Memandang Liukan Sampah

Sumber:Koran Tempo - 22 Desember 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Pantulan sinar matahari yang jatuh di riak-riak Kali Ciliwung tampak seperti ribuan permata di atas lumpur. Airnya, yang mengalir kecokelatan dan menyeret banyak sampah, menyebarkan bau tak sedap. "Panorama" itu terlihat dari atas perahu karet yang kami ditumpangi, Kamis pekan lalu.

Bersama empat orang yang lain--dari Gerakan Peduli Sekitar Kita (GPSK) dari Yayasan Buddha Dharma Indonesia dan dua orang dari Flora & Fauna Internasional (FFI)--pagi itu kami cukup "menikmati" wisata sungai yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta tersebut.

Di bawah jembatan Jalan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, seorang lelaki paruh baya seperti tak hirau dengan kehadiran kami. Juga sampah-sampah yang berseliweran di hadapannya. Dengan telanjang dada, dia membuka pagi dengan kegiatan rutin, seperti menyikat gigi dan mandi, di pinggir kali.

Sungai dan sampah, di negeri ini seperti tak dapat dipisahkan. Di mana ada sungai, di situ mengalir sampah, baik sampah organik maupun nonorganik (plastik). Sering jumlahnya membeludak dan mengakibatkan pencemaran.

"Saya tidak menyangka kondisinya sudah separah ini," kata Prita Himawan, anggota GPSK. Aktivis lingkungan berusia 37 tahun ini melongo. Begitu juga peserta lain.

Sungai Ciliwung, kata Prita, sebenarnya bisa lebih baik. Banyak tempat yang masih hijau dengan pepohonan. "Sungai ini berpotensi untuk obyek pariwisata," ujarnya. "Tentu saja kalau tidak ada sampah," katanya menambahkan. Apalagi sampah yang menyangkut di pohon-pohon bisa menimbulkan bahaya. "Semakin bertambah sampah yang menyangkut, pohon akan tumbang," kata Hendra, pegawai lapangan FFI.

Solusinya, menurut Hendra, perlu diajarkan gaya hidup sehat kepada masyarakat luas, terutama dalam hal membuang sampah. Tentu ini tidaklah mudah. Menurut Prita, peran aktif pemerintah sangatlah diharapkan. Bisa melalui program pemberdayaan sosial, pendidikan, dan sebagainya.

Di sepotong lain Ciliwung, ketika matahari mulai merambat naik, seorang pencari ikan sapu-sapu terlihat menebarkan jaring. Dengan menggunakan sampan yang terbuat dari pelepah pohon pisang, dia menyeberangi aliran sungai selebar 10 meter tersebut. Sementara itu, beberapa rekannya sibuk membersihkan ikan hasil tangkapan mereka.

Pemandangan itu segera lenyap dari mata, seiring dengan laju perahu karet yang kami tumpangi. Satu setengah jam telah lewat, penyusuran yang dimulai dari Tanjung Barat itu berakhir di tepi sungai di kawasan Condet, Jakarta Timur. Perjalanan sejauh tiga kilometer di sungai yang diwarnai sampah itu pun berakhir. RUDY PRASETYO



Post Date : 22 Desember 2006