Megaproyek Tanpa Benang Merah

Sumber:Kompas - 30 Januari 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

Kehancuran Ciliwung sudah di depan mata. Meskipun alirannya melintasi sejumlah wilayah pemerintahan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung hingga kini masih parsial. Sinergi pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan Ciliwung tak kunjung mencapai titik temu. Jika pun ada upaya penataan kembali, tampaknya hal itu tidak didasari pertimbangan yang matang.

Rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk relokasi warga bantaran sungai di Marunda, Jakarta Utara, misalnya, terbengkalai tak dihuni. Warga menolak pindah karena lokasi rusunawa terlampau jauh dari tempat tinggal dan tempat kerja mereka sekarang.

Pemerintah pusat lewat Departemen Pekerjaan Umum membangun kanal banjir timur, yang dikenal dengan proyek BKT, sepanjang 23,5 km. Hingga Januari ini, kanal sepanjang 16 km dan kedalaman 7 meter telah terbangun. Kapasitas kanal banjir barat (proyek BKB) juga ditingkatkan dari 420 meter kubik per detik menjadi 800 meter kubik per detik dengan anggaran Rp 300 miliar.

Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio, proyek BKT senilai Rp 2 triliun dan BKB ditargetkan tuntas pada tahun 2009 dengan syarat pembebasan lahan selesai.

Meskipun demikian, di masa sekarang ini, proyek pembangunan kanal untuk mengatur aliran Ciliwung dinilai tidak tepat. Kanal akan mempercepat aliran air ke laut. Air tak lagi singgah di daratan. Ujungnya, krisis air bersih akan makin cepat terjadi.

”Mengadopsi langsung sistem pengendalian banjir di Belanda, kanal-kanal di Jakarta dibangun tahun 1918-1923 ketika penduduk Batavia masih berjumlah 500.000 orang. Tahun 1973, proyek BKB dan BKT digagas pemerintah sewaktu penduduk Jakarta masih sekitar 4 juta orang,” kata Restu Gunawan, ahli sejarah banjir Jakarta.

Kini, jumlah orang yang setiap hari beraktivitas di Jakarta sudah melebihi 10 juta orang.

Menurut Restu, kebijakan pemerintah mengandalkan sistem kanal yang terpusat di tengah kota tak akan efektif di tengah daya dukung kota dan masyarakat yang semakin padat.

Waduk penampung

Yang lebih dibutuhkan Jakarta, kata Restu, adalah waduk-waduk yang mampu penampung luapan air pada musim hujan dan menyimpan air pada musim kemarau. Tentu saja, normalisasi sungai juga wajib dilakukan.

Proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang dinilai cukup ideal baru ditemukan di ruas sungai sepanjang hampir satu kilometer di perbatasan Kelurahan Kebon Baru dan Bidara Cina.

Penampang sungai diperluas menjadi 40-45 meter dan dibangun turap pada pinggiran sungai. Di kedua sisi sungai juga dibangun jalan inspeksi yang menutup kemungkinan warga membangun rumah di bantaran sungai.

Menurut Pitoyo, normalisasi sungai di Kebon Baru dirintis sejak tahun 1998. Sayangnya, setelah lebih dari 10 tahun berlalu, proyek ini kembali mandek. Rencana lanjutannya tak juga terealisasi.

Berkaitan dengan proyek rusunawa, Departemen Pekerjaan Umum telah selesai membangun 10 menara kembar rusunawa di Jakarta Timur pada akhir tahun 2008. Lebih dari 14 menara rusunawa yang terdiri dari 1.700 unit rumah dibangun di Kelurahan Cipinang Besar, Cakung Barat, dan Penggilingan. Namun, bangunan itu belum siap huni karena belum dilengkapi dengan fasilitas listrik dan air bersih.

”Penyediaan sarana listrik, air bersih, dan penentuan warga yang akan direlokasi ke rusunawa merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jika tidak segera dihuni, bangunan bisa rusak,” tutur Guratno Hartono, Direktur Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum.(BM LUKITA GRAHADYARINI/J WASKITA UTAMA)



Post Date : 30 Januari 2009