Masalah Sampah Mendera Botabek

Sumber:Republika - 28 Januari 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
BOGOR -- Kendala penyediaan lahan sebagai tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah rupanya tidak hanya terjadi di ibu kota. Sejumlah daerah semisal Bogor, Tangerang, dan Bekasi mengalami hal serupa.

Semisal Pemkot Bogor, saat ini masih mencari alternatif lahan untuk pembangunan TPA Galuga. Namun kebijakan itu, tidak menghapuskan rencana Pemkot Bogor membebaskan lahan masyarakat di TPA Galuga. Tujuan pembebasan lahan dilakukan untuk pengamanan TPA sehingga masyarakat menjadi lebih aman.

Kota Bogor, mempunyai masalah besar soal TPA, karena selama ini belum mempunyai tempat pembuangan sampah yang memadai, dan mengandalkan TPA Galuga, yang berada di Kabupaten Bogor. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pemkot Bogor, Achmad Sarief, keberadaan TPA harus dikaji dari segi lingkungan dan bisa dipertanggungjawabkan, sehingga tidak mengganggu permukiman warga. Menurunnya daya tampung TPA akibat kelebihan kapasitas sampah di juga dialami Pemkot Bekasi.

Menurut Kepala Bidang Persampahan Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bekasi, Abdul Malik, makin menurunnya daya tampung TPA akan menyebabkan semakin menjamurnya titik-titik penimbunan sampah liar yang memanfatkan lahan kosong atau bantaran sungai. "Setidaknya ada 52 titik penimbunan sampah liar di Kota Bekasi selama 2005," kata Malik, Kamis (26/1) seraya mengatakan titik-titik itu merata berada di semua kelurahan.

Malik menegaskan, peran serta masyarakat dalam menangani masalah persampahan menjadi tolok ukur tertatanya pengelolaan sampah di Kota Bekasi. Semaksimal apa pun upaya dinas menangani sampah, akan percuma bila tidak dibarengi kesadaran warga untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini. ''Misal dari hal yang kecil saja, yaitu membuang sampah pada tempat yang disediakan. Itu sudah sangat membantu," ujarnya.

Dikatakan Malik, daya tampung TPA Bantargebang yang selama ini menjadi muara akhir sampah dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi, kini mulai mendekati masa kadaluarsa. Karenanya, dia meminta agar pemerintah DKI Jakarta agar banyak membuat Stasiun Peralihan Antara (SPA) yang berfungsi untuk mereduksi dan memilah-milah sampah yang akan masuk ke TPA. "Dengan demikian volume sampah yang masuk TPA akan jauh berkurang, tidak seperti sekarang."

Dengan adanya SPA, kata Malik, maka pemilahan sampah yang masuk pun sudah sesuai jenisnya, misal sampah organik-sampah non-organik, dan sampah kering-basah. "Penempatannya pada TPA pun nanti akan disesuaikan dengan jenis sampah yang masuk."

Di Kota Bekasi, mekanisme pengangkutan sampah dari produsen ke TPA ditangani dua dinas berbeda, yaitu Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman (DKPP), serta Dinas Pengelola Pasar (DPP). DKPP bertugas mengelola sampah yang berasah dari permukiman, pusat bisnis komersil, dan sebagian industri. Sementara DPP menangani sampah di delapan pasar tradisional serta dua pusat pertokoan di Proyek dan Kranji. "Di luar itu, 30 persen pengelolaan langsung ditangani swasta," ungkap Malik.

Sejauh ini, DPP dan DKPP mengakui, kemampuan menangani produksi sampah Kota Bekasi sebanyak 4.250 kubik per harinya, masih belum maksimal. Selain kebiasaan masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan, peralatan pendukung untuk mengangkut sampah juga dalam kondisi yang memprihatinkan. DPP misalnya, dari 15 truk sampah yang dimiliki, tiga di antaranya dalam kondisi rusak.

"Truk-truk yang kami miliki pun sudah tua-tua, sehingga kerja kami banyak terhambat," kata Kepala Seksi Kebersihan Pasar DPP Kota Bekasi, Subagio. Padahal, tak jarang truk-truk yang sudah tua itu beroperasi dua sampai tiga rit (putaran) setiap harinya guna mengangkut sampah ke TPA.

Akibatnya, ungkap Subagio, para pedagang pasar pun seperti mau tak mau membayar retribusi sampah yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Di DKPP, 74 kendaraan pengangkut yang tersedia tetap saja belum mencukupi untuk melayani seluruh produksi sampah yang ada di 12 kecamatan. "Terlebih truk-truk yang kami punya kebanyakan buatan tahun '92, jadi memang sudah tua," kata Malik.

Harus Menyeluruh

Direktur LSM, Environment Community Union (ECU), Benny HS mengatakan, pengelolaan sampah di Kota Bekasi perlu pembenahan secara menyeluruh. "Tidak saja pada masalah pengangkutan, tapi juga fokuskan pada sistem penanganan material sampah di TPA Bantar Gebang," katanya, Kamis (26/1).

Menurutnya, selama ini banyak warga dan utamanya para pedagang di delapan pasar tradisional di Kota Bekasi, sering mengeluhkan masalah pengangkutan sampah. "Padahal retribusi atau iuran sampah terus jalan," katanya. Benny juga menyoroti masalah bau busuk yang kerap ditimbulkan truk-truk sampah saat melintas di jalan-jalan umum. Dia menyarankan, agar truk-truk sampah itu sebisa mungkin menggunakan sistem tertutup dalam mengangkut sampah ke TPA. Walaupun demikian, diakuinya hal itu sulit dilakukan kecuali sampah-sampah yang diambil truk-truk itu sudah dibungkus dan diklasifikasi dari lokasi awal pengangkutan. "Terlebih untuk sampah basah yang sering mencecerkan air lindi di jalanan."

Terkait masalah di TPA Bantar Gebang, Benny menegaskan, permasalahan rusaknya timbangan sampah di lokasi itu agar mendapat perhatian serius. Karena, menurutnya, kerusakan itu mengakibatkan tidak terukurnya jumlah tonase sampah yang masuk di kawasan TPA Bantar Gebang setiap hari. Padahal, kata Benny, Pemkot Bekasi mendapat bagian 20 persen dari retribusi Rp 52.500 per ton sampah yang dibayarkan DKI Jakarta. "Bisa dibayangkan berapa kerugian kita bila di pos retribusi sampah itu berat sampah tidak terukur," katanya.( c41/c42/ant )

Post Date : 28 Januari 2006