Membiayai Pembangunan Manusia

Sumber:Kompas - 06 Nopember 2004
Kategori:MDG
LAPORAN Pembangunan Manusia Indonesia 2004 mengambil judul The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia. Laporan pembangunan manusia yang kedua ini memberi tekanan bahwa pada alam demokrasi saat ini anggaran belanja untuk kepentingan publik adalah pendorong yang penting dan berperan nyata dalam memenuhi standar pembangunan manusia dan hak-hak warga atas pembangunan itu.

LAPORAN pembangunan manusia atau lebih dikenal dengan human development index (HDI) memaparkan bahwa untuk memenuhi hak-hak dasar warga atas pembangunan manusia, yaitu hal atas keamanan pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan keamanan fisik, biaya yang dikeluarkan pemerintah adalah Rp 53,7 triliun atau hanya 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Namun, untuk menjamin bahwa hak-hak dasar tersebut dirasakan setiap orang, dana tambahan yang diperlukan tidak akan melebihi Rp 50 triliun (5,9 miliar dollar AS) per tahun, atau kira-kira 3-4 persen dari PDB Indonesia yang berarti belanja untuk keperluan publik hanya perlu dinaikkan dari angka 3 persen menjadi enam persen dari PDB.

Laporan ini berargumen, pembelanjaan pemerintah sebesar jumlah tersebut tidak akan mengganggu anggaran pemerintah hingga ke tingkat defisit yang tidak dapat ditutup jika pemerintah mau mengubah skala prioritas anggaran pendapatan dan belanjanya serta mengefektifkan sumber penerimaan serta belanjanya.

Apa yang disarankan di dalam laporan tersebut mengandaikan pemerintah dapat dan mau mengubah prioritas anggarannya. Apalagi pemerintah telah menyatakan keinginannya untuk memenuhi hak warga dengan ikut menandatangani Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang merupakan komitmen 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pada tahun 2015 mengurangi hingga separuh proporsi orang miskin dan kelaparan, menjamin semua anak mendapat pendidikan dasar, menjamin kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu, menghentikan penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain, menghentikan kerusakan lingkungan, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Dr Dradjat Wibowo, ekonom senior Indef sebagai salah satu narasumber dalam diskusi ini menyebutkan, akan diperlukan komitmen politik luar biasa untuk mengalokasikan enam persen PDB yang besarnya Rp 100 triliun untuk memenuhi kebutuhan hak dasar yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Argumen yang diajukan Dradjat adalah pilihan kebijakan keuangan yang akan dijalankan pemerintah ketika berhadapan dengan pembayaran utang luar negeri dan dalam negeri. Pilihan kebijakan ekonomi makro yang prostabilitas yang dilakukan selama ini menyebabkan sebagian besar sumber dana dialokasikan untuk membayar utang.

Mantan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie ketika berbicara dalam diskusi yang diadakan oleh Infid di Jakarta akhir Agustus lalu menggambarkan besaran APBN 2004 dan rancangan APBN 2005 yang diajukan pemerintahan Megawati Soekarnoputri ke DPR.

Anggaran untuk membayar utang luar negeri dan bunganya serta utang dalam negeri dan bunganya pada tahun 2005 direncanakan sebesar Rp 143,6 triliun dari total anggaran belanja dan pendapatan sebesar RP 471,03 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja untuk anggaran pembangunan hanya Rp 70,87 triliun atau hanya separuh dari dana yang dihabiskan untuk melunasi pokok dan bunga utang.

Tidak mengherankan bila muncul kekhawatiran apakah keinginan untuk mendapatkan alokasi 6 persen dari PDB bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia itu bisa dipenuhi, bahkan bila jumlah dana tersebut juga termasuk anggaran rutin selain anggaran pembangunan.

SEBETULNYA ada beberapa peluang untuk mengurangi beban utang itu sehingga dananya bisa direalokasi untuk pembangunan manusia. Salah satunya adalah mengurangi beban utang dalam negeri, optimalisasi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah (sebagai konsekuensi dari otonomi daerah), dan memperluas objek kena pajak selain meningkatkan efektivitas penerimaan pajak.

Dalam optimalisasi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah, Dradjat menyebutkan contoh bagaimana daerah kaya seperti Provinsi Riau dan Kalimantan Timur mendapat tambahan dana luar biasa besar karena sumber daya alam di sana. Bank Pembangunan Daerah Riau misalnya, yang biasanya hanya mengelola dana Rp 800 miliar, setelah otonomi daerah mengelola dana Rp 2,8 triliun. Tambahan dana Rp 2 triliun tersebut kemudian dibelikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan ketika bunga SBI turun dana tersebut dibelanjakan properti yang sangat spekulatif sifatnya. Contoh itu memperlihatkan ada peluang pemerintah pusat melakukan renegosiasi dengan daerah untuk melakukan subsidi silang ke daerah miskin.

Dalam hal pajak, penerimaan bisa ditingkatkan bukan dari menaikkan besaran tarif pajak yang saat ini sudah dirasakan tinggi, tetapi dengan memasukkan ekonomi ilegal ke dalam ekonomi legal. Dradjat menyebutkan, penyelundupan kayu yang nilainya mencapai Rp 30 triliun per tahun. Dengan menghentikan penyelundupan tersebut, negara berpotensi menerima tambahan pajak Rp 3 triliun. Jumlah itu akan bertambah bila pemerintah juga memberantas penyelundupan beras, gula, bahan bakar minyak, barang elektronik, garmen dan tekstil, serta produk lain hasil pertanian, kehutanan, dan industri.

Untuk memperluas penerimaan negara, salah satu peluang yang selama ini tidak banyak disentuh meskipun secara empiris dibuktikan keberhasilannya di negara kapitalis Barat seperti disebutkan Hernando de Soto (Mystery of Capital, 2000) adalah memasukkan dead capital, yaitu sumber modal yang tidak bisa dikembangkan sebagai modal karena tidak terdaftar secara legal, ke dalam sistem ekonomi formal. Yang termasuk dalam dead capital antara lain tanah dan bangunan di daerah pedesaan dan daerah kumuh kota yang tidak bersertifikat, perusahaan kecil yang tidak terdaftar serta asetnya. Dengan misalnya memberi sertifikat tanah dan sertifikat bangunan, properti itu menjadi barang modal (kapital) yang bisa dijadikan nilai uang, misalnya dengan mengagunkan ke bank untuk modal kerja atau investasi, yang kemudian dapat ditarik pajaknya. Begitu juga dengan menjadikan usaha kecil sebagai usaha formal dengan mempermudah mereka dalam pendaftaran perusahaan serta memberi mereka insentif antara lain kemudahan kredit. Cara ini memperluas pemerataan dan hak kebebasan ekonomi warga sebagai cara memperoleh hak dasarnya dalam pembangunan.

Peluang peningkatan penerimaan negara lainnya adalah dengan menempuh langkah lebih progresif, yaitu meminta penghapusan utang. Binny Buchori, Sekretaris Jenderal Infid, yang hadir sebagai salah satu peserta aktif dalam diskusi terbatas ini menyebutkan, meminta penghapusan utang luar negeri bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Indonesia seperti juga banyak negara berkembang dan negara miskin lain adalah korban sistem keuangan internasional yang tidak adil bagi negara miskin dan berkembang. Sebagai anggota PBB yang sudah mengadopsi MDGs, seharusnya pemerintah menggunakan platform MDGs sebagai cara memenuhi hak dasar warga. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah menagih janji negara kaya membantu membiayai pembangunan, seperti tercantum di dalam tujuan kedelapan MDGs.

Di dalam tujuan kedelapan MDGs secara khusus disebutkan, harus ada solusi komprehensif dengan negara berkembang dalam mengatasi masalah utang mengikuti ukuran nasional dan internasional untuk membuat utang itu tidak menjadi beban tak tertanggungkan oleh negara pengutang. Dalam hal ini, Binny yang berkesempatan menjadi peninjau dalam sidang negara donor untuk Indonesia (Consultative Group on Indonesia/CGI) dengan Pemerintah Indonesia menyebutkan, yang seharusnya menjadi landasan kerja antara negara donor dan Indonesia bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi, penciptaan iklim investasi, dan menekan defisit. Meskipun Indonesia tidak lagi mengikat kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), landasan kerja dengan CGI dengan Bank Dunia sebagai pemimpin, sama seperti yang diberlakukan IMF. Kebijakan IMF yang menakankan pelaksanaan program penyesuaian struktural tidak sejalan dengan keinginan hak dasar manusia.

Dengan kata lain, pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak berada di ruang kosong karena pemerintah ditekan aturan multilateral dan internasional. CGI misalnya menekan Indonesia untuk juga memerhatikan kesehatan dan pendidikan, tetapi di sisi lain tidak mau menegosiasikan masalah penghapusan utang. Pemerintah sendiri takut melakukannya karena ancaman dari lembaga pemeringkat keuangan internasional mengenai status ekonomi Indonesia yang dikhawatirkan akan memengaruhi investasi asing.

Penyelesaian masalah itu bisa didekati dengan menggunakan platform MDGs karena kenyataannya dengan dana pembangunan seperti saat ini, angka kematian ibu dan anak serta angka putus sekolah tetap tinggi. Yang diperlukan adalah keberanian dan kemandirian membuat skema pembangunan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia dan merundingkannya secara canggih dengan negara donor.

OTONOMI daerah di sisi lain bukannya tidak menimbulkan masalah. Laporan HDI Indonesia juga menyebutkan ada ketimpangan antara daerah kaya dan miskin yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam indeks HDI. Dan ini menjadi salah satu masalah yang harus mendapat perhatian supaya tidak menimbulkan impresi yang salah bila angka tersebut disajikan secara nasional.

Di antara masalah pembiayaan pembangunan manusia itu bukannya tidak ada harapan untuk meningkatkan kualitas manusia dengan dana yang tersedia. Kuncinya, prioritas serta manajemen pembangunan sehingga dana yang terbatas bisa dialokasikan dengan tepat sasaran. Dalam hal ini Kabupaten Jembrana di Bali dan Kabupaten Tanahdatar di Sumatera Barat menjadi contoh keberpihakan pemerintah kabupaten terhadap pembangunan manusia.

Bupati Jembrana Prof Dr drg I Gede Winasa yang diundang dalam diskusi menyebutkan, Jembrana bisa membebaskan biaya pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas untuk semua murid sekolah negeri dan memberi beasiswa yang besarnya antara Rp 7.500- 20.000 per bulan untuk siswa SD hingga SLTA swasta yang berprestasi. Guru pun diberi kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan. Ternyata biaya yang diperlukan hanya Rp 279.738 per penduduk tahun 2004 atau 34,27 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Jembrana. Jembrana juga bisa menyediakan dana jaminan kesehatan yang besarnya Rp 63.076 per penduduk untuk 251.164 jiwa penduduk per tahun atau 7,7 persen dari APBD, yang diberikan pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta.

Menurut Winasa, prinsip di dalam manajemen pemerintahannya adalah prioritas pada efisiensi sumber daya manusia, sarana, dana, dan menetapkan ukuran yang terus diikuti proses pencapaiannya sehingga mencegah kebocoran dana dan ketidakefisienan.

Dalam efisiensi sarana misalnya, Winasa menyatukan semua kantor kabupaten di dalam satu lokasi sehingga menghemat biaya listrik dan mempercepat rantai komando. Peningkatkan sarana dan prasaran pendidikan dilakukan melalui sistem bloc grant dan bukan proyek sehingga efisiensi penggunaan dana meningkat sebanyak 15-30 persen selain meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang rata-rata sampai 40 persen karena yang mengerjakan adalah komite sekolah.

AMARTYA Sen di dalam Freedom as Development (1999) menyebutkan, kebebasan adalah inti pembangunan dan karena itu masyarakat harus dibebaskan dari sumber ketidakbebasan itu. Sumber ketidakbebasan itu adalah kemiskinan (yang menyebabkan orang tidak mendapat kesempatan memperoleh gizi yang baik) dan tirani, rendahnya peluang ekonomi (antara lain peluang bagi perempuan untuk mendapat kerja di luar rumah) dan pemiskinan sosial sistematis, pengabaian fasilitas publik (misalnya pendidikan dan pelayanan kesehatan) dan intoleransi atau represi oleh negara.

Penerima hadiah nobel ekonomi ini menyebutkan ada hubungan timbal balik yang erat dan saling menguatkan antara kebebasan itu yang akan berpengaruh terhadap pembangunan.

Pembangunan manusia dengan demikian bukan sesuatu yang abstrak dan dia tidak bisa ditunda-tunda. Pemerintahan baru telah menjanjikan perubahan dan janji itu harus dibuktikan antara lain dengan meningkatkan pembangunan manusia, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan kenaikan pendapatan per kapita. (Ninuk Mardiana Pambudy)

Post Date : 06 November 2004