Melihat Indonesia dari Bengawan Solo

Sumber:Kompas - 07 Juli 2007
Kategori:Air Minum
Bengawan Solo, sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa itu, menjadi saksi bisu bagaimana manusia Indonesia memperlakukan secara ironis sumber kehidupan utamanya, yakni air. Manusia begitu bergantung pada Bengawan Solo, tetapi pada saat yang bersamaan mereka merusaknya.

kspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 pada 5-20 Juni 2007yang dibuka Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengonfirmasi panjang sungai dari hulu hingga hilir, yakni 548,53 kilometer. Pengukuran dilakukan dengan alat global positioning system (GPS).

Hasil ekspedisi itu menunjukkan bahwa sungai ini menjadi tumpuan penduduk yang berada di sekitarnya. Ketergantungan itu mulai dari hulu di Desa Jeblogan, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, hingga ke hilir di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Catatan sejarah yang dikumpulkan arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebutkan bahwa sungai tersebut telah ikut membentuk peradaban dan kebudayaan dari pedalaman Jawa Tengah hingga Jawa Timur sejak zaman prasejarah, masa Hindu-Buddha, masa awal perkembangan Islam, masa kolonial, masa kemerdekaan, hingga kini. "Bengawan Solo merajut dinamika ragam kehidupan budaya manusia Jawa dalam lintas masa," ungkap Dwi Cahyono.

Paling tidak, dalam catatan Litbang Kompas yang mengikuti ekspedisi, ada 12 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang langsung bergantung pada sungai tersebut. Ke-12 kabupaten/kota itu berturut-turut adalah Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik.

Dari ekspedisi, setidaknya masyarakat di ke-12 kabupaten/kota itu bergantung pada Bengawan Solo dalam lima hal. Pertama, penyediaan air minum dari skala rakyat, perusahaan daerah air minum, hingga industri oleh PT Petrokimia Gresik. Sebagian penduduk juga memanfaatkan air Bengawan Solo untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.

Kedua, penyediaan air untuk pertanian, mulai dari skala kecil berupa dam-dam sederhana dan pompanisasi hingga dam raksasa seperti Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Bendung Colo di Sukoharjo, atau Bendung Gerak Kendal di Lamongan.

Ketiga, kegiatan pertambangan pasir dari yang diusahakan secara manual hingga secara masif menggunakan mesin penyedot dan ban berjalan. Keempat, kegiatan transportasi dengan perahu. Kelima, kegiatan industri rumah tangga berupa batu bata.

Dalam studi rencana induk pengembangan komprehensif Bengawan Solo, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2001, tercatat bahwa pemanfaatan air untuk pertanian merupakan yang tertinggi, yakni sekitar 91 persen dari total air yang bisa dimanfaatkan. Penggunaan untuk keperluan PDAM 2,6 persen dan untuk industri 2 persen.

Tujuh masalah

Namun, dengan beban penyediaan air sebanyak ini ternyata Bengawan Solo harus menanggung sejumlah masalah yang perlahan tetapi pasti: menggerogotinya! Ekspedisi mengidentifikasi sejumlah masalah yang ada di Bengawan Solo.

Pertama, erosi yang terjadi sejak hulu hingga hilir. Salah satu "monumen" yang menjadi saksi ganasnya erosi Bengawan Solo adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan di Widang, Tuban, Jawa Timur, yang didirikan KH Muhammad Nur tahun 1852.

Pengasuh Ponpes Langitan KH Abdullah Faqihsalah satu kiai sepuh Nahdlatul Ulamamenuturkan bahwa awalnya lokasi ponpes berada di tengah Bengawan Solo sekarang. Namun, dalam jangka 99 tahun posisinya digeser karena erosi. "Dulu waktu didirikan oleh KH Muhammad Nur, ponpes berada di tengah sungai itu," tutur Kiai Faqih.

Erosi ini tampak jelas saat dilaksanakan survei ekspedisi pada 15-26 April 2007 yang sedang musim hujan. Air sudah sangat keruh sejak dari hulu. Warnanya kecoklatan. Material yang berasal dari tepi atau tebing sungai tersuspensi dalam air tersebut. Pada awal musim kemarau seperti saat pelaksanaan ekspedisi, air terlihat lebih jernih, tetapi material tersuspensi tetap ada.

Menurut ahli tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dr Supriyadi, yang ikut serta dalam ekspedisi berjalan kaki selama empat hari di hulu, erosi di kawasan hulu ini tidak dapat dihindarkan karena kurangnya penutupan kawasan hulu oleh vegetasi tanaman keras.

Di kawasan hulu tersebut justru didominasi tanaman semusim, seperti kacang tanah, ketela rambat, atau jagung. Sistem terasering yang salah juga menyumbang erosi tanah ke sungai.

Erosi di kawasan hulu akhirnya berdampak pada masalah kedua, yakni sedimentasi yang parah di Bendungan Serbaguna Wonogiri atau yang dikenal sebagai Waduk Gajah Mungkur. Namun, Bengawan Solo hanya salah satu penyumbang sedimen waduk tersebut. Ada lima sungai yang menyumbang sedimen waduk, terbesar adalah Sungai Keduang.

Hasil studi Japan International Cooperation Agency (JICA) Februari 2007 menyebutkan, rata-rata sedimen tahunan ke dalam waduk 3,18 juta meter kubik. Jumlah itu kira-kira setara dengan 265.000 truk dengan kapasitas bak 12 meter kubik.

Sedimentasi ini ternyata juga tak berhenti di Waduk Gajah Mungkur. Di Bendung Colo, Sukoharjo, juga terjadi sedimentasi. Selepas Bendung Colo pun hingga muara sedimentasi tak terhindarkan. Hal itu terutama karena erosi tebing sungai atau longsoran akibat kegagalan lereng. "Erosi tebing ini memang dominan setelah Bendung Colo," ujar ahli tanah dari Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ikut ekspedisi, Robertus Sudaryanto.

Erosi tebing ini diperparah oleh masalah ketiga, yakni maraknya berbagai penambangan pasir, terutama yang diusahakan secara masif dengan mesin penyedot. Lubang-lubang besar di dalam sungai menyebabkan ketidakstabilan tebing yang memperparah longsor. Bangunan-bangunan di sekitarnya, seperti jembatan, juga terancam ambruk.

Pendangkalan sungai, waduk, dan bendung karena sedimentasi ini selanjutnya menyebabkan masalah keempat, yakni banjir di lembah Bengawan Solo.

Walaupun sudah ada sistem pengendalian banjir melalui Waduk Gajah Mungkur, Bendung Colo, dan Bendung Gerak Kendal Lamongan, banjir tak terelakkan menerjang Kabupaten Sragen, Ngawi, dan Bojonegoro, seperti disaksikan sendiri oleh tim survei ekspedisi pada 15-26 April 2007.

Masalah kelima adalah pencemaran. Sungai yang pada masa silam menjadi "beranda depan" rumah itu sekarang menjadi "halaman belakang". Sungai menjadi tempat sampah raksasa.

Pencemaran terutama disumbang Kota Solo dan sekitarnya. Air mulai terlihat berbusa dan berbau selepas Bendung Colo di Sukoharjo. Kualitas air yang dilihat secara visual itu semakin parah memasuki Kota Solo.

Berbagai jenis limbah, seperti dari rumah tangga, limbah pabrik tekstil, pabrik kimia, atau pabrik tapioka, dibuang ke Bengawan Solo. Limbah biologis juga masuk sungai, seperti kotoran babi, bangkai hewan, sampai ari-ari bayi. Pencemaran oleh limbah plastik meninggalkan jejak dengan berbagai pohon di pinggir sungai yang dipenuhi plastik.

Perusahaan Umum Jasa Tirta I Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo yang berkedudukan di Solo pernah memantau kualitas air bekerja sama dengan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Beberapa variabel yang diukur adalah kandungan klorin bebas, fluorida, amoniak, minyak atau lemak, chemical oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), besi, tembaga, dan seng. Semua variabel tersebut melebihi ambang batas yang disyaratkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Hasil yang tak jauh berbeda juga diperoleh Tim Ekologi Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 yang dipimpin Ir MMA Retno Rosariastuti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berbagai variabel fisika, kimia, dan biologi menunjukkan bahwa air Bengawan Solo tak layak untuk dikonsumsi untuk air minum, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan mengairi tanaman.

Buruknya kualitas air ini selanjutnya akan menyebabkan masalah keenam, yaitu menyangkut bahan baku air untuk sejumlah instalasi pengolahan air minum (IPA) tak memenuhi syarat. Contohnya adalah IPA Jurug di Kota Solo yang langsung menyedot air Bengawan Solo yang tercemar itu. Dampak dari buruknya kualitas air minum adalah pada kesehatan manusia.

Ketujuh adalah masalah di wilayah muara Bengawan Solo di Ujung Pangkah, Gresik. Selain karena pencemaran di muara, vegetasi mangrove di muara tersebut sangat kurang. Padahal, muara itu adalah tempat pemijahan ikan.

Pemangku kepentingan

Menghadapi berbagai masalah di Bengawan Solo itu, Presiden Abdurrahman Wahid telah membuat Keputusan Presiden (Keppres) No 129/2000 tentang Penambahan Wilayah Kerja Perusahaan Umum Jasa Tirta di Satuan Wilayah Bengawan Solo.

Berdasarkan keppres itu, Perum Jasa Tirta I bertanggung jawab terhadap pengusahaan air dan atau sumber-sumber air beserta prasarana pengairan, termasuk tugas eksploitasi dan pemeliharaan di Bengawan Solo.

Pemprov Jawa Tengah dan Jawa Timur telah membuat Rencana Induk Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Satuan Wilayah Bengawan Solo tahun 2001. Berbagai program telah dirancang, mulai dari kerangka kebijakan hingga program teknis di lapangan.

Namun, kenyataannya, sampai enam tahun setelah rencana induk dibuat, seperti disaksikan tim ekspedisi, kondisi Bengawan Solo masih memprihatinkan. Untuk itu, tim ekologi telah membuat 18 rekomendasi untuk menyelamatkan Bengawan Solo.

Ketujuh masalah di Bengawan Solo, kalau dicermati, semuanya karena ulah manusia. Oleh karena itu, solusinya mau tidak mau harus melibatkan masyarakat setempat secara menyeluruh. Pelibatan masyarakat sangat penting diutamakan karena terkesan penanganan masalah Bengawan Solo baru bersifat "dari atas".

Dalam buku Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sebuah Pendekatan Negosiasi (Both Ends dan Gomukh, diterjemahkan INSIST Press Yogyakarta, 2006) ditawarkan pendekatan negosiasi pada pengelolaan air. Sebelumnya dikenal ada dua model pengelolaan air, yakni pendekatan tekno-ekonomi dengan proyek-proyek besar dan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu.

Namun, kedua pendekatan konvensional ini masih merupakan program "dari atas". Dengan pendekatan negosiasi, perencanaan pengelolaan air dilakukan "dari bawah" dengan melibatkan pemangku kepentingan, terutama penduduk lokal yang ada di sekitar sungai.

Buku tersebut menjelaskan pengalaman pendekatan dari bawah itu di 7 DAS di dunia, yakni Cotahuasi di Peru, Cochabamba di Bolivia, Sungai Se San di Vietnam dan Kamboja, DAS Nan di Thailand utara, lembah Kolwan dan DAS Bhima di India, Sungai Pasir di Afrika Selatan, dan Delta Khulna Jessore di Banglades.

Di Bengawan Solo, seperti ditemukan tim ekspedisi, kearifan lokal untuk menjaga kelestarian debit air itu sebetulnya sudah ada di salah satu sungai penyumbang Bengawan Solo, yakni Kali Tenggar. Namun, itu tak cukup karena kenyataannya vegetasi tanaman keras di sekitar mata air itu masih sangat kurang.

Oleh karena itu, sudah saatnya sekarang semua pihak untuk bersama-sama menyelamatkan Bengawan Solo. Kalau penyelamatan Bengawan Solo berhasil, ini akan bisa dijadikan patokan atau benchmark bagi penyelamatan ratusan sungai di Indonesia yang juga bernasib sama.

Benar apa yang dikutip penyair dan aktivis lingkungan Eka Budianta yang mengutip pepatah China saat penutupan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di Tempat Pelelangan Ikan Ujung Pangkah, Gresik, 20 Juni lalu. "Kalau manusia mencintai alam, alam mencintai manusia". Subur Tjahjono



Post Date : 07 Juli 2007