Memantau Karbon

Sumber:Kompas - 26 Februari 2009
Kategori:Lingkungan

Karbon adalah tulang punggung kehidupan. Unsur ini merasuki semua makhluk di muka bumi dan terus berputar dalam siklus yang seimbang. Daur alami karbon mulai terusik ketika manusia mulai menggunakan senyawa karbon sebagai bahan bakar penggerak mesin peradabannya.

Karbon terkandung dalam senyawa genetik makhluk hidup. Di alam karbon pun mengalami daur. Karbon terlepas ke udara sebagai gas karbon dioksida (CO2)sisa pernapasan makhluk hidup dan pembakaran. Gas ini akan diserap tumbuhan untuk membantu proses fotosintesis hingga terkubur di bumi.

Bumi memiliki daya lebih untuk menyerap CO2 lalu menyimpannya. Namun, itu terjadi pada masa lalu ketika hutan begitu rapat menutupi daratan. Kini, daya isap CO2 oleh bumi telah melemah. Masalahnya bukan hanya karena hutan terus dibabat hingga nyaris gundul, bahkan gas karbon dan ”kelompoknya”, seperti sulfur (S), nitrogen (Ni), metana (CH4), dan ozon, yang biasa disebut gas rumah kaca, kian memadati angkasa hingga memperburuk lingkungan bumi. Mengapa bisa terjadi?

Ketika James Watt menemukan mesin uap berbahan bakar batu bara pada abad ke-19 yang mengawali Revolusi Industri, sejak itu gas karbon termasuk gas rumah kaca lainnya—mulai diemisikan ke atmosfer dari waktu ke waktu, tanpa henti hingga meningkat secara eksponensial.

Pola ekonomi dan gaya hidup masyarakat modern itu yang terus mengeksploitasi sumber karbon, seperti membakar sumber hidrokarbon berupa migas dan batu bara, menyebabkan naiknya temperatur bumi akibat efek gas rumah kaca.

Pelepasan karbon

Seberapa besar karbon yang tersimpan dan terlepas ke atmosfer saat ini terus dihitung para ahli. Guna menyusun neraca karbon, penelitian mereka mencakup peran semua unsur di muka bumi dalam menyerap karbon, mulai dari hutan, laut, sungai, dan makhluk hidup.

Berdasarkan data tahun 2005, menurut Raupach, emisi karbon akibat pembakaran BBM dan aktivitas industri mencapai 5,9 giga ton per tahun, sedangkan akibat pembukaan lahan mencapai 1,2 giga ton per tahun.

Adapun penelitian di Indonesia, antara lain dilakukan Sutopo Purwo Nugroho, ahli hidrologi dan pengelolaan sumber daya air BPPT, dilakukan untuk melihat peran sungai dalam siklus karbon karena berfungsi sebagai penghantar lateral karbon dari daratan menuju lautan.

Penelitian Sutopo yang tengah menjalani program doktornya di IPB menunjukkan, sungai-sungai di Indonesia diperkirakan berkontribusi 10 persen dari karbon yang terlarut (DOC) dari daratan ke lautan di dunia.

Dari delapan sungai di Jawa, jumlah karbon terlarut mencapai sekitar 0,83 TgC per tahun (0,83 x 106 ton per tahun) atau hampir 1,2 persen DOC global dari sungai-sungai di dunia. Namun, dalam lingkup Indonesia, total kontribusi pemasukan karbon dari sungai ke laut mencapai 10 persen dari total dunia. Ini tergolong yang terbesar di dunia.

Sutopo menyimpulkan pelepasan karbon oleh sungai-sungai di Jawa lebih besar daripada sungai-sungai di dunia karena berkaitan dengan besarnya kepadatan penduduk di Jawa. Sungai-sungai kecil di pegunungan ternyata menjadi sumber terbesar pencemaran karbon organik ke lautan daripada perkiraan sebelumnya, kata Sutopo.

Selama dua tahun hingga 2007 dalam South East Asia Regional Steering Committe, ia terlibat dalam riset penelitian neraca karbon di Lautan China Selatan yang meliputi perairan Asia Tenggara dan Asia Timur.

Pelepasan karbon dari bumi Nusantara ini juga tergolong besar, antara lain dari terbukanya lahan gambut di Kalimantan. Bambang Setiadi selaku Ketua Masyarakat Akunting Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia (MASLI) beberapa waktu lalu mengungkapkan, data lapangan serta remote sensing di Kalteng wilayah Sebangau, misalnya, dari luasan lahan gambut 7.347 km2 dengan volume lahan sekitar 39,6 km3 memendam karbon sekitar 2,30 giga ton karbon. Bila lahan gambut di kawasan itu terbuka, karbon yang terlepas dan terakumulasi di atmosfer akan menjadi sangat tinggi.

Skenario IPCC

Kecenderungan pelepasan karbon ini sulit dihentikan. Upaya yang mungkin ditempuh adalah menekan BBM dan menggantikan dengan sumber energi terbarukan seperti sel surya, energi angin, dan mikrohidro, juga biofuel dan biogas.

Selain itu juga didorong pencegahan penebangan hutan dan penanaman kembali kawasan vegetasi yang telah gundul melalui program Carbon Depletion Mechanism (CDM), yaitu dukungan pendanaan dari negara maju terhadap upaya-upaya untuk menekan emisi CO2.

Kesepakatan bangsa di dunia terhadap langkah menekan dampak pemanasan global atau perubahan iklim ditetapkan melalui berbagai pertemuan internasional atau PBB, antara lain terselenggara di Bali pada Desember 2007.

Langkah konkret di negara maju menghadapi pemanasan global dan perubahan iklim global telah ditempuh beberapa negara. Penggunaan energi surya mulai digunakan di industri otomotif Jepang, misalnya, untuk mengurangi penggunaan listrik dari PLN bagi penerangan di pabrik. Hal sama juga digunakan di sejumlah rumah tangga Jepang.

Menghadapi kacaunya pola iklim dan meningkatnya hari panas serta sebaliknya menurunnya hari hujan dalam setahun, maka dikembangkan bibit tanaman pokok seperti padi, gandum, jagung, dan sorg.

Sementara itu, berkurangnya luas daratan akibat melelehnya es di kutub mengakibatkan banyak negara kepulauan, termasuk Indonesia, n akan kehilangan sebagian pulau-pulaunya. Hal ini tentunya mendorong dilakukan penataan ulang tata ruang wilayah dan pola penyebaran penduduk di wilayah pantai dan pulau-pulau kecil.

Langkah-langkah yang harus ditempuh segera dalam menghadapi dampak pemanasan global ini memerlukan dukungan peraturan dan kebijakan pemerintah, serta pelibatan masyarakat sendiri. YUNI IKAWATI



Post Date : 26 Februari 2009