Membangun Kembali Infrastruktur

Sumber:Kompas - 12 Januari 2005
Kategori:Umum
SEBELUM krisis ekonomi, anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya lima persen dari produk domestik bruto. Setelah krisis, anggaran itu lebih menyedihkan lagi karena porsinya tinggal 2 persen. Untuk mengejar "bengkalai" itu, diperlukan dana Rp 1.300 triliun dalam waktu lima tahun untuk membangun infrastruktur.

SELAIN menyebabkan ekonomi biaya tinggi karena minimnya infrastruktur, pertumbuhan ekonomi juga terhambat dan hanya berada pada kisaran 7-8 persen. Untuk mencapai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 6 persen, dibutuhkan pembiayaan infrastruktur sebesar 5 persen per tahun dari total PDB.

Selain itu, jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, Indonesia memiliki angka pembiayaan terendah serta peranan sektor swasta yang sangat tidak signifikan.

Dari keperluan dana infrastruktur sebesar Rp 1.303 triliun, badan usaha milik negara (BUMN) yang mengurusi infrastruktur hanya tersedia dana sebesar Rp 306 triliun.

Menurut Ketua Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur (TPPI) Raden Pardede di Jakarta, Selasa (11/1) kemarin, dari kebutuhan total tersebut sebesar Rp 326 triliun bisa didapatkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), perbankan dengan asumsi tenor hanya tiga tahun, asuransi, dana pensiun, dan reksa dana. Jumlah ini dapat ditambah lagi Rp 230 triliun dengan adanya peningkatan alokasi dana dari dalam negeri.

Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam cash rich seperti perusahaan rokok diharapkan juga dapat berperan sebagai sponsor serta dalam proyek infrastruktur ini. Kalau perusahaan-perusahaan berlimpah uang ini memasuki proyek infrastruktur, diharapkan akan memancing perbankan dan pasar modal.

Sumber lain berupa pengalihan biaya subsidi bahan bakar minyak sebesar 6 juta dollar AS. Sepertiganya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Adapun pendanaan dari luar negeri, sebanyak Rp 90 triliun, bisa didapatkan dari lembaga multilateral dan negara donor lainnya. Akan tetapi, dana dari luar negeri lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar sehingga menambah risiko.

Belum tutup

Sumber pendanaan dari dalam negeri plus dari luar negeri pun ternyata masih belum dapat memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur kita dalam lima tahun ke depan. Masih ada kekurangan sebesar Rp 657 triliun lagi.

Diharapkan, kekurangan dana ini bisa diperoleh dari luar negeri, seperti swasta asing, perbankan yang memberikan pinjaman jangka panjang. Sementara dari dalam negeri, dana dapat diraih dari pasar modal, infrastructure fund, dan kebijakan pemerintah yang menyangkut reformasi pada dana pensiun dan asuransi jiwa. Hal ini seiring dengan rencana menaikkan porsi investasi pada infrastruktur dari dana pensiun dan asuransi.

Sebagai contoh, dana pensiun di Malaysia telah memiliki dana Rp 140 triliun yang tersedia untuk pembangunan infrastrukturnya. Demikian pula dengan pengalaman Singapura dan Cile yang berhasil memobilisasi dana pensiun.

Tentu saja penyertaan dari dana pensiun dan asuransi ini harus dilakukan dengan tetap melaksanakan rambu-rambu kehati-hatian agar dapat meminimalkan risiko, karena bagaimanapun berinvestasi di infrastruktur tetap ada risiko.

Potensi masalah

Selain pendanaan, pemerintah saat ini tengah mempersiapkan 13-14 peraturan pemerintah seputar infrastruktur ini. Peraturan ini masih dibahas di Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Masalah yang berpotensi muncul adalah apakah masyarakat atau investor akan mempercayai pengelolaan dana infrastruktur ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa transparansi dan pengelolaan keuangan secara benar di Indonesia merupakan hal yang mahal dan langka.

Apakah kumpulan dana ini akan digunakan dengan baik dan benar, ataukah akan menguap dan tidak beres seperti proyek yang sudah-sudah.

Pardede mengatakan, tata kelola perusahaan yang baik memang merupakan keharusan dalam pengelolaan dana untuk program infrastruktur ini. Selain reformasi di bidang dana pensiun dan asuransi, tentunya diperlukan reformasi pada pengelolaan keuangan sehingga dana yang terkumpul dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan maksimal untuk proyek infrastruktur.

Selain dana pensiun dan asuransi, reksa dana juga diharapkan dapat menjadi penggerak mobilisasi dana masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan para manajer investasi mengeluarkan reksa dana yang didedikasikan kepada proyek infrastruktur. Dengan demikian, masyarakat dapat secara langsung berpartisipasi dalam proyek infrastruktur ini.

Untuk tahun pertama ini, infrastructure fund berjumlah sekitar Rp 1-2 triliun. Dana ini diharapkan dapat membiayai proyek senilai hingga Rp 8-10 triliun. Jumlah yang kecil untuk tahun pertama ini tidak menjadi soal karena justru pada tahun pertama kredibilitas diuji. Tahun selanjutnya diharapkan dana akan bertambah seiring dengan kepercayaan dari berbagai pihak atas pengelolaan dana infrastruktur ini.

Tidak selaras

Membuat proyek infrastruktur memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kesulitan yang dihadapi dalam pembiayaan proyek adalah tidak selarasnya jangka waktu kebutuhan dana dengan ketersediaan dana.

Proyek infrastruktur memerlukan dana jangka panjang, sedangkan perbankan yang selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan maksimal hanya dapat memberikan dananya dalam jangka waktu tiga tahun.

Selain itu, dilihat dari struktur permodalannya, sebagian besar sumber pembiayaan domestik berbentuk utang, sementara pembiayaan ekuitas sangat minim. Perusahaan yang bergerak dalam sektor infrastruktur memiliki keterbatasan modal.

Dilihat dari profil risiko dan imbal hasilnya, terdapat ketidakpastian dari aspek komersial seperti tarif dan pembebasan tanah menambah risiko pendanaan. Para investor yang akan menanamkan dananya memiliki orientasi profit, sedangkan proyek-proyek infrastruktur ini mungkin tidak memberikan keuntungan komersial yang memadai dalam waktu yang cepat.

Kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta sangat berperan dalam pembangunan infrastruktur ini. Setiap pihak yang terlibat memiliki tugas untuk mengendalikan risiko proyek. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengendalikan risiko tarif atau regulasi. Sedangkan swasta memiliki kemampuan dalam mengelola risiko pasar. Partisipasi swasta dapat diperoleh melalui konsesi, kontrak atau pemberian lisensi.

Pardede mengatakan, ada harapan-harapan dari investor jika mereka hendak terjun dalam proyek infrastruktur.

Hal yang harus diperjelas adalah regulasi yang jelas, risiko pasar yang dapat dikelola, serta sisi komersial yang atraktif. Para investor yang melirik proyek ini adalah investor yang menginginkan keuntungan sehingga diperlukan proyek yang dapat dipertanggungjawabkan secara bisnis.

Oleh sebab itu, proyeksi pendapatan dan arus kas proyek infrastruktur ini haruslah realistis. Penyelesaian masalah lahan juga menjadi perhatian dan harapan investor. Pengalaman menunjukkan, alotnya proses pembebasan tanah untuk proyek jalan tol, misalnya, telah menjadi contoh betapa krusialnya masalah ini.

Investor juga mengharapkan isu lingkungan yang minimal. Selain itu, tentunya adalah proses penawaran yang fair dan transparan, misalnya antara BUMN dan swasta serta jadwal penawaran yang singkat.

Adanya proyek infrastruktur ini diharapkan juga akan menekan angka pengangguran. Sementara itu, ekonom untuk wilayah Asia Pasifik dari MasterCard International, Yuwa Hendrick-Wong, dalam kesempatan terpisah mengatakan, tingkat pengangguran yang sekarang mencapai 10 persen diperkirakan akan menurun pada semester kedua tahun 2005 ini. Penurunan tingkat pengangguran ini terkait dengan adanya program infrastruktur yang diluncurkan pemerintah serta mulai masuknya arus investasi asing langsung ke Indonesia.

Pardede mengatakan, secara langsung proyek infrastruktur ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi 0,5 persen per tahun. Hal ini berarti akan ada lapangan kerja baru untuk 150.000 hingga 200.000 orang.

Jumlah itu barulah dampak langsung dari proyek infrastruktur ini. Selain secara langsung, infrastruktur ini juga memerlukan penunjang seperti kayu, semen, yang tentunya akan memerlukan tenaga kerja juga.

Mulai tahun ini

Khusus untuk tahun 2005 ini, Pardede mengatakan bahwa pendanaan yang diperoleh dari dalam negeri sebesar Rp 40-50 triliun. Sebanyak Rp 20 triliun didapatkan dari APBN dan dari perbankan serta dari pasar modal sebesar Rp 5-10 triliun. Dana ini tidak terkait dengan pembangunan infrastruktur di Aceh yang telah ditangani oleh tim tersendiri.

Dalam pertemuan infrastruktur pekan depan, pemerintah akan menawarkan 37 proyek infrastruktur bernilai Rp 100 triliun.

Proyek yang menjadi prioritas adalah proyek yang memiliki nilai komersial, telah memiliki studi kelayakan dan rancang bangun terinci. Proyek ini diharapkan tidak terlalu rumit dan masih dalam kontrol pemerintah, dapat segera diimplementasikan. Proyek tersebut antara lain jalan tol, pelabuhan, pipanisasi gas, pelabuhan udara, serta listrik. (joe)



Post Date : 12 Januari 2005