Melihat Sungai, Mimpi Anak-anak

Sumber:Kompas - 31 Maret 2010
Kategori:Kekeringan

Anyaman bambu dinding rumah panggung Taman Belajar Anak Pameti Layaku dipenuhi tempelan puluhan karya anak-anak Desa Mbatapuhu. Termasuk sebuah gambar perahu kecil berlayar yang telah diwarnai.

Lautnya diwarnai biru tua, kapalnya coklat, layarnya biru muda, dan langitnya kehijauan.

”Sebenarnya semua anak Mbatapuhu belum pernah melihat laut, juga kapal. Mereka mewarnai berdasarkan cerita dari kami, para guru,” kata Ani May Nimba, menuturkan proses kreatif 29 muridnya itu pada awal Maret lalu.

Desa Mbatapuhu di Kecamatan Haharu adalah salah satu desa di pelosok perbukitan kapur Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jaraknya dari Waingapu ibu kota kabupaten yang berada di pantai utara Pulau Sumba hanya sekitar 75 kilometer. Jauh lebih pendek daripada jarak Jakarta-Bandung.

Namun, Mbatapuhu seperti negeri antah berantah. Warganya hidup tanpa aliran listrik; tidak ada televisi dan radio. Koran dan angkutan umum pun tak ada.

Minto tersenyum malu ketika sang ibu guru bertanya sudahkah ia melihat loku atau sungai. Bocah enam tahun itu tahu loku adalah air melimpah yang mengalir tiada putusnya. Namun, Minto belum pernah melihat sungai. Melihat sungai adalah salah satu mimpi anak-anak. Air paling banyak yang pernah dilihatnya di hamparan sabana desanya adalah air hujan.

Sepekan terakhir tidak ada hujan turun sehingga Desa Minto kian mengering. ”Namun, ada banyak air di oto bhara’,” bisik Minto malu-malu.

Oto bhara’ yang disebut Minto adalah truk tangki air bercat putih milik World Vision Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang mengirim air bersih ke berbagai pelosok sabana Sumba Timur. Meski Sumba Timur memiliki empat daerah aliran sungai, yakni Mangili-Rendi, Kambaniru, Kalada, serta Wonokaka, tetapi sungai-sungai itu jarang berkelimpahan air.

Wilayah Sumba Timur seluas 7.000,5 kilometer persegi terletak di dataran rendah Pulau Sumba, sebuah pulau karang seluas 10.710 kilometer persegi di kawasan selatan. Hampir 80 persen wilayah Sumba Timur tertutupi tanah latosol dan tanah grumusol, tanah merah berkandungan tanah liat bercampur tanah endapan kapur. Ketebalan tanah miskin hara itu pun hanya 10-20 sentimeter.

Humus yang kurus itu sepenuhnya bergantung pada hujan yang seharusnya mengguyur Sumba Timur antara November dan Maret. Lebih parah lagi, fenomena El Nino awal tahun ini membuat Sumba Timur ataupun NTT jadi lebih kering kerontang.

Yan Bakurawang (50), petani Desa Mbatapuhu, seumur hidupnya menanam jagung hanya untuk kebutuhan sendiri. Ia tidak tahu mengapa hujan enggan turun, tetapi ia tahu paceklik ada di depan mata.

”Biasanya kami memulai tanam pertama pada November dan memanen pertama pada Februari. Lalu kami bisa memasuki musim tanam kedua, memanfaatkan sisa musim hujan. Karena hujan baru datang Desember, kami baru mulai memanen pekan kedua Maret. Itu panenan yang buruk karena curah hujan terlalu sedikit. Dan, kini belum ada hujan lagi,” papar Bakurawang di serambi rumah panggungnya di sebuah sore pada awal Maret lalu.

Istri Bakurawang, Hara Aji (45), tidak lagi bisa mengambil air dari tandon penampung hujan di rumah kakaknya, Jakob Laya Tarapanjang, yang terletak sekitar 100 meter dari rumahnya. Talang atap rumah Jakob yang ditata untuk mengalirkan air hujan ke tandon itu sudah sepekan mengering.

”Sekarang setiap pagi dan sore saya harus berjalan turun-naik bukit sejauh tiga kilometer untuk mengambil 15 liter air dari mata air di Kampung Ui. Perjalanannya satu jam lebih,” keluh ibu sembilan anak itu.

Dari panenan ladang jagungnya, Bakurawang tinggal menyimpan 10 krandi (untaian jagung yang diikat satu tali, terdiri 80-100 bonggol jagung). ”Di ladang masih tersisa jagung belum dipanen, tetapi paling-paling sisa 70 krandi. Ada 10 orang yang tinggal di rumah. Satu krandi hanya cukup untuk makan satu hari,” katanya.

Iklim kering

Tanpa terpaan El Nino, Sumba Timur telah menjadi wilayah beriklim kering. Curah hujan tahunannya berkisar 900-1.000 milimeter, dengan 4-5 bulan basah. Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora menyatakan, kekeringan tahun ini jadi lebih parah.

”Sejumlah 121 dari 156 desa terancam rawan pangan akibat keterlambatan awal musim hujan kali ini. Kami betul-betul kelabakan mengatasi begitu luasnya potensi kerawanan pangan akibat kekeringan tahun ini,” tutur Mbilijora.

Community Development Coordinator Wahana Visi Indonesia Area Development Program Sumba Timur Sukoyo menuturkan, kekeringan yang selalu berulang memerangkap warga Sumba Timur dalam kemiskinan. Dari 49.000 rumah tangga di Sumba Timur, 58,56 persen hidup di bawah garis kemiskinan. ”Masalah gizi anak di Sumba Timur kronis. Penelitian kami pada September 2009 menemukan 28,2 persen keluarga tidak mampu menyimpan persediaan makanan pokok,” kata Sukoyo.

Kekeringan menguapkan semua upaya warganya bangkit dari kemiskinan. Yan Bakurawang kini bersiap menjual empat kambing yang lama dipeliharanya. ”Jika kambing habis, saya akan mencari umbi hutan entah di mana,” kata Bakurawang. Aryo Wisanggeni G



Post Date : 31 Maret 2010