Mekanisme Insentif Hutan, Menguntungkan?

Sumber:Kompas - 04 Desember 2007
Kategori:Climate
Banyak sudah berita dan hasil kajian menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia. Kajian Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (FWI/GFW 2001) menyebutkan, laju kehilangan hutan Indonesia pada awal tahun 1980 adalah 1 juta hektar per tahun, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta per tahun di awal 1990, dan menjadi 2 juta ha per tahun menjelang tahun 2000.

Di lain pihak, penerapan sistem pengelolaan hutan yang tidak lestari telah menyisakan banyak hutan rusak. Tanpa ada upaya pencegahan yang sistematis, bukan hal mustahil dalam waktu yang tidak lama lagi hutan Indonesia hanya tinggal nama. Atau, bisa jadi hanya menyisakan hutan tropis yang sudah rusak berat dan butuh biaya sangat mahal untuk memulihkannya.

Hasil kajian strategi nasional mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM) kehutanan menyatakan, luas lahan yang perlu direhabilitasi tahun 2000 mencapai 49,2 juta ha, terdiri atas 23,7 juta hektar lahan kritis, 10,3 juta hektar lahan kosong, 2,4 juta hektar lahan alang-alang, dan 12,8 juta hektar lahan telantar atau bekas perladangan berpindah.

Selanjutnya, data dari Departemen Kehutanan untuk luas indikasi hutan lahan kering sekunder dan hutan mangrove sekunder yang perlu direhabilitasi mencapai 38,8 juta hektar, yaitu 8,7 juta hektar berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, 19,6 juta hektar dalam kawasan hutan produksi, 4,7 juta hektar dalam kawasan hutan konversi, serta 5,7 juta hektar di luar kawasan hutan.

Banyak aturan

Banyak peraturan dan kebijakan untuk mengatasi masalah deforestasi dan kerusakan hutan. Di antaranya tentang izin dan pengelolaan hutan (PP Nomor 6 Tahun 2006), restorasi ekosistem hutan produksi yang rusak (SK 159/Menhut-II/2004), pencegahan pembalakan liar (Inpres No 4/2005) serta larangan pembukaan hutan pada lahan gambut lebih dalam dari tiga meter (Keppres No 32/1990).

Ada lagi larangan penggunaan api dalam pembukaan lahan (Peraturan Pemerintah No 4/2001) serta pedoman pencegahan dan pengendalian kebakaran (Keputusan Menteri Kehutanan No 260/1995).

Meski demikian, kebijakan dan aturan tersebut belum berjalan efektif. Kehilangan dan kerusakan hutan tetap tinggi. Lemahnya penegakan hukum dan masih tingginya ketergantungan industri pulp dan kertas serta industri pengolahan kayu terhadap sumber kayu dari hutan alam disinyalir sebagai penyebab maraknya pencurian kayu dan penggunaan sistem pemanenan yang kurang lestari.

Meningkatnya kebutuhan terhadap lahan untuk perkebunan dan pemekaran kota atau kabupaten, berkontribusi besar terhadap tingginya laju emisi akibat kerusakan hutan. Kondisi ini ditambah lagi dengan semakin terbatasnya alternatif kegiatan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan serta meluasnya kebakaran lahan dan hutan pada musim kemarau.

Berbagai kondisi ini secara tidak langsung mempercepat laju kerusakan hutan di hampir seluruh wilayah Tanah Air.

Adanya REDD, yaitu mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, akan memberi peluang bagi Indonesia untuk mendapat kompensasi dari keberhasilan melaksanakan kebijakan dan peraturan di atas. Besarnya kredit penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi hutan oleh Indonesia mencapai 2 miliar dollar AS per tahun setelah tahun 2012. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang menarik bagi negara berkembang.

Kekhawatiran adanya REDD akan membelenggu kita untuk tidak dapat mengelola hutan lagi merupakan pandangan keliru. Kecuali, kalau kita memang pesimistis mampu untuk menjaga kelestarian hutan kita dengan cara pengelolaan yang benar. Kekhawatiran juga pantas muncul jika kita tidak yakin dapat melaksanakan kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan hutan yang ada secara efektif.

Pertemuan di Bali diharapkan dapat menghasilkan keputusan untuk mengadopsi REDD sebagai salah satu mekanisme penurunan emisi yang dapat dilakukan oleh negara berkembang setelah tahun 2012 atau pasca-Protokol Kyoto.

Rizaldi Boer Kepala Laboratorium Klimatologi, Geomet, Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor



Post Date : 04 Desember 2007