Melaut Berkurang

Sumber:Kompas - 03 Desember 2009
Kategori:Climate

Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Beberapa wujud, di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat, musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot. Nelayan Krui, Lampung Barat, punya kisah. Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek moyang mereka paham betul isyarat langit, posisi bintang. Hanya dengan membaca posisi bintang selatan (berbentuk ikan pari), mereka mengetahui awal musim barat dan timur.

”Sekarang tidak,” kata Edy Hamdan (45), nelayan tradisional Krui, pada pertemuan iklim gagasan Civil Society Forum (CSF). Posisi edar bintang memang masih teratur, tetapi waktu datangnya angin barat dan timur tak lagi bisa diprediksi.

”Empat tahun terakhir memang tak terduga,” kata Arif Iwanda, pengepul ikan di Krui. Setidaknya 40 nelayan bermitra dengannya. Sering kali angin berubah dalam hitungan hari. ”Nelayan singgah sebelum tiba di tujuan sudah biasa. Badai tiba-tiba datang,” kata Arif. Beberapa tahun lalu Arif bisa mengumpulkan ikan rata-rata 2 ton dalam sehari pada musim melaut. Kini jauh dari itu.

Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan, hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.

Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). ”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

Kelebihan energi

Menurut Edvin, pemanasan global membuat atmosfer kelebihan energi yang bertanggung jawab atas munculnya badai tropis dengan ekor kian panjang.

Arah angin pun berubah cepat. Pemanasan global juga membuat kemarau basah, yang tak bersahabat bagi nelayan serta menyebabkan terbentuknya awan konveksi di atas lautan. Ini menarik massa udara di sekitarnya yang mendatangkan hujan dengan gelombang tinggi. Pada kondisi normal, kata Edvin, musim kemarau bersifat kering—ini mendukung aktivitas nelayan. Fakta Krui merupakan kecenderungan nasional. ”Di pantura Jawa sama,” kata Subandono Diposaptono, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu pada Departemen Kelautan dan Perikanan, sekaligus anggota tim peneliti untuk perubahan iklim di pesisir nasional.

Kawasan pesisir—titik pertemuan laut dan seluruh limpahan daratan—amat rentan. Di saat curah hujan tinggi—ditambah kerusakan lingkungan di kawasan hulu—akan kebanjiran.

Perpaduan kenaikan muka air laut dengan perubahan pola angin mendatangkan gelombang tinggi, yang juga menggenangi kawasan pesisir dalam waktu lama (rob). ”Pesisir Demak dan Pekalongan di Jawa Tengah dulu tergenang beberapa hari dalam setahun. Kini hampir tiada bulan tanpa rob,” katanya. Gesit Ariyanto



Post Date : 03 Desember 2009