MDGs: AS Memerangi Perang Melawan Kemiskinan

Sumber:Media Indonesia - 23 September 2005
Kategori:MDG
"Untuk mereka yang tinggal di gubuk-gubuk dan desa-desa di seluruh dunia, dan untuk mereka yang tengah berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu kemalangan, kami berjanji akan memberikan upaya terbaik untuk membantu mereka menolong diri mereka sendiri, sampai kapan pun dibutuhkan."

Janji indah ini pernah diucapkan Presiden AS John F Kennedy. Presiden karismatik ini memimpikan AS berada di garda terdepan dalam memberantas kemiskinan dan membebaskan umat manusia dari belenggu kesengsaraan.

Namun, yang terjadi kini adalah ironi. Forum KTT Dunia yang digelar selama tiga hari (14-16 September) di markas besar PBB di New York menjadi pameran "perang" AS (dan beberapa negara maju) terhadap upaya-upaya memerangi kemiskinan.

Di hari-hari terakhir pertemuan terbesar dunia yang melibatkan 174 kepala negara itu, AS lewat dubesnya, John Bolton--diangkat secara otoriter oleh Presiden George W Bush dan tidak pernah disetujui Kongres AS--menyerobot dan mendesak perubahan besar-besaran terhadap dokumen akhir KTT.

Jadilah dokumen yang memuat rencana ambisius Sekjen PBB Kofi Annan untuk menjadikan PBB siap menghadapi perubahan global itu melenceng jauh dari harapan banyak negara miskin.

Salah satu poin yang menjadi sasaran "amukan" AS itu adalah mengenai pemberantasan kemiskinan lewat Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). Meski mengakui MDGs--fokus utama KTT ini--dan berkomitmen untuk melaksanakannya, mereka menolak kesepakatan agar negara-negara maju memberikan 0,7% dari GNP mereka untuk Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) pada 2015. Padahal jumlah ini tak sampai sepertujuh dari anggaran militer mereka per tahun.

Mereka beralasan tidak harus melaksanakan dan tidak terikat oleh kesepakatan tersebut karena yang mereka tanda tangani adalah Millennium Declaration, bukan MDGs. Sebaliknya, Uni Eropa sudah berjanji dan menetapkan "upaya-upaya konkret" sebagai jadwal baru untuk memberikan 0,56% dari GNP mereka pada 2010 dan 0,7% pada 2015.

Dalam artikel yang dipublikasikan the Financial Times, Direktur MDGs PBB Prof Jeffrey Sachs menyatakan alasan AS itu mengada-ada.

Pasalnya, kata Sachs, 18 target yang terdapat di dalam MDGs itu, seperti memberantas kelaparan, memerangi penyakit, menurunkan jumlah kematian ibu yang melahirkan, menjamin akses untuk air minum yang sehat, dan masih banyak lagi, jelas merupakan bagian dari Millennium Declaration.

Penolakan AS untuk memberikan 0,7% dari GNP mereka sungguh sikap yang aneh dan misteri besar masa kini," kata Sachs.

Penolakan AS sangat mengejutkan. Penolakan itu terjadi belum sampai sebulan setelah mereka untuk pertama kalinya terpaksa harus menerima bantuan negara-negara lain akibat amukan badai Katrina yang memorak-porandakan New Orleans, bahkan dari Irak dan Afghanistan yang tengah carut-marut oleh peperangan.

Memang tidak bisa dimungkiri bila jumlah bantuan resmi negara penyumbang 20% pembiayaan PBB ini meningkat dari 0,10% menjadi 0,16% sejak Presiden Bush berkuasa. Tetapi, sumbangan mereka itu adalah nomor dua yang terendah (di atas Italia) di antara sumbangan negara maju lainnya. Belum lagi banyak dari sumbangan itu untuk sekutu-sekutu strategis mereka, yaitu Pakistan, Mesir, dan Turki.

Tidak mengherankan kemudian bila Sachs sampai mengatakan kebijakan-kebijakan luar negeri AS mengenai pembangunan sepertinya hanya soal penolakan-penolakan AS untuk membantu negara-negara termiskin, di mana jutaan orang meninggal karena tidak cukupnya bantuan untuk mereka.

Komitmen MDGs

Terlepas dari kontroversi soal AS tersebut, di bidang pembangunan, KTT juga menyepakati penambahan bantuan hingga sebesar US$50 miliar per tahun pada 2010 untuk memerangi kemiskinan. Padahal, dana yang dibutuhkan sebenarnya mencapai US$100 miliar.

Dokumen akhir KTT Dunia 2005 itu juga memuat komitmen seluruh negara sedang berkembang untuk mengadopsi sebuah rencana nasional selambat-lambatnya pada 2006 untuk mencapai MDGs sebagai bagian dari upaya untuk menghapuskan kemiskinan.

Para kepala negara/pemerintahan di KTT itu juga sepakat untuk mengoperasionalkan World Solidarity Fund yang dibentuk Majelis Umum, dan mengajak negara kaya dan maju untuk turut berperan dalam badan pendanaan ini.

Namun, dokumen akhir ini tidak memasukkan komitmen negara-negara maju yang dibuat dalam pertemuan G-8 di Gleneagles, Skotlandia, Juli lalu. Komitmen itu menekankan pemberantasan kemiskinan dengan jalan memberi kesempatan lebih besar bagi masuknya komoditas perdagangan dari negara-negara berkembang ke negara maju.

Kegagalan ini mengecewakan PM Inggris Tony Blair. Sekjen PBB Kofi Annan menilai hasil ini memalukan.

Dalam editorialnya, surat kabar the Straits Times mengatakan KTT telah membuang kesempatan membantu jutaan orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$1 per hari.

Untuk MDGs ini, Indonesia sangat menekankan keberhasilan pencapaian program tersebut.

Jubir Kepresiden Dino Pati Djalal mengatakan Indonesia akan berupaya agar target-target yang dideklarasikan para pemimpin dunia 2000 lalu dapat tercapai pada waktunya, yakni pada 2015.

Menurut catatan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah, saat ini 11,5 juta rakyat miskin tinggal di perkotaan dan 24,6 juta di wilayah pedesaan. Selain itu, masih ada 47.300 perkampungan kumuh di 10.000 lokasi berbeda di Indonesia. (Heryadi/I-2).

Post Date : 23 September 2005