Melestarikan Sumber Daya Air lewat Etnohidrolika

Sumber:Koran Jakarta - 26 Juni 2009
Kategori:Air Minum

Selama ini, pendekatan ilmu hidrologi, hidrolika, ekohidrolika, dan sosiohidrolika masih belum komplet menjawab persoalan pelestarian sumber daya air. Etnohidrolika menawarkan konsep yang lebih terintegrasi. Air merupakan sumber daya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Sungai dan situ merupakan sumber daya air di permukaan tanah yang banyak dimanfaatkan manusia. Misalnya, sebagai tempat penampungan air, jalur transportasi, irigasi, peternakan, industri, perumahan, serta sarana wisata.

Pemanfaatan dan pengelolaan air yang tidak dibarengi dengan tindakan bijaksana pasti akan mengakibatkan kerusakan sumber daya air.

Menurut Dr Setyo S Moersidik, Kepala Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), pemanfaatan dan pengolahan sumber daya air bisa menggunakan pendekatan hidrologi (ilmu tentang air) maupun hidrolika (ilmu mengalirkan air).

Hanya saja pendekatan tersebut kerap mengabaikan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar sumber air. Pendekatan yang terlalu teknis hanya melahirkan suatu produk hukum berupa larangan-larangan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya air. Contohnya, memberikan larangan kepada masyarakat agar tidak tinggal di badan sungai.

Setyo mengatakan secara teknis larangan itu memang merupakan salah satu upaya untuk melestarikan sumber daya air agar tidak tercemar akibat aktivitas masyarakat. Sayangnya, larangan itu menjadi suatu paradok manakala masyarakat sangat membutuhkan sumber air dalam kehidupan mereka.

Selain itu, pendekatan hidrolika yang digunakan untuk membangun sungai, waduk, dan bendungan sering kali melalaikan keberadaan sumber daya alam yang sebenarnya menjadi kesatuan sistem dari sumber daya air.

“Bahkan, ada suatu lingkungan yang seharusnya perlu dilestarikan justru menjadi rusak,” ujar Setyo yang berhasil menyandang gelar doktor bidang ilmu lingkungan dan kesehatan masyarakat dari University of Montpellier, Prancis.

Dari perspektif itu, jelas Setyo, muncul pendekatan ekohidrolika untuk menutupi kekurangan metode hidrolika. Pendekatan itu merupakan upaya memanfaatkan dan mengelola sumber daya air berdasarkan hukum-hukum alam untuk menjaga kuantitas dan kualitasnya. Misalnya, pembangunan sungai juga harus disertai pembuatan resapan-resapan yang berfungsi memperlambat aliran air sehingga tidak menimbulkan banjir.

Di sekitar sungai juga harus ada penghijauan agar siklus air dapat terjaga. Sebab, akar pepohonan pada musim hujan akan menyerap air secara maksimal dan mengeluarkannya secara berlahan saat kemarau. “Pendekatan ekohidrolika ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan saat kemarau,” ujar Setyo.

Lebih Terintegrasi

Meski lebih lengkap ketimbang hidrolika, pendekatan ekohidrolika masih menyimpan kendala, terutama dalam pengintegrasian dengan kehidupan sosial masyarakat yang menentukan kualitas dan kuantitas sumber daya air.

Oleh sebab itu, muncul istilah pendekatan sosiohidrolika sebagai upaya melibatkan masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan sumber air. Dalam pendekatan sosiohidrolika terdapat budaya yang juga berperan penting dalam pelestarian lingkungan. Hanya saja budaya itu bergantung pada etnisitas. Contoh nyata, suku Banjar yang menjaga ekosistem sungai karena keseharian mereka sangat bergantung pada sungai.

Dalam perkembangannya, lahirlah ilmu etnohidrolika yang berusaha mengungkap upaya pemanfaatan, pengelolaan air, serta upaya pelestariannya dari perspektif budaya yang berkembang di suatu daerah. Pengembangan ilmu etnohidrolika yang melibatkan pakar lingkungan, ahli sejarah, dan akademisi tata kota itu merupakan salah satu riset unggulan UI tahun 2009.

Adhisa Putra, kandidat doktor ilmu lingkungan UI, menyatakan dalam kaca mata ilmu lingkungan, nilai-nilai, pengetahuan, dan tradisi yang terangkum dalam suatu produk budaya dapat memiliki arti penting untuk menjaga kelestarian suatu ekosistem. Misalnya suatu produk budaya yang masih tersimpan di dalam folklore di Indonesia justru berfungsi menjaga keberlanjutan sumber daya air.

Folklore berasal dari kata folk dan lore. Folk berarti kolektif, dapat pula berarti rakyat, sedangkan lore artinya tradisi. Jadi folklore (folklor) adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Tradisi itu diwariskan dengan lisan secara turun-temurun sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya.

Di dalam folklor sering kali terdapat mitos atau serangkaian keyakinan yang dianggap sakral, berbasis pada prasangka. Mitos itu kerap berada di luar batas rasionalitas manusia dan sulit dibuktikan kebenarannya.

Namun, beberapa ilmuwan yang tergabung dalam penelitian etnohidrolika UI mengemukakan mitos itu seharusnya diletakkan pada kegunaan, bukan kebenaran. Fungsi mitos mentransformasikan kenyataan apakah itu baik atau buruk menjadi yang seharusnya terjadi.

Terkait adanya mitos di suatu daerah yang memiliki sumber daya air, menurut Setyo, dapat mendorong masyarakat di sekitarnya lebih bijak dalam memanfaatkan air. Hal itu berlaku tidak hanya pada masyarakat perdesaan, tapi juga masyarakat perkotaan. Sejatinya, mitos bekerja hanya untuk mengesahkan kenyataan menurut pembuat mitos tanpa orang menyadarinya. Pasalnya, apabila mereka mengetahui, mitos tidak akan ada artinya.

Contoh mitos yang berkembang di masyarakat sekitar Situ Mangga Bolong, Jagakarsa, Jakarta Selatan, adalah cerita rakyat si Japet.

Konon, si Japet adalah seorang buronan yang diyakini masyarakat bersembunyi di dalam air di Situ Mangga Bolong. Beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ memberi kesaksian bahwa si Japet berwujud buaya, biawak, belut, ular, dan ikan. Kebanyakan penduduk menyepakati bahwa buronan itu adalah makhluk halus yang menghuni dan menjaga situ.

Karena mitos itu pulalah penduduk sekitar tidak berani sembarangan menggunakan air situ, sehingga Situ Mangga Belong, meskipun lokasinya di Jakarta, relatif masih terjaga kelestariannya hingga saat ini.

Selain mitos si Japet yang seram, ada juga folklore tentang pelestarian sungai Tanang yang disakralkan masyarakat Bukit Tinggi, Sumatra Barat.

Dalam mitos yang diceritakan secara turun-temurun, Syech Bahdad sebagai pemuka agama pernah meningalkan pesan agar masyarakat mensyukuri nikmat dengan tidak menggunakan air melebihi kebutuhan. Kisah rakyat itu menitipkan sumber daya air sebagai “pusako tinggi”.

Dua kisah tersebut hanyalah secuil cerita rakyat yang hingga saat ini masih tetap lestari di etnisitas tertentu. Meski kebenaran cerita itu masih perlu pembuktian lebih lanjut, cerita itu berhasil memengaruhi perilaku masyarakat setempat dalam menjaga kelestarian sumber daya air.

Setyo mengatakan, tidak dimungkiri etnohidrolika dapat menguraikan permasalahan sumber daya air secara lebih utuh. Pasalnya, ilmu etnohidrolika mencakup keseluruhan ilmu tentang sumber daya air seperti, hidrologi, hidrolika, ekohidrolika, dan sosiohidrolika.

Tidak menutup kemungkinan etnohidrolika dapat memberikan manfaat untuk mentranformasi cerita rakyat secara empiris bagi masyarakat modern.

Pasalnya, salah satu ciri masyarakat modern dalam memercayai sesuatu adalah harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Sedangkan bagi masyarakat tradisional, mereka telah memiliki dasar pengetahuan tentang upaya pelestarian sumber daya air yang selama ini dilakukan secara turun-temurun.

Artinya, jika semua cabang ilmu bisa diintegrasikan, termasuk juga dengan kepercayaan tradisional masyarakat setempat, bukan tidak mungkin semua lapisan masyarakat bakal sadar lingkungan. warso



Post Date : 26 Juni 2009