Memberi Nilai pada Sampah di Palembang

Sumber:Kompas - 04 Juni 2012
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sejumlah bank sampah mulai bermunculan atas inisiatif masyarakat di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Meskipun masih dalam skala kecil, unit pengolahan sampah berbasis masyarakat secara mandiri ini mampu mengubah sampah menjadi barang kerajinan yang bernilai ekonomi.
 
Ruangan kecil di sepetak bangunan di Kompleks Perumahan Griya Bahagia, Palembang, Sumatera Selatan, terlihat sarat dengan berbagai jenis sampah, mulai dari koran, kardus, kemasan air mineral, maupun beragam plastik kemasan. Inilah tabungan bahan baku yang nantinya akan diolah menjadi barang kerajinan yang dihargai Rp 30.000-Rp 150.000 per unit barang. Cukup mahal untuk harga ”sampah”.
 
Semua sampah tersebut merupakan setoran para nasabah bank sampah Griya Bahagia yang kini jumlahnya telah mencapai sekitar 90 orang. ”Hampir 80 persen yang disetor dapat kami olah. Sampah kering menjadi barang kerajinan, sedangkan sampah basah menjadi pupuk kompos,” kata Direktur Bank Sampah Griya Bahagia Syukron Nikmah (53), yang juga pegawai Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang, Sabtu (2/6).
 
Bank sampah Griya Bahagia berdiri atas inisiatif dan modal dari warga perumahan pada 9 Desember 2011. Modal pembangunan berjumlah Rp 7 juta diperoleh iuran dari warga yang digunakan membangun bangunan sederhana, empat komposter, dan mesin jahit. Bank sampah itu dikelola delapan ibu, warga perumahan, yang empat di antaranya merupakan kader lingkungan yang sebelumnya memperoleh pembinaan dengan fasilitasi Pemerintah Kota Palembang.
 
Sistem di bank sampah Griya Bahagia sama persis dengan bank pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah mata uang yang berlaku di bank sampah adalah sampah yang telah dalam kondisi bersih. Setiap setoran sampah dari nasabah tersebut dicatat dalam buku rekening. Setoran dipilah berdasarkan jenisnya dan dikonversi menjadi harga jualnya.
 
Penjualan sampah dua truk ke pengepul pernah dihargai mencapai Rp 1,5 juta. Namun sebagian besar setoran sampah dari nasabah diolah sendiri. Sampah kering diolah menjadi topi, rompi, tas, dompet, maupun kantong laptop yang dijual dengan harga Rp 30.000-Rp 150.000. Mereka juga mengolah sampah basah jadi pupuk kompos yang dijual Rp 2.000 per kilogram (kg). Setiap bulan rata-rata dihasilkan 400 kg.
 
Dalam usianya yang baru enam bulan, bank sampah yang diluncurkan Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, April lalu, itu telah menghasilkan Rp 10 juta dari penjualan hasil kerajinan dan pupuk kompos. Untuk saat ini, hasil penjualan belum dapat dibagikan karena masih digunakan untuk modal usaha. Namun, ditargetkan keuntungan ini telah dapat dibagikan dalam tahun ini.

Menciptakan pasar
 
Syukron Nikmah mengatakan, bank sampah Griya Bahagia tidak menemui kesulitan pemasaran. Bahkan, hingga saat ini masih banyak pesanan yang belum terlayani. Hal ini karena sangat didukung Pemkot Palembang. Hampir 80 persen produk bank sampah dibeli dinas-dinas Kota Palembang.
 
Pupuk kompos, misalnya, selalu diserap Dinas Penerangan Jalan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Palembang. Adapun topi di antaranya dibeli Dinas Kebersihan, lalu dibagikan kepada petugas penyapu jalan. Produk kerajinan bank sampah juga mulai dipesan oleh sektor swasta di Kota Palembang.
 
Kepala Dinas Kebersihan Kota Palembang Abu Bakar menjelaskan, pembelian produk bank sampah ini merupakan instruksi Wali Kota Palembang Eddy Santana untuk menciptakan pasar bagi bank sampah. Anggaran disesuaikan dengan ketersediaan di masing-masing dinas.
 
Penciptaan pasar ini dinilai penting untuk keberlanjutan bank sampah. ”Selama ini, kesulitan utama pemasaran hasil kerajinan dari sampah adalah tidak adanya pasar. Akibatnya, pengelolaan sampah di tingkat masyarakat lama-kelamaan tersendat dan akhirnya berhenti,” ujarnya.
 
Pembelian produk oleh instansi pemerintah kota ini sebagai pancingan agar bank sampah tetap berjalan. Seiring bertambahnya bank sampah, Pemerintah Kota Palembang telah merencanakan membuat koperasi khusus untuk menampung produk-produk bank sampah.
 
Saat ini telah ada lima bank sampah yang aktif di Palembang yang juga membutuhkan saluran pemasaran. Pengembangan bank sampah ini juga diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat dari mengolah sampah yang awalnya tak berharga menjadi benda yang bernilai jual.
 
Menurut Abu Bakar, bank sampah awalnya merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup. Di Palembang, program ini dimasukkan dalam program Kampung Ramah Lingkungan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kota Palembang sejak 2008. Tersedianya bank sampah dimasukkan sebagai salah satu kriteria Kampung Ramah Lingkungan.
 
Kampung Ramah Lingkungan tersebut merupakan konsep penataan lingkungan dan permukiman berbasis masyarakat. Di dalamnya termasuk penataan kawasan kumuh dan pengelolaan sampah yang diinisiasi dan dikelola masyarakat sendiri.
 
Saat ini telah terdapat 428 Kampung Ramah Lingkungan tingkat kelurahan di Palembang. ”Pemasukan bank sampah pada program Kampung Ramah Lingkungan inilah yang membedakan dari bank sampah di daerah lain. Konsep bank sampah menjadi satu kesatuan dengan penataan permukiman dan lingkungan kota,” ujarnya.
 
Dampak besar
 
Kunci program tersebut adalah membangkitkan inisiatif masyarakat untuk mengelola kebersihan dan kesehatan lingkungannya secara mandiri. Cara ini dinilai paling efektif untuk menciptakan kota yang bersih dan sehat tanpa terlalu banyak memboroskan anggaran daerah. Artinya, dengan anggaran daerah yang terbatas diharapkan melahirkan dampak yang besar.
 
Kampung Ramah Lingkungan dan bank sampah bertumpu pada peran dan masyarakat. Pemkot Palembang mengawalinya dengan membentuk kader lingkungan. ”Para kader lingkungan inilah yang nantinya bertugas menggerakkan masyarakat di wilayahnya untuk pengelolaan sampah mandiri dan menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih,” kata Abu Bakar.
 
Abu Bakar mengatakan, tahun 2008, Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang menyediakan Rp 90 juta untuk pelatihan bagi calon kader lingkungan yang telah diseleksi. Tahun ini, dana diambil dari dua pos yaitu Dinas Kebersihan Kota dan Badan Lingkungan Hidup menjadi lebih kurang Rp 180 juta.
 
”Total dana untuk lingkungan di Palembang hanya Rp 26 miliar. Jumlah ini jauh lebih kecil dari anggaran lingkungan di kota-kota besar lain yang bisa lebih dari Rp 200 miliar setahun,” kata Abu Bakar.
 
Sekretaris Daerah Kota Palembang Husni Thamrin mengakui secara riil anggaran untuk lingkungan di Kota Palembang tak terukur karena telah dialokasikan di seluruh sekolah, dinas, dan satuan kerja di Kota Palembang. Instruksi pengalokasian dana lingkungan di satuan kerja ini merupakan bentuk komitmen Kota Palembang untuk menciptakan lingkungan bersih dan sehat.
 
Berbagai upaya itu membuahkan penghargaan Adipura yang diterima Palembang untuk kategori metropolitan selama tiga tahun yaitu 2007-2009. Tahun 2008, Palembang menerima penghargaan lingkungan bersih tingkat ASEAN yaitu Environmentally Sustainable City. Padahal sebelumnya, Kota Palembang mendapat predikat kota terkotor di Indonesia.
 
Dari kota yang pernah mendapat predikat sebagai kota terkotor di Indonesia, Kota Palembang pun terus bertransformasi menjadi kota yang meraih penghargaan kebersihan lingkungan. Tak berhenti di situ, bank-bank sampah yang bermunculan diharap menjadi salah satu sektor industri kecil yang menambah pemasukan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Irene Sarwindaningrum


Post Date : 04 Juni 2012