih diproduksi sampai kini.

Setelah perang, barulah deterjen mulai diperhatikan dan diperjualbelikan oleh pedagang eceran. Pada awal kemunculannya, ternyata deterjen tidak mampu membersihkan kotoran dari pakaian benwarna putih. Bahan-bahan aktif dalam deterjen bisa mengangkat kotoran, tetapi tidak berhasil menjaganya tetap dalam larutan pencuci. Akibatnya sejumlah bercak kotor hinggap di berbagai tempat pada permukaan pakaian yang berwarna cerah, yang dicuci menggunakan deterjen.

Paten dari Perancis

Pada tahun 1936, seorang warga Perancis mendafiarkan hak paten atas senyawa karboksimetilselulosa atau carboxymethylcellulose (CMC). Senyawa itu mulai dipergunakan di Jerman pada PD II, sebagai pengganti bahan campuran sabun yang yang ketika itu menghilang dari pasar. belakangan ditambahkan pada deterjen sintetik yang menjadi pengganti sabun pada saat perang berkecamuk.

Ketika laporan rahasia tentang industri Jerman dipublikasikan, dilakukan penelitian dan terbuktilah bahwa CMC sebagai zat tambahan pada deterjen buatan bisa menghilangkan noda atau bercak yang semula muncul di permukaan pakaian berwarna cerah setelah dicuci dengan deterjen.

Meski terjadi berbagai kemajuan dalam produksi bahan aktif deterjen, sampai akhir PD II tidak tampak kemajuan yang berarti dalam penggunaan deterjen bagi pencucian bahan-bahan katun. Deterjen memang berhasil menyingkirkan penggunaan sabun dibidang londre dan mesin pencuci piring.

Belakangan pengusaha deterjen mulai menggunakan pola yang diberlakukan pada industri sabun biasa, yakni memakai bahan-bahan alkalin bentuk karbonat, silikat, boraks, dan ortofosfat (orthophosphates). Deterjen berkandungan fosfat mulai muncul di pasar tahun 1947 dan diperkenalkan sebagai deterjen heavy-duty. Mula-mula menggunakan tetra sodium pyrophosphate dan belakangan beralih pada sodium tripolyphosphate.

Kemunculan pasangan CMC dan tripolyphosphate mengakibatkan industri deterjen melejit. PT benzena sulfonat (propylene tetramer benzene sulphonate) menjadi bahan utama deterjen sampai awal dekade 1960-an. Sejak saat itu, terjadi peningkatan masalah pada pengolahan air buangan. Buih pada air sungai meningkat dan air minum yang berasal dari sumur-sumur dekat pembuangan limbah rumah tangga juga lebih berbuih.

Tidak Terdegradasikan

Ternyata alkil benzena sulfonat yang berbasis propilena (propylene-based alkyl benzene sulphonate) tidak terurai tuntas oleh bakteri yang secara alami terdapat pada saluran air buangan. Selain itu, pembentukan rantai cabang pada alkil benzena menyulitkan bakteri mencerna senyawa tersebut. Padahal, senyawa-senyawa sulfat dari asam lemak (fatty acid sulphate) dengan mudah terdegradasi oleh bakteri-bakteri tersebut. Belakangan terbukti juga bahwa alkil benzena berantai lurus (linear alkyl benzene) dapat didegradasikan oleh bakteri di saluran limbah (biodegradable)

Jerman merupakan Negara yang paling duluan melarang pembuangan bahan-bahan yang tidak terdegradasikan secara biologis (nonbiologically degradable material) ke saluran pembuangan. Pabrik-pabrik deterjen Amerika mulai tahun 1965 secara "sukarela" pindah dari penggunaan PT benzena ke alkil benzena berantai lurus (linear alkyl benzene atau LAS). Pabrik-pabrik deterjen Inggris juga menerapkan hal yang serupa.

Pencucian Mobil

Tidak banyak orang yang tahu bahwa deterjen menimbulkan masalah serius. Termasuk juga para pengusaha pencucian mobil, yang kini menjamur di Jakarta. Di Bintaro dan sekitarnya, tercatat setidaknya lima perusahaan pencucian mobil yang bekerja secara masinal. Ada yang di Jl RC Veteran, Jl Kesehatan Raya, bahkan sampai di Sektor 9 pun bermunculan usaha cuci mobil sejenis itu.

Setiap hari, antrean mobil di tempat pencucian mobil di kawasan JI RC Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan, selalu panjang. Satu per satu mobil tersebut masuk ke dalam ruangan mesin cuci otomatis. Di ruangan itu mobil-mobil diguyur air dan deterjen lalu disemprot dan dibilas. Hanya dalam waktu lima menit kendaraan sudah keluar dalam kondisi bersih.

Jasa pencucian seperti itu memudahkan pemilik kendaraan. Selain praktis dan cepat, tarif dasar pencucian hanya Rp 15.000. Tak banyak yang memerhatikan bahwa perusahaan jasa pencucian kendaraan seperti itu sangat menguras air tanah. Seorang karyawan usaha ini menyebutkan, tiap kendaraan roda dua memerlukan 60-100 liter air. Sementara untuk kendaraan roda empat dibutuhkan air 4 sampai 6 kali lipatnya

Selain itu, peluangnya mencemari lingkungan juga cukup besar Tidak ada yang mau berjujur tentang volume deterjen yang mereka habiskan guna mencuci mobil konsumen. Kebutuhan deterjen diperkirakan ratusan liter per minggu. "Saya enggak tahu persis mas. Bisa habis puluhan botol per minggu. Satu botol berisi 20 liter. Jadi, totalnya bisa ratusan liter (per minggu)," ujar karyawan salah satu tempat cuci mobil di Bintaro.

Ribuan Liter Air perhari

Pada hari-hari biasa, usaha pencucian mobil rata-rata menjaring konsumen 100 kendaraan, termasuk roda dua. Menurut pengamatan Warta Bintaro pencucian kendaraan bermotor terlihat makin banyak dikunjungi konsumen pada akhir pekan. Pada hari Sabtu atau Minggu setidaknya tiap perusahaan jasa pencucian menjaring konsumen 200 mobil per hari. Jumlah tersebut belum termasuk kendaraan bermotor roda dua. Artinya, ribuan liter air dikuras per hari guna mencuci mobil di Bintaro.

Pemerintah daerah dan pengelola kawasan Bintaro tidak terlalu memerhatikan dampak kehadiran usaha pencucian mobil. Semua unit usaha cuci mobil tersebut mengalirkan limbahnya ke selokan umum. Sebagian ada yang memang memasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sekadarnya. Namun, tidak ada yang melakukan audit dan kalibrasi atas alat tersebut. Lebih banyak lagi yang kemudian membuang langsung limbahnya ke selokan terdekat, tanpa tedeng aling-aling.

Ada pemilik bisnis, seperti yang berlokasi di JI Veteran, menyatakan pihaknya telah memiliki instalasi pengolah air limbah. Jonathan, supervisor usaha pencucian mobil di sana, mengatakan pihaknya juga telah memiliki Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) sebelum usahanya diizinkan beroperasi empat tahun lalu.

la menjelaskan, usaha pencucian mobil tempatnya bekerja memiliki fasilitas resapan air untuk menampung limbah pencucian. "Tapi, saya tidak bisa jelaskan detilnya mas. Bos saya yang tahu persis," ujarnya. Jonathan mengakui pihaknya menggunakan deterjen dalam pencucian mobil. Tapi, ia tidak paham jenis bahan kimia yang terkandung dalam deterjen tersebut. Selain deterjen, digunakan juga bahan yang bisa membuat cat mobil lebih mengkilat "Namanya juga pembersih dan pengilap, tentu ada (bahan) kimianya," ujarnya.

Sementara itu Rudy Tejo, pemilik usuha cuci mobil Rainbow di Jl Kesehatan Raya, Bintaro, memastikan usaha miliknya dilengkapi IPAL. Semua limbah cair pencucian tertampung dan sebagian dimanfaatkan ulang. Katanya sebagian limbah yang masih berkandungan deterjen dipakai membersihkan bagian bawah mobil. Tapi, tidak ada data pendukung mengenai pemanfaatan kembali deterjen bekas atau sisa pencucian tersebut.

Menurutnya, mesin cuci mobil otomatis yang dimilikinya membutuhkan lebih kurang 5 meter kubik atau 5.000 liter air segar setiap hari. Air tersebut disemprotkan bersama deterjen dari tanki utama ke mobil, lalu buangannya mengalir ke saluran kecil dan dikembalikan ke tanki pembersih sekaligus pemisah limbah. "Investasinya besar. Mesin diimpor dari Taiwan dan harganya di atas satu miliar rupiah,"jelasnya.

Menurut Rudy, bisnis cuci mobil tidak memberi keuntungan besar meski tampak ramai dikunjungi konsumen. Persaingannya ketat, dan tarifnya relatif tnurah. "Tadinya saya kira tahun ini ongkos cuci bisa naik menjadi Rp 25.000. Tapi, orang lain memasang tarif Rp 15.000. Jadi, saya juga tidak bisa menaikan harga. Harus benar-benar berhemat,” ujarnya. Albert Kuhon



Post Date : 30 November 2008