MDGs Saja Tidak Cukup!

Sumber:Kompas - 19 September 2005
Kategori:MDG
Tanggal 14-16 September pekan lalu para pemimpin negara dan ribuan warga masyarakat sipil berkumpul di Markas Besar PBB untuk menghadiri Sidang Umum Ke-60 PBB dan berbagai acara paralel lainnya. Sidang kali ini memiliki arti khusus karena tidak saja membicarakan paket reformasi PBB, yang mengalami perjalanan terjal sejak pertama kali digulirkan, tetapi juga untuk mengevaluasi pelaksanaan lima tahun Millennium Development Goals.

Millennium Development Goals atau MDGs, yang disepakati para anggota PBB lima tahun lalu dalam sebuah KTT global yang kemudian melahirkan Millennium Declaration, adalah suatu inisiatif global untuk mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. MDGs memiliki delapan tujuan (goals) dan 18 target yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju.

Upaya masyarakat internasional untuk mencapai MDGs pada tahun 2015 menyegarkan kembali gagasan jebakan kemiskinan (poverty trap), sebuah ide yang populer pada tahun 1950-an. Pada masa kini gagasan ini terutama dikembangkan oleh Jeffrey Sachs, yang adalah penasihat khusus Sekjen PBB Kofi Annan. Ide itu menyatakan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan kemiskinan, karena itu membutuhkan dorongan yang kuat (big push) dalam wujud bantuan luar negeri (aid) dan investasi untuk dapat lepas landas (take-off) dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapitanya dan tingkat kehidupan yang lebih baik.

Banyak yang ragukan MDGs

Banyak yang percaya, tetapi banyak juga yang ragu akan efektivitas MDGs dan bahwa MDGs akan berhasil pada waktunya. Sejumlah fakta menguatkan keraguan itu. Seminggu sebelum berlangsung perhelatan besar di PBB tersebut, UNDP merilis 2005 Human Development Report: International Cooperation at a Crossroad. Laporan tersebut menyatakan walaupun terdapat sejumlah kemajuan yang substansial yang terkait dengan pencapaian target MDGs secara global, ada banyak negara yang justru mengalami keadaan yang lebih buruk daripada waktu sebelum target MDGs disepakati.

Laporan tersebut menyatakan 50 negara, dengan jumlah populasi 900 juta, gagal mencapai paling sedikit satu target MDGs. Dari jumlah itu, sebanyak 24 adalah negara di sub-Sahara dan Afrika, sedangkan 65 negara lainnya berisiko untuk sama sekali gagal mencapai paling tidak satu MDGs hingga 2040. Mereka akan gagal mencapai MDGs hingga satu generasi ke depan. UNDP juga memperkirakan dengan skenario business as usual dari tren lima tahun terakhir, pada tahun 2015 terdapat sekitar 827 juta orang tetap tinggal dalam kondisi kemiskinan akut (extreme poverty). Jumlah ini 380 juta lebih banyak dari target yang sudah disepakati, serta sekitar 1,7 miliar orang hidup dengan pendapatan 2 dollar AS per hari.

Laporan itu menyebutkan bahwa yang menjadi ganjalan tercapainya MDGs adalah kesenjangan yang terjadi pada tingkat global dan juga di dalam negara. Sebanyak 40 persen atau sekitar 2,5 miliar penduduk dunia hidup dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari, terhitung berpendapatan sebesar 5% dari total pendapatan dunia. Untuk itu, negara-negara kaya yang menerima bagian terbesar dari pendapatan dunia harus mengalokasikan bantuan (aid) yang lebih besar bagi negara-negara berkembang sehingga dapat mencapai MDGs.

Sebagai sebuah ide dan proyek besar, MDGs tidak lepas dari kritik dan ketidakyakinan oleh berbagai pihak, dari aktivis organisasi nonpemerintah hingga ekonom top. Salah satu kritik mendasar adalah MDGs terlalu menyederhanakan masalah dan tidak menyentuh kompleksitas kemiskinan di berbagai negara berkembang. Oleh karena itu, pencapaian MDGs atau upaya ke arah tersebut, yang berwujud angka-angka statistik, tidak serta-merta merefleksikan perubahan struktural atas kemiskinan atau bahkan pengurangan kemiskinan dalam arti yang sebenarnya.

William Easterly, guru besar ekonomi dari New York University dan mantan ekonom Bank Dunia, menulis artikel dalam majalah Foreign Policy September/Oktober 2005 berjudul The Utopian Nightmare, menyatakan upaya mengakhiri kemiskinan dunia lewat MDGs adalah utopia. Easterly juga menyebutkan, Jeffrey Sachs sebagai intelectual leader of utopian, dan mengkritik laporan Millennium Project, yang merekomendasikan sejumlah intervensi untuk mengurangi kemiskinan dengan pendekatan big push bantuan asing (foreign aid) bagi negara-negara miskin yang disebutnya sebagai easy solutions emerged as worry about terorist havens in poor states.

Easterly juga mengkritik pendekatan MDGs sebagai suatu pendekatan top-down dan free market and democracy are far from an overnight solution to poverty they require among many other thing bottom-up evolution of the rules of the game.... Menurut dia, evolusi pasar dan demokrasi di negara-negara maju terjadi selama beberapa dekade, bertahap, dan tak terjadi karena ada tekanan besar dari luar. Masalah yang terjadi dengan negara-negara miskin acapkali berakar dalam institusi di negara mereka sendiri, di mana pasar tidak bekerja dan politisi dan pelayan publik tidak bertanggung jawab kepada warga negaranya.

Tak kurangi orang miskin

Adalah benar bahwa upaya pengurangan kemiskinan membutuhkan suatu inisiatif global dan tidak semua jenis bantuan juga gagal. Tetapi upaya pengurangan kemiskinan tidak akan efektif jika masalah kemiskinan itu sendiri tidak dipahami dengan benar oleh para pembuat kebijakan. Jika ini terjadi, maka dana yang pengurangan kemiskinan justru habis untuk program pengurangan kemiskinan, tetapi tidak untuk jumlah orang miskin. Karena itu, untuk memberantas kemiskinan dengan MDGs saja tidak cukup. Kemiskinan disebabkan masalah-masalah struktural dalam suatu bangsa dan oleh karena itu diperlukan kerja keras untuk mengurangi jumlah orang miskin dalam arti yang sebenarnya.

Menurut ekonom Jerman, Messner dan Wolff (The MDGs, Thinking Beyond the Sachs Report, 2005), pengalaman selama ini menunjukkan bahwa investasi dan strategi yang hati-hati hanya dapat berhasil apabila para elite di negara berkembang berkomitmen kepada diri mereka sendiri untuk suatu proses pembangunan yang berorientasi pada MDGs dan melaksanakan prinsip good governance dalam melaksanakan proses tersebut.

Inilah mengapa pemerintah di negara berkembang harus dilihat sebagai aktor penting yang bertanggung jawab atas pencapaian MDGs.

Faktor lain yang penting adalah model investasi untuk memberdayakan orang miskin di setiap negara tidak hanya didasarkan pada kebijakan ekonomi dan sosial, tetapi juga bergantung pada strategi-strategi untuk mengembangkan atau memperkuat institusi MDGs yang relevan. Antara lain konsisten pada upaya antikorupsi, investasi penguatan dan peningkatan efektitivitas administrasi publik, pelaksanaan aturan hukum, transparansi dan akuntabilitas dalam bisnis dan politik, dan upaya memperkuat hak asasi manusia, adalah kunci untuk membangun strategi pencapaian MDGs.

Upaya perbaikan di dalam rumah sendiri, ditopang dengan pemberian bantuan yang lebih besar, pengurangan utang negara-negara berkembang tanpa syarat dan aturan perdagangan yang lebih adil bagi negara berkembang, dapat menjadi penopang positif tercapainya pengurangan jumlah orang miskin, di negara kita dan dunia.

Fabby Tumiwa Anggota Staf di International NGO Forum on Indonesia Development (INFID)

Post Date : 19 September 2005