MDGs, Ambisius atau Realistis?

Sumber:Kompas - 07 Mei 2007
Kategori:MDG
Peringatan Erna Witoelar, Duta Besar PBB untuk Millennium Development Goals di kawasan Asia Pasifik, bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam pencapaian MDGs (18/4/2007), perlu diartikan sebagai "lampu kuning".

Pertama, karena upaya mewujudkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 kini sudah setengah jalan. Kedua, akibat kemunduran itu, Indonesia sudah dilewati negara lain, seperti Vietnam.

MDGs merupakan penjabaran resolusi Majelis Umum Nomor 55/2 "Millennium Declaration" yang disepakati 8 September 2000 oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dari Indonesia..

MDGs mencerminkan isu-isu yang menjadi prioritas program pembangunan nasional. Di antara isu-isu prioritas itu adalah mengurangi 50 persen angka kemiskinan dan kelaparan, mengurangi dua pertiga angka kematian anak balita, memerangi penyakit seperti HIV dan malaria, serta memperbaiki lingkungan hidup.

Capaian MDGs

Meski dicanangkan tahun 2000, target MDGs diukur dari keadaan tahun 1990. Secara umum dapat dikatakan pelaksanaan MDGs memberi gambaran kontradiktif, menggembirakan sekaligus mencemaskan, pada tataran global, regional/subregional maupun nasional.

Secara umum dapat dikatakan, semua kawasan ada dalam posisi on track, meski kawasan Asia Timur dan Tenggara mengalami kemajuan lebih pesat dibanding kawasan lain, terutama Afrika Sub-Sahara yang amat lambat.

Berdasarkan United Nations MDGs Report 2006, pada tataran global, ada penurunan angka extreme poverty di negara berkembang dari 27,9 persen (1,2 miliar orang) menjadi 19,4 persen. Namun, pada tataran regional/subregional terlihat gambaran berbeda. Selama 1990-2002, Asia Timur dan Asia Tenggara-Oceania bahkan menunjukkan penurunan luar biasa (dari 33,0 persen menjadi 14,1 persen, dan dari 19,6 persen menjadi 7,6 persen) bahkan sudah melewati target yang ditetapkan.

Di Afrika Sub-Sahara angka kemiskinan hanya turun sedikit, tetapi masih amat tinggi, yaitu dari 44,6 persen menjadi 44,0 persen dari target 23 persen, sementara jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrem bertambah 140 juta.

Di Indonesia, krisis 1997 menjadi titik balik. Saat itu hampir di semua target mengalami kemunduran. Dalam Indonesia Progress Report on MDGs 2005 yang disampaikan Bappenas tercatat, penduduk miskin tahun 1990 berjumlah 15,1 persen dan cenderung menurun pada tahun-tahun berikut, justru meningkat tahun 1999 menjadi 23,4 persen.

Tahun 2004, angka ini ditekan menjadi 16,7 persen, tetapi masih tetap di atas angka tahun 1990. Selain itu, dalam laporan tripartit ESCAP-UNDP-ADB MDGs: Progress in Asia and the Pacific 2006, Indonesia dinilai memiliki rapor "merah" dalam target-target seperti tingkat kemiskinan, pendidikan dasar, dan pengelolaan lingkungan.

"Practicable", "achievable"

Meski diakui sebagai komprehensif, dari awal disadari, MDGs belum tentu realistis (practicable) untuk semua negara, terutama di Afrika. Menurut Michael Clemens dan Todd Moss dari Center for Global Development (CGD), banyak negara miskin tidak akan dapat mencapai MDGs bukan karena tidak berbuat apa-apa (inaction) atau tidak ada bantuan (aid). Kegagalan itu lebih disebabkan MDGs sendiri dinilai terlalu ambisius dan terlalu berlebihan ekspektasi terhadap aid yang justru amat berisiko.

Untuk mengurangi setengah kemiskinan, ekonomi Afrika harus tumbuh sekitar 7 persen per tahun dalam kurun 2000-2015. Menurut data CGD tahun 2004, hanya tujuh dari 153 negara yang telah mencapai hal ini dalam kurun waktu 15 tahun dan berapa pun aid yang diberikan, Afrika tidak akan dapat mencapai angka pertumbuhan itu.

Dalam upaya mencapai pendidikan dasar, banyak negara harus mulai dari tingkat paling rendah dan memenuhinya dalam 10 tahun, sementara banyak negara maju justru mencapainya dalam satu abad. Sedangkan dalam upaya menurunkan angka kematian anak sebanyak dua pertiga, jika ini ditetapkan tahun 1975, maka tahun 2000 hanya Indonesia yang mampu mencapainya.

Akhirnya, seperti kata Clemens dan Moss, "development is a marathon, not a sprint." MDGs lebih merupakan pedoman untuk membantu mengarahkan pembangunan negara berkembang dan tidak dengan sendirinya merupakan practical target. Selain itu, harus diingat upaya program seperti MDGs sudah berlangsung lama. Tahun 1960, misalnya, PBB menetapkan target pendidikan dasar untuk dicapai tahun 1980, dan mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen dalam kurun waktu 1980-1990.

Dapat diperkirakan, banyak negara berkembang yang tidak akan mencapai MDGs pada waktunya, khususnya di Afrika. Karena itu diperlukan pendekatan baru yang lebih country base dan bukan global targets. Bagi Indonesia, mengingat potensi dan kapasitas yang dimiliki, sebenarnya MDGs merupakan target yang realistis dan achievable. Hanya, dalam untuk tolok ukur keberhasilan pembangunan, seperti penghapusan kemiskinan, kita masih tertinggal.

Itulah PR kita. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya ekstra keras. Seperti dalam maraton, diperlukan endurance.

Dian Wirengjurit Diplomat; Bertugas di Geneva



Post Date : 07 Mei 2007