Masyarakat Belum Peduli

Sumber:Koran Jakarta - 04 September 2009
Kategori:Sampah Jakarta

Jumlah sampah yang meningkat fantastis ternyata bermuara pada satu penyebab, yakni rendahnya kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan. Adakah cara efektif untuk menggugah kepedulian itu?

Sampah merupakan material sisa yang sudah tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.

Istilah sampah atau waste hanyalah buatan manusia karena sebenarnya dalam proses alam tidak ada yang dinamakan sampah, tetapi hanya sebuah produk tidak bergerak.

Sampah dalam jumlah besar berasal dari aktivitas industri atau biasa disebut sebagai limbah.

Bermacam-macam industri seperti pertambangan, manufaktur, dan konsumsi, baik secara langsung maupun tidak, kerap menyumbangkan sampah ke lingkungan.

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta Ubaidillah, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, sumbernya bisa dari mana saja. Setiap harinya, sekitar 1.500 meter kubik sampah masuk ke TPA Bantar Gebang.

Jumlah itu belum termasuk sampah yang tidak terangkat. “Tetapi memang yang patut disoroti adalah sampah yang terangkut di sungai,” kata Ubaidillah.

Pasalnya, sampah-sampah yang teronggok di sungai berpotensi menjadi penyebab utama banjir.

Sampah-sampah yang terbawa aliran sungai akan mengalir seluruhnya ke muara. Kemudian seluruh sampah itu akan tertahan di pintu-pintu air yang ada di muara.

Masalahnya, apabila volume sampah terlalu banyak dan tenaga kerja yang mengerjakan tidak sebanding, sudah dapat dipastikan muara itu menjadi sumber banjir di Jakarta.

Saat banjir, sampah di Ibu Kota jumlahnya bisa meningkat hingga dua kali lipat. Jika pada hari biasa rata-rata volume sampah mencapai 6.000 ton per hari, ketika banjir volumenya meningkat hingga 9.000 sampai 10.000 ton per hari.

Jenis sampah berupa puing, pohon tumbang, dan plastik turut hanyut terbawa air dan menambah volume sampah yang sejak awal telah tertahan di sungai dan saluran air yang ada di Jakarta.

Ambil contoh di muara Kali Kresek. Tiga ratus meter ke arah hulu, genangan sampah yang merupakan sampah plastik menghiasi badan sungai tersebut.

Hal yang sama terjadi di Kali Sunter dan Cakung Drain. Semakin banyak titik yang berpotensi menjadi tumpukan sampah, semakin besar pula risiko terjadinya banjir di Jakarta.

Menurut Ubaidillah, penumpukan sampah di muara dapat saja bercampur dengan limbah pabrik yang banyak tersebar di wilayah Jakarta Utara.

Apabila limbah atau sampah diteruskan ke laut lepas, bisa berdampak pada matinya ribuan ikan. “Kasus ini sebenarnya sering terjadi tiap dua atau tiga tahun sekali,” kata Ubaidillah.

Sampah juga merupakan penyebab kurang optimalnya sistem drainase dan pendangkalan sungai. Drainase yang tertutup sampah jelas tidak dapat berfungsi maksimal.

Seperti di wilayah Jakarta Barat, dari 500 kilometer drainase kolektor (penghubung), sekitar 350 kilometernya tersumbat sampah. Padahal, kolektor memiliki peran krusial, yakni menghubungkan pembuangan air dari kawasan hunian ke sungai.

Bahkan, sudah banyak kasus penumpukan sampah yang tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan, tetapi juga menjadi pemicu konflik sosial.

Seperti disebutkan di atas, berbagai jenis sampah yang menutup berbagai muara sungai di Jakarta Utara sempat menimbulkan kemarahan warga yang tinggal di sekitar daerah Kali Sunter, Kresek, dan Cakung Drain.

Bahkan warga sempat akan membuka paksa penyaring yang menahan sampah di Kali Kresek supaya semua bisa dialirkan ke laut lepas dan tidak merepotkan warga.

Warga merasa sampah itu telah membusuk dan menebarkan aroma tidak sedap ke permukiman.

Bahkan pada siang hari, banyak lalat beterbangan dan malam harinya wilayah permukiman sekitar dipenuhi nyamuk.

Masyarakat setempat mengkhawatirkan larva atau serangga-serangga tersebut membawa wabah penyakit muntaber, malaria, atau demam berdarah dengue (DBD).

Neni Sintawardani, pengamat lingkungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan kualitas air di banyak kali atau sungai yang mengalir di Jakarta benar-benar sudah rusak.

“Dari studi-studi parameter yang banyak dilakukan, sungai di Jakarta bahkan tidak layak untuk dimasukkan ke dalam golongan kelas C alias sudah berbahaya,” terangnya. Kondisi itu, apabila dibiarkan, akan meracuni biota laut atau manusia yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Mulai dari Diri Sendiri

Seluruh perusahaan daerah air minum (PDAM) di Jakarta yang mengambil air sungai tersebut, urai Neni, tentu membutuhkan banyak bahan kimia untuk mensterilkan kandungan-kandungan berbahaya yang ada dalam air sungai.

Jika dirunut, titik persoalan sebenarnya berawal dari kesadaran masyarakat. Menurut Neni, kepedulian masyarakat pada penanganan sampah yang baik dan benar biasanya bertalian dengan alasan praktis dan kebiasaan masyarakat sehari-hari.

Oleh karena itu, penemu green toilet itu menekankan bahwa hal terpenting adalah masyarakat menerapkan filosofi memulai dari diri sendiri untuk mereduksi (reduce), mendaur ulang (recycle), dan menggunakan kembali (reuse) benda yang tidak terpakai.

Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menangani sampah dibenarkan oleh Ubaidillah. Menurutnya, masyarakat Indonesia masih membutuhkan figur yang dapat ditiru dan dituruti.

Oleh karena itu, Ubaidillah menganggap upaya serius dari pemerintah dalam menangani persoalan sampah menjadi faktor yang sangat krusial. Salah satu langkah yang bisa ditempuh pemerintah misalnya menyosialisasikan terus-menerus persoalan sampah kepada masyarakat.

Tujuannya agar pengetahuan masyarakat meningkat, dan hal itu nantinya berdampak pula pada meningkatnya kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Pemerintah juga bisa memberikan imbauan kepada ketua rukun warga (RW), dan nantinya ketua RW yang meneruskannya kepada masyarakat.

Upaya sosialisasi itu juga berlaku untuk pihak industri yang juga berkontribusi terhadap penghancuran lingkungan.

Bentuk sosialisasi misalnya berupa imbauan untuk tidak memproduksi sampah yang tidak ramah lingkungan serta tidak membuang sampah di sembarang tempat.

Dari sisi regulasi, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan aturan yang jelas, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Ubaidillah optimistis undang-undang tersebut dapat dijalankan sesuai jalurnya.

Menurut Kabag Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Tarjuki, pengelolaan sampah di tingkat provinsi mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

“Di sana disebutkan pada Bab IV Pasal 13 hingga 17 semua yang berkaitan dengan tata kelola sungai.

Di situ diatur pula mengenai bentuk pidana dan denda yang akan dikenakan kepada pelanggarnya sebanyak 20 juta rupiah dan kurungan paling lama 60 hari,” katanya.

Meski peraturan yang menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan sampah telah jelas termaktub, tetap saja perilaku masyarakat berperan penting dalam menyelesaikan persoalan sampah. Neni pun mengamini hal itu.

Menurutnya, perubahan yang paling berarti dan berpengaruh signifikan ada di tangan masyarakat. Perilaku itu bisa direalisasikan dari hal-hal sepele terlebih dahulu, misalnya memisahkan sampah plastik dengan sampah organik.

Meski terkesan sederhana, dampak dari perilaku tersebut sungguh besar. Pemilahan sampah dengan cara seperti itu, tutur Tarjuki, sudah bisa menjadi penyelesaian paling ampuh dan dapat menciptakan Indonesia lebih bersih dari Singapura. hag/L-2



Post Date : 04 September 2009