Longsor Itu Menyisakan Trauma

Sumber:Kompas - 23 Februari 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
"SAYA berlari sambil menangis. Teringat keluarga kakak yang tinggal di sebelah rumah. Tapi, rumah mereka sudah tertimbun sampah," ujar Ny Sarnikah, seorang warga Kampung Pojok Cireundeu, Desa Leuwigajah, Kota Cimahi, yang berhasil menyelamatkan diri dari bencana longsor sampah pada hari Senin (21/2) dini hari.

Tak dinyana, sejam kemudian ia mendengar ledakan, diikuti padamnya arus listrik. Saat menengok ke atas, gundukan sampah sudah menjebol atap rumahnya. Sampah itu terus bergerak.

Sunarya berlari ke kamar dan membangunkan istri serta anaknya. Lalu mereka berusaha membuka pintu. Pintu sulit dibuka karena rumah mereka dikurung sampah setinggi atap rumah.

"Hanya di depan ventilasi rumah yang tidak tertutup sampah," kata Sunarya yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung. Ia pun segera membobol kaca ventilasi yang berukuran 0,5 x 0,25 meter. Akibat menerobos lubang kecil itu, tangan kanan Sunarya luka dan terkilir.

Ia injak sampah yang terus bergerak dan meloloskan diri dari tempat kejadian. Malam itu, ia pun galau, anak semata wayangnya tidak juga bersuara. "Saya pikir dia sudah meninggal," ujar Sarnikah.

Namun, setelah jauh berlari, anaknya yang tak bergerak akibat shock itu dapat memanggil nama Sarnikah.

Seingat Sarnikah, pada malam saat ia berlari menuju rumah orangtuanya di Kampung Pojok Cireundeu di bagian atas, sekitar 300 meter dari rumahnya, suasana di lokasi kejadian sangat mencekam. Tidak ada suara yang terdengar, sementara keadaan di luar rumah gelap gulita.

"Setelah jauh berlari, baru saya dengar ada teriakan minta tolong. Tapi saya tidak bisa kembali karena tanah terus bergerak," papar Sarnikah.

Sarnikah mengatakan, sekitar 15 tetangganya tengah memulung sampah untuk mendapat tambahan penghasilan. "Mereka ingin menghindari bekerja mengeruk sampah pada siang hari. Soalnya di siang hari baunya menyengat dan sering bikin pusing," tuturnya.

Para pemulung yang bekerja malam hari biasanya keluar rumah pada pukul 15.00 dan kembali pukul 03.00. Di malam hari mereka biasa menyalakan obor. "Kalau sedang untung, para pemulung bisa mendapatkan emas, perhiasan, selain mengumpulkan plastik dan besi," ucap Sarnikah.

Namun, Sarnikah mengaku, suaminya yang pemulung tak pernah mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 15.000 per hari.

Cerita duka juga berputar terus di benak Yudi (23). Warga Kampung Pojok sebelah atas ini segera keluar rumah begitu melihat ada api hijau membubung tinggi pada malam kejadian. "Saya ingat dua keponakan dan sepupu saya di sana," kata Yudi. Namun, ketika sampai di lokasi, ia hanya tercenung lalu kembali pulang.

"Rasanya sedih sekali, sampai tidak tahu caranya menangis," ujar Yudi yang selalu teringat kepada dua keponakannya yang berusia 10 tahun dan 6 tahun yang setiap hari bermain di rumahnya sambil menunggu jadwal mengaji.

SEJAK Senin Yudi ikut membantu mengevakuasi jenazah. Karena lelah bekerja dengan pikiran linglung dan tidak makan, Yudi dan teman-temannya tampak beristirahat pada Selasa siang kemarin dengan wajah tercenung sambil saling memijit pundak.

"Karena capek dan sudah tidak tahan bau mayat, setelah beristirahat ini saya akan membantu menguburkan mayat saja," kata Yudi.

Kampung Pojok Cireundeu dan Cilimus yang menjadi lokasi kejadian longsor berdiri membelakangi gunung yang terbangun dari tumpukan sampah. Gunung sampah berada di antara Gunung Pasir Panji dan Gunung Kunci (bukan 22 meter seperti ditulis Kompas 22/2). Sampah yang sudah lama menggunung itu tingginya lebih kurang 60 meter, lebar 200 meter, dan panjang 375 meter.

Sejak Sabtu pekan lalu gunung sampah tersebut terus diguyur hujan deras. Puncaknya, pada Senin sekitar pukul 02.00 terjadi ledakan seperti suara bom diikuti longsor sampah.

Gunung sampah ambruk dan mengalir sepanjang 625 meter ke Kampung Cilimus dan Pojok Cireundeu, lalu menimbun 48 rumah di dua kampung tersebut. Warga yang tertimbun sampah di Kampung Cilimus berjumlah 176 orang dan warga di Kampung Pojok Cireundeu berjumlah sekitar lima orang.

Hampir sebagian besar warga tidak dapat diselamatkan. Sampai kemarin sore tercatat 67 jenazah warga dievakuasi.

Sampah juga meluluhlantakkan kebun dan sawah warga sekitar. Padahal, sebulan lagi sawah tersebut akan dipanen.

"Kami waswas, tidak bisa tidur, tidak bisa bekerja. Kami ingin dipindahkan dari kampung ini," kata Husdi (62), warga Pojok Cireundeu.

Kata-kata Husdi disetujui belasan warga yang tengah berkumpul di sebuah gang di kampung tersebut. Mereka berkumpul sambil membicarakan nasib mereka di masa datang. Mereka tak ingin lagi tinggal di kampung yang kondisi lingkungannya sangat buruk.

Mereka lalu sahut-menyahut melontarkan keluh kesah tinggal di kampung yang dikelilingi gunung sampah. "Pokoknya kami ingin dipindahkan bersama-sama ke tempat yang sama," kata Mahadi (65).

Warga yang berkumpul itu telah tinggal di kampung tersebut secara turun-menurun. Itu sebabnya antara satu warga dan warga lainnya terkait ikatan persaudaraan.

Arma mengenang kampungnya yang damai dan sejuk karena dikelilingi gunung. Sekitar tahun 1980 datang sekelompok orang membeli tanah-tanah milik warga. Luasnya sekitar dua hektar di Gunung Kunci dan empat hektar di Gunung Pasir Panji. "Katanya buat penghijauan," tutur Arma.

Selama dua tahun areal yang dibeli itu ditanami sirih wangi dan kopi. "Tapi, seperti tidak dipelihara. Tanamannya rusak semua," ujar Arma menambahkan.

Sekitar tahun 1983 tanah tersebut dijadikan tempat pembuangan sampah. Awalnya sampah hanya sedikit dan langsung ditimbun tanah. "Tapi lama-kelamaan keadaannya seperti ini. Sampah jadi menggunung, tidak diurus," kata Arma mengeluh.

"Kami seperti ditipu. Tidak tahu kalau lokasi ini dijadikan TPA (tempat pembuangan akhir sampah)," ucap Arma.

Berkali-kali mereka memprotes, tetapi tetap tak digubris. Sementara lingkungan mereka semakin rusak. "Dulu, air di daerah ini bagus. Sekarang masih jernih, tapi rasanya manis," kata Arma lagi.

Selain itu, di musim kemarau, rumah mereka diserbu ribuan lalat. "Sering ada yang menyemprot, tapi kami harus bayar Rp 1.000. Besoknya lalat banyak lagi," kata Arma berkeluh kesah. (Y09)

Post Date : 23 Februari 2005