|
PADA 1980, Pulau Lem bata yang terletak di gugusan Kepulauan Solor, Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengalami kekeringan. Hamparan padang rumput di pulau itu sering meranggas, menguning, lalu kering. Kekeringan itu diperparah kesulitan air bersih. Minimnya air bersih dan kekeringan berdampak pada kesehatan masyarakat. Sebagian besar dari mereka mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), batuk dan pilek, serta penyakit paru-paru. Saat melihat kondisi itu, niat Kolonel (purn) Markus Sidhu Batafor, staf Komunikasi Elektronik Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta, kembali ke Lembata ditentang istrinya, Eva G Titahelu. Markus berencana menghabiskan sisa waktunya, pascapensiun pada 1985, di kampung halamannya. “Menetap di Lembata di era 80-an seperti kembali ke zaman perang dulu,“ kenang Bapak Sidhu menirukan gerutu almarhum istrinya kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu. Istrinya bersedia ke Lembata dengan syarat menetap di Desa Lamalera, bukan Lewoleba. Pasalnya, untuk bepergian hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Pasokan air Bapak Sidhu panggilan akrabnya tidak semata ingin menghabiskan sisa hidupnya di Lembata. Ia tergugah untuk membantu menghijaukan dan mengatasi kesulitan air bersih di kawasan itu. Untuk mewujudkan impiannya, ia membuat Yayasan Bina Sejahtera. Bersama ahli hidram asal Inggris Ben Mitchell, ahli pertanian Inggris Gojfri Pointer, dan profesor ahli kehutanan asal Kanada Richard McBride, serta tiga relawan dari Lembaga VSO asal Amerika Serikat, ia membuat program air untuk perdesaan. Setiap konsultan bekerja dalam jangka waktu yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu yang mendapatkan bantuan ialah Desa Bakalerek, Kecamatan Nubatukan. Mereka kesulitan mengakses air bersih bertahun-tahun karena mata air terletak 80 meter di bawah desa. Kepala Desa Bakalerek saat itu, Thomas Igo Udak, mengaku mereka sudah berhenti mengharapkan adanya air bersih. Ketika melihat kondisi ter sebut, Bapak Sidhu dan Ben Mitchell selama dua tahun berupaya memompa air ke kawasan itu. Mereka mengembangkan teknologi pompa hidram (the hydraulic water ram) yang memanfaatkan kekuatan arus air tanpa menggunakan listrik. Pompa itu mampu memompa air dari kedalaman 80 meter ke desa tersebut. Kini warga dapat menikmati air bersih. Hal yang sama juga diterapkan untuk Desa Waiwejak, Kecamatan Atadei, yang mata airnya berada di kedalaman 180 meter. “Pompa ini merupakan penemuan besar abad pertengahan yang banyak digunakan di Inggris dan Jerman. Sayangnya, pompa hidram ini banyak dilupakan orang,“ ujar Bapak Sidhu. Selain di dua desa itu, penggunaan pompa hidram diterapkan untuk Desa Waipukang dan Tanjung, Kecamatan Ile Ape. Kedua desa itu selama ini mengandalkan jaringan air dari Desa Waimuda, Kecamatan Atadei. Sering dengan berjalannya waktu, jaringan air tersebut mengalami kerusakan. Upaya Bapak Sidhu tidak berhenti desa-desa itu saja. Secara bertahap, pompa hidram sudah mencapai Pulau Solor, daratan Pulau Flores, dan Adonara. Atas kinerja Bapak Sidhu, Gubernur NTT periode 19931998 Herman Musakabe memberikan cincin emas kelas III pada 19 Desember 1995, sebagai penghargaan di bidang pembangunan air bersih di perdesaan. Penghijauan Keterbatasan air bersih di daerah Tanjung, Kecamatan Ile Ape, sempat menimbulkan mitos. Mereka percaya air di Ile Ape `dicuri' orang Atadei saat perang saudara di Lembata. Akan tetapi, Bapak Sidhu meyakinkan orang Tanjung bahwa Atadei memiliki hutan yang bagus untuk produksi air tanah sehingga bila Tanjung ingin seperti Atadei, mereka harus menanam pohon sebanyak mungkin. Berkat pemahaman itu, akhirnya Ile Ape tidak lagi tandus, sekarang sudah hijau dan bisa menampung air tanah. Dalam upayanya melakukan penghijauan, Bapak Sidhu mengajak masyarakat menggunakan bibit lokal yang mudah ditemui di Lembata. Alhasil, mereka tidak lagi bergantung pada bibit hibrida dari industri. Selain itu, menggunakan pohon nimba, ata nona, daun sirih, dan tembakau sebagai pengganti pupuk pestisida. “Kalau pakai bibit hibrida, petani tergantung industri dan harus mengeluarkan banyak uang untuk mendapat hasil bagus. Padahal kalau pertanian selaras alam, tidak perlu banyak uang untuk dapat hasil yang bagus,“ ujarnya. Kerja kerasnya itu berbuah hasil. Masyarakat sudah tidak lagi bergantung pada pupuk dan obat-obatan serta bibit hasil industri. Saat ini sudah ada 45 kelompok tani binaannya. Atas kerja kerasnya bersama petani, Bapa Sidhu menerima penghargaan dari Gubernur NTT periode 19982008 Piet Alexander Talo pada 16 Juni 2003 untuk kategori pembina lingkungan. Tidak berhenti di situ. Bapak Sidhu pun mendorong petani menanam buah dan sayur. Ia juga menyarankan petani yang menentukan harga, bukan pembeli. “Kalau petani menjual komoditas seperti asam, kemiri, mete ke penimbun hasil, harganya sudah ditentukan. Tetapi kalau menjual sayur dan buah-buahan, petani yang tentukan harga. Kita perkenalkan juga model perdagangan yang adil, fair trade bukan free trade,“ ujar Bapak Sidhu. ALEXANDER P TAUM Post Date : 25 Juni 2012 |