Memaksimalkan Kinerja Bakteri

Sumber:Kompas - 28 Maret 2012
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Lindi, yaitu cairan yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah, bisa lebih berbahaya dari limbah industri. Meski bisa terurai secara alami, perlu dilakukan percepatan proses penguraian untuk mengurangi bahaya bagi masyarakat di sekitarnya.
 
Pengajar Program Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jubhar C Mangibulude, Jumat (16/3), di Kota Salatiga, Jawa Tengah, menyatakan, kadar
 
chemical oxygen demand (COD) pada lindi bisa 10 kali lipat kadar COD pada limbah industri. Sebab, lindi mengandung berbagai jenis kandungan bahan berbahaya, bahkan logam berat, dari tumpukan sampah.
 
Sebagai gambaran, COD limbah industri rata-rata 1.000- 2.000 miligram per liter (mg/l). Paling ekstrem, COD dapat mencapai 5.000 mg/l. Pada lindi, kadar COD bisa mencapai 10.000-30.000 mg/l, khususnya untuk cairan yang baru berusia satu tahun.
 
Karena itu, daya cemar lindi tidak bisa dianggap enteng. Di Indonesia, rata-rata tempat pembuangan akhir (TPA) masih menggunakan sistem open dumping. Sampah ditumpuk dan dibiarkan menggunung. Beberapa TPA kini mulai dengan sistem sanitary landfill, yaitu melapisi dasar bak dengan tanah liat (clay) dan geomembran/geotekstil agar cairan sampah tidak meresap ke tanah. Namun, realisasinya belum optimal.
 
TPA Jatibarang di Kota Semarang, misalnya, masih menggunakan sistem open dumping. Padahal, TPA itu setiap hari menerima sampah dari 1,4 juta warga Kota Semarang sebanyak 650 ton-700 ton per hari.
 
Lindi dari sampah di TPA yang dipakai sejak tahun 1992 itu meresap ke tanah, mencemari air tanah. Sebagian lain mengalir ke sungai dan mencemari air permukaan.
 
Penelitian yang dilakukan Jubhar di TPA Jatibarang mendapatkan lindi mengalami pengenceran ketika masuk ke sungai sehingga kadar bahan berbahaya menjadi di bawah ambang batas. Akan tetapi, polutan yang masuk air sungai itu akan terakumulasi di hilir sungai dan berbahaya bagi makhluk penghuni sungai ataupun manusia yang berkegiatan di sekitarnya.
 
Idealnya, lindi diproses seperti pengolahan limbah industri sebelum dibuang. Sebenarnya, kalaupun dibiarkan, zat- zat yang terkandung dalam lindi dapat terurai secara alami, tetapi peruraian memerlukan waktu yang sangat lama. Padahal, produksi sampah terus berlangsung.
 
Intervensi
 
Dari penelitian itu didapatkan, perlakuan tambahan pada lindi dapat mempercepat proses penguraian kandungan lindi. Intervensi dilakukan dengan menambah makanan dan menciptakan kondisi yang dibutuhkan bakteri pengurai.
 
Kandungan karbon, misalnya, jika didiamkan selama dua tahun, hanya berkurang 50 persen, dari 2.000 mg/l menjadi 1.000 mg/l. Ketika diberi intervensi berupa penambahan amonium dan oksigen terlarut, hanya dalam satu minggu, kandungan karbon berkurang dari 2.000 mg/l menjadi 382 mg/l.
 
Di TPA Jatibarang, lindi mengandung amonium (NH4) cukup tinggi, dari penelitian Jubhar, rata-rata 678 mg/l pada musim kemarau dan 580 mg/l pada musim hujan. Amonium dapat menyebabkan manusia keracunan, minimal teriritasi.
 
Dari penelitian juga ditemukan, lindi di TPA Jatibarang mengandung oksigen yang sangat rendah. Hal itu menyebabkan proses nitrifikasi pada amonium berjalan sangat lambat. Untuk itu, intervensi dilakukan dengan menambahkan oksigen. Hasilnya, kandungan amonium dari 929 mg/l berkurang menjadi 50 mg/l hanya dalam 48-72 jam.
 
Hal itu merupakan hasil pemberian insentif pada bakteri pengurai. ”Prinsipnya sama dengan orang kerja lembur. Ia akan mendapat upah tambahan. Pemberian insentif berupa makanan atau suasana yang lebih nyaman akan meningkatkan kinerja mereka,” kata Jubhar.
 
Campur tangan manusia dalam proses penguraian sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses yang dilakukan bakteri. Hal itu akan mencegah kerusakan lingkungan atau pencemaran yang lebih buruk.
 
Intervensi itu, menurut Jubhar, tidak hanya diberikan pada lindi yang ditampung di TPA. Air tanah yang tercemar karena infiltrasi lindi juga dapat diperbaiki mutunya dengan memberi perlakuan sama, misalnya dengan mencampurkan makanan bakteri ke air tanah dalam komposisi tertentu.
 
Namun, intervensi harus sangat spesifik, bergantung pada kandungan lindi dan bakteri pengurainya. Karena itu, dibutuhkan penelitian awal untuk mengetahui bakteri pengurai dalam lindi. Dengan demikian, akan diketahui makanan apa dan situasi seperti apa yang dibutuhkan bakteri untuk bekerja secara optimal.
 
”Alam memang sudah menyediakan segalanya. Tetapi, perkembangan populasi manusia yang begitu pesat dan produksi sampah yang tidak terkendali harus ada intervensi manusia agar alam tidak semakin rusak,” kata Jubhar. Amanda Putri


Post Date : 28 Maret 2012