Makan Saja Susah, apalagi Bikin WC...

Sumber:Kompas - 30 Agustus 2005
Kategori:Sanitasi
Bagi Nata (30), kakus bukanlah sesuatu yang pokok. Seumur hidupnya, bahkan sepanjang riwayat leluhurnya, kakus memang tak pernah dianggap harus ada. Maka ia pun cuma tersenyum saat ditanya apakah ada jamban di rumahnya. Boro-boro bikin WC, buat makan aja susah! begitulah ia menjawab.

Nata adalah penduduk Desa Kramat di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Ia tidak sendiri. Sebagian besar warga di kampungnya juga tidak punya jamban.

Bagi mereka buang hajat dapat dilakukan di mana saja. Bisa di sungai, di empang, kebun, sawah, atau di sekitar rumah. Dalam ukuran Indonesia, Nata adalah salah satu di antara 35 persen penduduk yang tidak memiliki jamban.

Kali di depan rumah Nata adalah salah satu jawabannya. Laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak, membuang hajat di sana.

Mereka juga mandi atau mencuci pakaian di kali itu, berjajar dengan mereka yang membuang hajat dengan jarak tak lebih dari sepuluh meter. Begitulah yang berlangsung hingga diare berjangkit di sana Mei-Juni lalu. Bahkan, ritual itu tetap diulang setelah kasus diare mereda. Sudah kebal, kata Nata.

Betulkah? Kenyataan menunjukkan, pada 8-27 Juni, muntah berak (muntaber) berjangkit di Kecamatan Sepatan, Pakuhaji, dan Mauk. Penderitanya mencapai 1.176 orang dan 19 orang di antaranya meninggal.

Bangun jamban

Sesudah kejadian itu Pemerintah Kabupaten Tangerang berencana pembangunan 200 sarana air bersih, 80 tempat mandi-cuci-kakus (MCK), dan 400 jamban yang tersebar di 56 desa di tiga kecamatan wilayah endemik muntaber tersebut.

Dinas Kesehatan pun sibuk melatih 80 orang calon kader posyandu dari 200 orang yang ditargetkan. Mereka dipersiapkan untuk membantu pemberantasan diare di wilayah itu.

Dalam 20 tahun terakhir (sejak 1983), diare yang dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) rata-rata terjadi 148 kasus per tahun. Separuh dari wilayah Indonesia, terutama desa, tidak luput dari serangannya.

Walau jumlah kasus cenderung turun dari waktu ke waktu, demikian pula dengan angka insidennya, masalah ini memalukan dari sisi kesehatan karena merupakan isu kesehatan dasar. Penurunan angka insiden diare tahun 2000 dari 21,9 per 1.000 penduduk menjadi 7,5 pada 2004, tetap menunjukkan ketidaksadaran penduduk akan higiene dan sanitasi.

Hasil surveibaik melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992, SKRT 1995 maupun Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001menunjukkan bahwa peringkat diare sebagai salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian umum di Indonesia terus menurun.

Kedudukannya bergeser dari semula di urutan kelima ke urutan kesembilan. Walau begitu, seperti disinggung di atas, bahaya wabah belum teratasi.

Untuk bayi dan anak-anak usia di bawah lima tahun (balita) penyakit ini masih menjadi momok, dan berada di golongan tiga besar penyebab kematian.

Diare adalah penyakit yang gejalanya terlihat berupa buang air besar yang lembek dengan frekuensi lebih sering dari biasanya, lebih dari tiga kali dalam sehari. Diare bisa disertai dengan muntah, dehidrasi, sakit perut yang hebat, dan adanya lendir serta darah dalam tinja.

Penularannya terjadi secara langsung. Kuman pada tinja penderita yang mencemari air, makanan, atau minuman akan segera menulari orang lain yang mengonsumsi air, makanan, atau minuman itu. Proses perpindahan kuman dibantu oleh lalat, tangan manusia, dan sanitasi yang buruk.

Hasil uji klinis yang dilakukan pada berbagai kawasan KLB di Indonesia menunjukkan bahwa wabah diare umumnya disebabkan oleh kuman Vibrio cholerae.

Diare yang menyerang sekelompok orang di suatu daerah sering kali disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi. Kuman Entamoeba histolytica, Shigella disentry, Salmonella campylobacter jejuni, dan Escherichia coli yang termasuk dalam kelompok disentri, adalah penyebab lain terjadinya diare.

Terkait kemiskinan

Perpaduan rendahnya status sosial, minimnya air bersih, dan ketiadaan jamban memudahkan berjangkitnya wabah ini. Penduduk dengan penghasilan rendah yang hidup di lingkungan susah air serta punya kebiasaan bab di sembarang tempat, sangat rentan terhadap penyakit tersebut.

Pemahaman yang keliru juga memperparah keadaan. Chaerul, ayah satu anak, warga Kecamatan Pakuhaji misalnya, sama sekali tak tahu penyebab berjangkitnya diare di kampungnya beberapa waktu lalu.

Menurut dia tak ada hubungan antara penyakit tersebut dengan kebiasaan penduduk bab di kali. Dalam bayangan Chaerul diare terjadi begitu saja.

Ketersediaan fasilitas kesehatan adalah faktor berikutnya. Jauhnya rumah sakit ataupun puskesmas menyulitkan penderita mendapatkan pertolongan secepatnya. Tidak sedikit rumah penduduk yang jaraknya lebih dari lima kilometer dari rumah sakit maupun puskesmas.

Akibatnya, penderita tidak tertolong karena terlambat ditangani. Rendahnya pengetahuan tentang cara penanggulangan turut pula memengaruhi tingkat keparahan wabah diare.

Dilihat dari penyebabnya penyakit ini sebetulnya termasuk jenis yang mudah dicegah. Garam oralit, atau larutan gula garam yang segera diberikan pada penderita bisa menjadi pertolongan pertama yang akan mengurangi risiko kematian.

Walau begitu, hingga kini secara nasional penderita yang meninggal (case fatality rate) rata-rata masih di kisaran 2-3 orang per 1.000 penduduk.

Rumah sakit dan puskesmas adalah sarana penanggulangan. Pada sisi penyebab, kesulitan penduduk mendapatkan air bersih adalah faktor yang memperbesar peluang munculnya diare.

Penduduk seperti di pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli air bersih. Mereka tidak akan menggunakan air tersebut untuk keperluan membuang hajat.

Penggantinya adalah air sumur yang biasanya asin. Karena itulah mereka memilih jalan yang lebih mudah seperti yang dikatakan Lancar, warga lain di daerah itu, Buang air di situ (sungai-Red) saja, bersih-bersih juga ambil air dari situ.

Jika datang musim kering yang berkepanjangan kondisi lingkungan menjadi kian buruk.

Sanitasi memprihatinkan

Karena sulit memperoleh air bersih, sanitasi perorangan menjadi memprihatinkan. Mencuci tangan belum menjadi kebiasaan. Padahal menurut penelitian cara praktis untuk mencegah diare adalah dengan mencuci tangan dengan sabun. Kebiasaan ini akan mengurangi risiko terjadinya diare 40 persen.

Jangankan membiasakan diri berbuat bersih, bagaimana cara penampungan kotoran dan memilih jenis jamban yang memenuhi syarat untuk kesehatan pun belum banyak dikenal.

Jamban model leher angsa adalah jenis yang dianjurkan. Air yang dikondisikan tergenang di dalamnya akan mencegah penularan kuman penyebab diare. Berbagai vektor (pembawa bibit penyakit) seperti lalat, tikus, dan kecoa akan sulit keluar masuk tempat itu karena terhalang air.

Penyebaran bau pun dapat dicegah. Untuk itu air harus selalu tersedia. Hingga kini, lantaran miskin dan tidak punya jamban serta sulit mendapatkan air bersih, satu dari tiga orang di Indonesia masih membuang hajat di sembarang tempat. Diare memang masih tetap jadi ancaman.

Nila Kirana Litbang Kompas

Post Date : 30 Agustus 2005