Limbah Kayu Jadi Bahan Bakar

Sumber:Kompas - 23 Oktober 2009
Kategori:Lingkungan

Jika sampah kayu dari hasil pembukaan lahan di Indonesia dibakar dan menghasilkan bencana asap, di Jepang limbah kayu diolah menjadi bahan bakar. Inilah pelajaran berharga, tidak perlu takut mengeluarkan biaya untuk menyelamatkan bumi karena bisa mendapatkan keuntungan.

Semua limbah kayu yang dihasilkan dari proyek konstruksi, pembongkaran rumah, dan potongan kecil dari pabrik dibawa ke kilang milik perusahaan Bioethanol Japan Kansai Co Ltd untuk diolah menjadi bahan bakar etanol. Produk yang dihasilkan melalui proses pengilangan kemudian dicampurkan ke bensin sebagai bahan bakar transportasi.

Kilang limbah kayu merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan energi biomassa sebagai sumber daya baru yang berasal dari alam organik, seperti etanol dari tebu atau jagung. Etanol kemudian dicampurkan ke bensin untuk mengurangi emisi karbon dioksida, membantu mencegah pemanasan global. Selain itu, juga mengamankan sumber daya energi untuk mengurangi penggunaan minyak.

Namun, upaya tersebut memang harus didukung pemerintah dengan sepenuh hati. Seperti yang dilakukan Pemerintah Jepang yang memberikan dukungan atas kilang pengolahan limbah kayu milik Bioethanol Japan Kansai Co Ltd. Dukungan yang akhirnya dapat menghindari adanya penimbunan dan pemusnahan sampah secara ilegal. Tak hanya itu, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang juga memperkenalkan undang-undang produksi daur ulang pada tahun 2000 dengan mulai mengeluarkan wacana pengembangan konstruksi pengelolaan limbah.

Memang hingga saat ini produksi biofuel dari limbah kayu relatif masih sangat terbatas, tetapi memiliki kemajuan. Sejak dimulai tahun 2000, produksi hanya 4,7 juta ton, tahun 2005 meningkat menjadi 7,3 juta ton, pada tahun 2010 diprediksi akan meningkat lagi menjadi 7,5 juta ton, dan tahun 2020 menjadi 7,6 juta ton.

Pengurangan emisi dalam rangka pencegahan efek pemanasan global dengan memperkenalkan penggunaan biofuel di Jepang sudah dilakukan sejak Protokol Kyoto ditandatangani tahun 1990 dengan komitmen pengurangan CO sebanyak 6 persen. Waktu itu, Pemerintah Jepang mulai memproduksi dan menggunakan 500.000 kiloliter biofuel.

Kemudian gerakan penggunaan biofuel mulai dipromosikan melalui strategi ”Biomass Nippon” pada Maret 2006. Kemudian disokong juga dengan program Strategi Energi Alternatif Nasional pada Mei 2006, yakni dengan pencanangan 50 persen penggunaan biofuel untuk bahan bakar pada tahun 2030.

Pemanfaatan biofuel juga didukung dengan undang-undang, yang membuat peraturan terhadap kontrol kualitas produksi bahan bakar pada Juni 2003 dengan membolehkan pencampuran 3 persen etanol ke bahan bakar premium. Kemudian pemerintah juga mengatur perdagangan alkohol pada April 2006 dengan tujuan menetapkan liberalisasi perdagangan etanol.

Hal yang juga menarik dari kilang Bioethanol Japan Kansai Co Ltd adalah karena didirikan di atas kawasan industri yang merupakan lahan reklamasi dengan memanfaatkan timbunan sampah dan limbah industri. Namun, tidak perlu dikhawatirkan keamanan lingkungannya karena perusahaan pemerintah yang dibentuk untuk mengelola sampah pada tahun 1971 telah membuat perencanaan yang matang agar proyek tersebut tidak merusak lingkungan ketika memulai reklamasi tahun 1974.

Kawasan industri yang memiliki luas 280 hektar ini dibangun dengan 49,77 juta ton timbunan yang terdiri dari 45,29 juta ton sampah industri dicampur dengan 4,48 juta ton tanah. Sampah tersebut diambil dari seluruh wilayah Osaka, tetapi sebagian besar berasal dari Kota Osaka. Sementara dari jenis Osaka, 29,64 juta ton terdiri dari sampah konstruksi, Tailing sebanyak 6,32 juta ton, endapan yang sudah dipadatkan sebanyak 4,96 juta ton, dan endapan biasa 2,83 juta ton.

Dokumen rahasia

Urusan mengelola barang bekas memang Jepang jagonya. Sampai mendaur ulang dokumen rahasia menjadi kertas toilet pun menjadi bagian dari usaha untuk menjaga lingkungan. Jadi, kantor-kantor di Jepang tak perlu lagi membuang waktu dan biaya untuk menghancurkan dokumen rahasia, apalagi membakarnya.

Produsen kertas toilet merek CoreLex menciptakan teknologi sederhana yang memisahkan komponen logam saat dokumen dijadikan bahan bubur kertas untuk pembuatan kertas tisu untuk toilet. Teknologi tersebut memudahkan perusahaan mengatasi tumpukan dokumen tanpa harus membuka kemasan yang disegel dari lembaga asalnya sebelum didaur ulang.

Bukan hanya itu, sejak didirikan, perusahaan ini juga mengembangkan sistem mengelola ulang bekas kemasan susu dan cangkir kertas karton yang pada masa lalu dibakar karena tidak dapat diperbarui. Pengembangan terus-menerus sebagai kontribusi pada lingkungan membuat Ketua Dewan Promosi Recycling memberikan penghargaan karena mempromosikan pengembangan industri daur ulang.

Yoichi Ishii dari San-Ei Regulator Co Ltd, produsen tisu toilet merek Core-lex, mengutarakan, lingkungan adalah kunci masa depan. Pengelolaan limbah merupakan proyek nasional dan menjadi perhatian seluruh dunia, khususnya solusi untuk limbah ”nol”.

Menurut Ishii, di perusahaan San-Ei, semua sumber daya dimanfaatkan. Logam-logam yang terkumpul, seperti penjepit, dimanfaatkan kembali untuk dilebur ulang. Kemudian, bahan-bahan plastik dibakar guna mendapatkan energi untuk operasional pabrik. Bahkan, abunya dijual lagi sebagai bahan baku untuk semen. Jadi, nyaris semua limbah dari dokumen memiliki nilai ekonomi.

Bukan hanya urusan sampah, pengusaha di Jepang sepertinya berlomba-lomba mengurangi gas buang serta emisi zat berbahaya, termasuk dioksin, akan berkurang. Termasuk Hitachi Zosen yang mengembangkan teknologi pembakaran sampah yang sangat ramah terhadap lingkungan dengan meminimalkan pembuangan zat-zat beracun ke udara.

Hitachi Zosen bukan hanya sibuk melakukan inovasi, tetapi juga menciptakan insinerasi yang dipadukan dengan sistem pembangkit listrik. Dengan menghasilkan daya dan menggunakan panas sampah yang dibakar, mereka bukan hanya berkontribusi untuk menurunkan emisi CO, tetapi juga menciptakan energi.

JFE Engineering Corporation juga menciptakan teknologi untuk mengurangi pemakaian energi listrik dalam penggunaan pendingin ruangan di Jepang. Hal ini sangat penting bagi Jepang karena pemakaian listrik pada sektor umum mencapai 36,1 persen, dengan sebanyak 40 persen dari penggunaan listrik tersebut dikonsumsi oleh pemakaian penyejuk ruangan (AC).

Jika melihat apa yang dilakukan Jepang dalam pengembangan teknologi yang ramah lingkungan dan berorientasi pada pengurangan emisi karbon, memang dibutuhkan biaya yang tidak murah. Namun, nilai yang tak terhitung adalah lingkungan yang bersih, dan yang paling penting sudah berjalan jauh di depan bangsa lain. (BOY)



Post Date : 23 Oktober 2009