Mandat Nusa Dua

Sumber:Majalah Gatra - 22-28 November 2007
Kategori:Climate
Sebagai tuan rumah, Indonesia akan memperjuangkan agar konvensi perubahan iklim lebih menghargai hutan tropis dan usaha perkebunan. Akses teknologi harus dibuka lebih lebar. Tanpa peran serta negara berkembang, global warming bakal lebih sulit dibendung.

Kawasan Nusa Dua, Bali, akan menjadi perhatian dunia awal Desember 2007 ini. Di sana akan berkumpul sekitar 10.000 orang yang datang dari 189 negara. Sebagian adalah delegasi resmi badan-badan PBB. Sebagian lagi utusan pemerintahan negara tamu, bahkan ada di antaranya kepala negara. Selebihnya mewakili lembaga-lembaga internasional, organisasi lokal, atau hadir menjadi peninjau. Yang pasti, ribuan orang itu terikat dalam isu tunggal: perubahan iklim.

Tema perubahan iklim kini makin menggugah kesadaran dunia. Agenda-agenda besar telah dirancang untuk menghidarkan planet ini dari kehancuran. Di kawasan wisata Nusa Dua, langkah-langkah bersama itu akan kembali dibahas, dievaluasi, dan disepakati melalui event tahunan bertajuk ''United Nations Climate Change 2007''. Perhelatan akbar itu sendiri berlangsung pada 3-14 Desember 2007, dengan mengagendakan 800 sesi sidang.

Tentu akan banyak hal yang dibahas. Toh, semuanya terangkai dalam satu untaian yang mengacu pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change --UNFCCC). Konvensi itu sendiri, secara penuh atau sebagian, telah meraih dukungan lebih 190 negara, yang semua disebut ''para pihak'' (parties). Mereka telah bersidang 12 kali, karena itu event di Bali kali ini disebut pula Conference of Parties (CoP) yang ke-13.

Pembicaraan CoP ke-13 di Bali kali ini, seperti juga sebelumnya, akan bermuara ke isu utama, yakni bagaimana mereduksi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2). Gas-gas tersebut sudah bertumpuk pekat di atmosfer kita, dan memerangkap radiasi panas bumi. Kini gas pencemar itu secara nyata telah menimbulkan gejala pemanasan global. Tak pelak, neraca karbon harus terus dikalkulasi ulang. Bujet karbon harus ditetapkan. Salah hitung, bumi akan mengalami ledakan karbon yang akan menjadi sumber bencana perubahan iklim.

Tak mudah menetapkan bujet karbon secara global. Mereduksi emisi secara drastis sama halnya mengendorkan aktivitas ekonomi secara luas, dan mengurangi kenyaman hidup. Tapi, langkah pemangkasan karbon tidak bisa ditunda-tunda lagi, tak bisa ditawar-tawar lagi. Yang diperlukan adalah langkah nyata. Dalam konteks inilah konferensi perubahan iklim memberikan kontribusinya.

Efek Rumah Kaca

Kekhawatiran akan terjadinya global warming sebetulnya telah terlontar lebih dari seabad lalu. Svante Arrhennius, seorang ilmuwan Swedia, pada tahun 1894 menyatakan bahwa CO2 adalah unsur terpenting yang mengontrol suhu di atmosfer. Berakhirnya Zaman Es ditandai mencairnya gunung-gunung es di lingkaran kutub sehingga membentuk tropografi darat dan luas lautan seperti yang ada sekarang, menurut ilmuwan ini, terjadi karena terjadi penambahan konsentrasi CO2 di udara.

Arrhennius membuktikan bahwa kadar CO2 pada batuan es yang berasal dari zaman es hanya separuh dari konsentrasi yang terkandung di dalam salju dari zamannya. Karenanya, ia berpendapat kenaikan suhu atmosfer akan terjadi beriringan dengan naiknya konsentrasi CO2. Maka, ia pun mewanti-wanti bahwa konsumsi bahan bakar fosil, yang menjadi sumber emisi CO2, bisa menyebabkan lonjakan suhu bumi yang tak terkontrol.

Penumpukan karbon dioksida di atmosfer itu ibarat tabir yang menghadang radiasi panas dari bumi seisinya keluar angkasa. Proses itulah yang menjaga keseimbangan panas. Dengan begitu, tabir CO2 itu dapat dianalogikan dengan atap serta dinding rumah kaca. Ia membiarkan radiasi matahari masuk, tapi mencegah radiasi panasnya kembali terpancar keluar. Alhasil, suhu rumah kaca lebih tinggi dari sekitarnya. Gejala pemanasan bumi itu pun sering disebut sebagai efek rumah kaca.

Lonjakan konsentrasi CO2 itu setelah era revolusi industri. Duaratus tahun lalu, kadar CO2 di atmosfer sekitar 280 ppm (part per million). Kini ia telah melesat ke angka 383 ppm, padahal tahun 1958 masih di level 315 ppm. Tirai karbon itu telah pekat menebal. Temperatur global rata-rata naik 0,8 derajat celsius dari posisi awal revolusi industri. Kenaikan suhu lokal tentu saja bervariasi.

Bila tidak ada upaya kongkret mereduksi emisi CO2, menurut Tim Flannery, ilmuwan Australia, dalam bukunya We Are the Weather Makers (2006), konsentrasi CO2 akan mencapai 560 ppm. Saat itulah musibah perubahan iklim dimulai. Suatu model dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan, ketika kadar CO2 mencapai level itu, temperatur udara naik antara 1,5-4,5 derajat celsius. Air laut naik sampai 90 sentimeter karena es di kutub mencair, selain pengaruh pemuaian air karena kenaikan suhu air laut itu sendiri.

Tim Flannery mengingatkan, ancaman perubahan iklim itu bukan cuma dongeng. Dia menyebutkan bahwa tegakan pohon hutan kini telah merambah puncak Gunung Albert Edward di Papua Nugini. Padahal, dulu hanya rumput yang tumbuh di sana. Rupanya, suhu puncak gunung itu telah meningkat, hal yang membuat pepohonan bisa tumbuh beradaptasi.

Lebih jauh, Flannery menulis bahwa gejala awal perubahan iklim itu juga telah membuat kawasan Sahara makin kering. Angin musim yang membawa uap air ke langit Sahara berbelok, karena muncul tekanan rendah di Samudera Hindia. Di lain fihak, Kanada menderita dalam musim dingin karena badai salju mengamuk sejadi-jadinya. Perubahan iklim bisa berkembang ke arah yang tak terduga.

Protokol Kyoto

Puluhan tahun seruan Svante Arrhenius itu tidak digubris. Konsumsi bahan bakar fosil melaju tanpa henti. Penumpukan CO2 di atmosfer, disertai gas-gas rumah kaca lainnya, seperi NOx dan metana, seperti tak bisa terbendung. Neraca panas di atmosfer bumi mulai terguncang.

Kondisi buruk itu mengundang keprihatinan kalangan ilmuwan, cendekiawan, dan aktivis lingkungan. Keprihatinan itu akhirnya ditampung dalam suatu konferensi di Villach, Austra, 1985. Seperti ditulis Tim Flanery, konferensi itu kemudian menghasilkan evaluasi pertama dan otoritatif untuk mengatakan betapa seriusnya potensi kerusakan akibat perubahan iklim.

Kesadaran baru itu terus bergema ke segala penjuru, termasuk ke markas PBB di New York. Sidang Umum PPB lalu memprakarsai pembentukan INC (Intergovernmental Negotiating Committee). Tugasnya, menegosiasikan draf materi untuk konvensi perubahan iklim. INC bertemu enam kali sebelum menghasilkan draf yang lantas diusung ke event United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro, 1992. Pertemuan di Rio itu disebut pula Earth Summit alias KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi.

Di ibu kota Brasil itulah lahir dua buah keputusan penting, yakni Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Keduanya menjadi komitmen politik dari 155 negara untuk menjaga lingkungan bumi agar lestari.

Konvensi Perubahan Iklim itu menyepakati langkah-langkah yang kongkret. Prof. Daniel Mudyarso, guru besar meteorologi pertanian Institut Pertanian Bogor, dalam bukunya Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim (2003), menulis bahwa Pasal 2 Piagam PBB itu menyebutkan, tujuan konvensi adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada ke tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Konvensi juga menetapkan bahwa emisi karbon di tahun 2000 harus ditekan hingga ke tingkat emisi tahun 1990.

Menurut Mudyarso, INC masih harus bersidang enam kali lagi untuk menyiapkan tata kelembagaan bagi Konvensi Perubahan Iklim. Kota Bonn, Jerman, ditetapkan sebagai sekretariat tetapnya. Konferensi pertama di antara negara pendukung konvensi (CoP 1) itu kemudian digelar di Berlin 1995 dan menghasilkan dokumen yang disebut Mandat Berlin. Begitu seterusnya, CoP bergulir ke Jenewa, Swiss, 1996, melahirkan Geneve Declaration, lalu ke Kyoto, Desember 1997. Sidang CoP ke-3 itulah yang melahirkan dokumen penting Protokol Kyoto.

Sidang-sidang CoP berlanjut. Tahun 1998 bertempat di Buenos Aires, di Bonn lagi 1999, dan berus bergulir hingga kini tiba gilirannya di Bali. Tempat konferensi tergantung ada-tidaknya tawaran menarik dari negara anggota konvensi. Bila tak ada tawaran, konferensi secara otomatis akan digelar di Bonn, seperti terjadi pada tahun 1999 dan 2001.

Di antara banyak dokumen konferensi itu, Protokol Kyoto yang paling penting. Ia secara tegas menetapkan target reduksi emisi gas rumah kaca sebesar 5,2% hingga 2012. Ada yang harus memangkas 8% seperti Uni Eropa, ada pula yang masih leluasa menambah emisinya sampai 8% seperti Australia. Namun, tak sudi dibebani target reduksi emisi 7%, Amerika Serikat yang mula-mula setuju dengan protokol tadi, awal 2001 dia menyatakan menolak meratifikasinya. Protokol itu disebutnya akan menghancurkan kehidupan ekonominya.

Apa pun, Protokol Kyoyo menorehkan kemajuan Produk CoP ke-3 dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca. Menurut Mudyarso, dokumen produk CoP ke-3 itu memberikan arahan yang lebih nyata bagi pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim. Guru besar IPB yang meraih gelar PhD dari Reading University, Inggris, tahun 1985, itu mencatat ada tiga jurus kongkret yang dilahirkan di Kyoto untuk menekan emisi gas-gas rumah kaca.

Jurus pertama ialah emissions trading (perdagagan emisi). Di sini dimungkinkan terjadi transaksi antara pihak yang berhasil menekan emisi karbon dengan fifak lain yang tak bisa memenuhi kuajiban serupa. Dengan membayar ke pihak yang bisa memangkas karbonnya dalam jumlah setara, pihak pertama terbebas dari kuajiban. Tapi, mekanisme ini hanya berlaku di kalangan sesama negara industri maju.

Yang kedua adalah kerja sama antar-pihak (joint implementation). Skema ini juga hanya berlaku untuk negara-negara maju. Jika pihak pertama tak bisa mereduksi emisi karbonnya, ia boleh menjalin kerja sama dengan pihak kedua dalam sebuah proyek industri yang menekan emisi karbon. Kredit karbon yang diraih menjadi hak pihak pertama, untuk membayar kewajibannya mereduksi emisi karbon di tempat asal.

Skema ketiga disebut mekanisme pembangunan bersih, alias clean development mechanism (CDM). Di sinilah ada peluang kerja sama antara negara berkembang seperti Indonesia, yang tak dibebani pengurangan emisi karbon, dengan negara industri yang dikenai kewajiban menurunkan emisi karbon oleh ketentuan konvensi perubahan iklim,

Tim Flannery pun memuji Protokol Kyoto, karena berhasil memilah hal-hal yang esensial bagi kelestarian bumi, dengan soal-soal praktis yang dapat mengusik kepentingan ekonomi dan politik. ''Protokol Kyoto akan mempengaruhi semua negara di masa mendatang,'' tulisnya, Namun, ia menyayangkan bahwa target penurunan emisi cuma 5,2%. Yang memadai, menurut Flannery, adalah penurunan 70% terhadap potensi akumulasi penambahan karbon hingga 2050.

Carbon Dollar

Protokol Tokyo ini telah membuka praktek bisnis baru, yakni transaksi emisi gas rumah kaca. Secara umum orang menyebut carbon trading. Tim Flannery memberikan julukan sebagai mata uang baru karbon dolar. Skema CDM hanya berlaku di lingkungan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto.

Yang paling siap menyambut era carbon dolar ini agaknya Uni Eropa. Perdagangan emisi itu sendiri telah dimulai awal 2005 dengan melibatkan 14 anggotanya plus 11 negara Eropa Timur dan eks Uni Soviet. Masing-masing menerima jatah emisi untuk dibagi ke instalasi industri yang keseluruhannya berjumlah 12.000 unit. Hasilnya, sekitar 450 juta ton gas emisi (ekuivalen karbon) bisa dijualbelikan pada periode 2005-2007.

Untuk periode kedua, 2008-2012, dengan target reduksi gas setara CO2 sebanyak 10%, kredit karbon yang ditransaksikan bisa mencapai 2,2 milyar ton gas setara CO2. Kalau setiap ton itu harganya 10 euro, kue kredit karbon itu bisa mencapai nilai 22 milyar euro. Namun, harganya sangat fluktuatif.

Industri di Uni Eropa tak harus mengonpensasi kelebihan emisinya dengan cara membeli kredit karbon dari kawasan itu pula. Pasar karbon bersandar pada hukum pasar bebas. Mereka bisa membeli karbon kredit dari kawasan lain seperti Asia. Itulah yang dilakukan KfW Banken Gruppe. Perusahaan Jerman itu, pada Oktober 2007, mengikat kontrak membeli emisi empat juta ton gas setara CO2 dengan China Power Investment, dalam skema CDM.

Cina tampaknya menjadi negara Asia yang paling siap bermain di pasar karbon. Negeri tersebut memang punya kemampuan teknologi, juga modal, untuk merancang proyek yang bisa meraih karbon kredit. China Power Invesment, misalnya, meraih kredit karbon dari proyek listrik kincir anginnya. Dari 11 lokasi kincir angin tadi, China Power berhasil membangkitkan aliran listrik dengan kapasitas daya 420 megawatt. Ia pun menangguk kredit karbon.

Begitu halnya dengan Suntech Power Holdings. Perusahaan ini siap memanen kredit karbon dari industri pembuatan panel-panel sel surya, yang bisa mengubah energi matahari menjadi listrik. Sejak era perdagangan karbon dimulai, seperti ditulis dalam situs Asia CleanTech, China telah berhasil mengantarkan 62 proyeknya untuk meraih kredit karbon.

Indonesia pun tak mau ketinggalan. Sampai Oktober 2007 ini, ada sembilan proyek yang ditawarkan di pasar karbon. Namun, seperti juga dilaporkan oleh situs Asia CleanTech, hingga saat ini belum satu pun dari sembilan proyek tadi memperoleh sertifikasi. Agaknya, untuk memanfaatkan momentum pasar karbon tadi, kapasitas teknologi dan modal tetap menjadi kekuatan penting.

Peluang Indonesia

Skema CDM memang membuka peluang bagi negara berkembang untuk merancang banyak macam proyek yang berpotensi mereduksi emisi gas CO2. Tapi, menurut Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Dr. Boen M. Purnama, konvensi tidak cukup memberi insentif yang menarik bagi sektor-sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Untuk mendesain proyek yang bisa diparaf oleh Komite Perubahan pun susahnya bukan main.

Belum lagi nanti tahap persetujuan dari pelbagai pihak lain, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan calon mitra di negara maju. Maka, secara berseloroh dia memelesetkan CDM sebagai completely difficult mechanism. ''Perlu ada semangat untuk lebih menghargai peran vegetasi, hutan misalnya, sebagai pengendali emisi karbon,'' ujarnya dalam sebuah acara buka bersama bersama wartawan awal Oktober lalu.

Untuk menambah posisi tawar negara ''pertanian dan kehutanan'' di mata konvensi, Pemerintah Indonesia menggalang negara-negara empunya hutan tropis basah lewat forum F-11. Maklum, upaya keras mencegah deforestifikasi, misalnya, tidak cukup dihargai dengan kredit karbon. Penghutanan kembali (aforestifikasi) dihargai dengan kredit 300 ton CO2 per hektare untuk jangka waktu puluhan tahun, seusia dengan satu siklus hutan itu sendiri.

Dalam forum Informal Ministerial Meeting on Climate Change yang berlangsung di Istana Bogor selama dua hari akhir Oktober lalu, seruan untuk lebih menghargai peran hutan tropis itu dilempar. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia mendesak agar alih teknologi ramah lingkungan, environment-sound technologies, dipermudah. Tanpa, insentif yang memadai, peran negara berkembang akan serba terbatas, dan upaya mereduksi karbon akan menghadapi situasi lebih sulit.

Maka, Mandat Bali kalau boleh disebut begitu hasil konferensi perubahan iklim itu nanti, paling tidak bisa memastikan bahwa CDM sama sekali bukan completely difficult mechanism.Putut Trihusodo



Post Date : 22 November 2007