Menanti Kabar Baik dari Depok

Sumber:Majalah Tempo - 04 Desember 2006
Kategori:Air Minum
Waduk resapan mulai beroperasi. Berkejaran dengan cepatnya muka air tanah turun.

Tepat pukul 12 malam, terdengar derasnya kucuran air. Tentu saja ini bukan adegan film horor, melainkan hanya peristiwa nyata tentang persoalan air pompa yang macet pada siang hari dan lancar pada malam hari, nun di Pulo Gebang. Empat bulan terakhir, suara mesin pompa air keluarga Suwarso selalu sibuk di malam hari karena memang baru bisa lancar pada tengah malam. Keran bak kamar mandi pun segera dibuka dan ember kosong dijejerkan menanti giliran.

Air yang dikumpulkan tersebut bakal digunakan mandi pagi oleh istri dan dua anak Suwarso. Malam hari mesin pompa lebih banyak mengucurkan air, kata pria yang tinggal di Pulo Gebang di Jakarta Timur itu, Rabu pekan lalu.

Memang, sepanjang tahun ini Suwarso dan istrinya tersiksa jika menghidupkan pompa air pada siang hari. Bayangkan, dibutuhkan waktu 20 menit untuk mengisi ember ukuran sedang. Padahal tahun lalu cukup dengan 10 menit. Alhasil, untuk minum dan masak, guru sekolah dasar ini harus membeli air dalam galon.

Nasib yang dialami Suwarso juga dirasakan jutaan warga lainnya yang tinggal di kota-kota besar. Pada musim hujan diterjang banjir, sebaliknya kesulitan air kala kemarau tiba. Para ahli menyimpulkan hal itu terjadi karena semakin turunnya permukaan air tanah.

Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat penurunan muka air tanah mencapai 4 meter dalam setahun. Kondisi ini terjadi di Jakarta, Kota Bandung, Cimahi, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Kabarnya cadangan air tanah di Jakarta hanya cukup memenuhi kebutuhan selama sembilan tahun ke depan.

Akibatnya, warga harus terus memperdalam pipa pompa agar air deras mengucur. Jika tidak, bakal mengalami nasib seperti Suwarso atau membeli air seperti yang dilakukan sebagian besar warga di Jakarta Utara. Padahal, seperti diungkapkan survei Bank Dunia, untuk mendapatkan air bersih penduduk miskin di Jakarta harus membayar 20 kali lebih mahal dibanding warga kaya.

Kondisi itu semakin parah karena air dangkal di Jakarta sudah tercemar bakteri E. coli dan berbagai zat kimia berbahaya seperti timbel, seng, amoniak, dan kloroform. Air dangkal ini lantas menerobos ke air tanah dalam. Di sisi lain, intrusi air laut juga semakin jauh ke pusat kota.

Hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan menyebutkan air laut menyelusup pada radius 10-15 kilometer, misalnya di daerah Kebon Jeruk (Jakarta Barat) dan wilayah Segi Tiga Emas Setiabudi, Kebayoran Baru, Cengkareng, dan Senen (Jakarta Pusat). Padahal, 20 tahun lalu luas daratan yang terkena intrusi air laut baru sekitar dua kilometer dari garis pantai, khususnya di daerah Kota.

Suwarso dan ribuan warga Jakarta lainnya kini boleh sedikit berharap dari waduk resapan yang berada di pojok utara kampus Universitas Indonesia, Depok. Setelah melalui penelitian dan simulasi selama dua tahun, waduk seluas 5.000 meter persegi itu mulai beroperasi pekan depan. Tim peneliti berasal dari UI, ITB, BPPT, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, serta Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Menurut Teddy W. Sudinda, Kepala Bidang Kebutuhan Masyarakat Kementerian Negara Riset dan Teknologi, ada dua fungsi waduk. Pertama, mengembalikan tanah agar bisa meresapkan aliran permukaan sehingga mengurangi debit banjir. Kedua, Meningkatkan cadangan air tanah, katanya.

Ketika dalam tahap persiapan, tim melakukan simulasi model waduk seluas 1,5 hektare di UI. Hasilnya menggembirakan, karena waduk mampu meresapkan air 1.933 meter kubik per hari atau 22,37 liter per detik. Jika dikonversi, nilai itu sama dengan kebutuhan 16.106 jiwa warga perkotaan yang setiap harinya memakai 60-120 liter air per kapita. Bisa juga memenuhi kebutuhan kawasan industri seluas 30-41 hektare atau lahan pertanian 41,4 hektare.

Kampus UI sengaja dipilih berdasarkan usul Masyarakat Air Indonesia (MAI). Lembaga swadaya masyarakat ini sebelumnya melakukan pengeboran untuk mengetahui peta geologi. Ada sungai purba di bawah permukaan kampus UI, kata Ketua MAI, Fatchy Muhammad.

Temuan lain adalah lapisan penutup yang tebalnya 1 meter yang diikuti lempung setebal 1,5 meter. Lalu terdapat lapisan pasir halus interval 2,5 sampai 7 meter dan pasir lepas pada interval 7-10 meter di bawah permukaan tanah.

Memang ketika waduk mulai digali dan mencapai kedalaman 7 meter sampai 10 meter, tim peneliti menemukan lapisan akuifer yang memancarkan air. Agar air dari atas bisa masuk, tinggi permukaan air waduk dibuat sedemikian rupa sehingga tekanannya lebih besar.

Pada waduk konvensional seperti Jatiluhur atau Kedungombo, permukaan dasarnya diperkeras agar air tidak meresap ke dalam lapisan tanah. Hal sebaliknya pada waduk resapan. Misalnya yang terdapat di kampus UI. Waduk seluas 5.000 meter persegi ini berukuran 80 x 62 meter dengan kedalaman 6 meter.

Pada bagian tengahnya terdapat waduk kecil dari beton berukuran 8 x 12,5 meter dengan kedalaman 10 meter. Waduk kecil inilah yang memotong lapisan akuifer dan menjadi tempat masuknya air yang melimpas dari waduk luar.

Melalui jembatan penghubung, tim peneliti bisa mengetahui tinggi permukaan air di waduk kecil. Begitu juga daya serapnya. Waduk ini menjadi laboratorium lapangan untuk mengetahui asal-usul air tanah, kata S. Legowo, dosen Departemen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung. Dia mempersilakan ilmuwan, mahasiswa, pelajar, dan lainnya melakukan penelitian.

Pembangunan waduk itu sendiri didanai oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Kami memang membuatkan mainan untuk mereka, ujar Pitoyo Subandrio, pemimpin Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, bergurau. Menurut dia, pembangunan waduk resapan merupakan salah satu proyek pengendalian banjir di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Air yang masuk ke waduk resapan itu sendiri telah melalui penyaringan. Di kampus UI terdapat empat situ yang masing-masing terhubung oleh saluran. Situ di bagian hilir menjadi sumber utama waduk resapan yang letaknya bersebelahan dengan Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia.

Legowo menjelaskan, air yang masuk ke waduk harus bersih. Kami tidak ingin meracuni warga Jakarta, katanya. Menurut dia, air tersebut bisa cepat mengisi air tanah di Jakarta seandainya warga mengeksploitasinya berlebihan. Air itu juga bakal jernih karena mengalami saringan alamiah di bawah permukaan Depok-Jakarta yang berjarak 30 kilometer.

Berdasarkan kajian, air hujan yang meresap ke lapisan akuifer hanya tiga milimeter per hari. Pada waduk resapan, bisa lima kalinya, kata Legowo. Pitoyo menjelaskan, jika berhasil, proyek semacam ini bakal diterapkan di daerah lain. Menurut dia, sejumlah situ sudah dikaji untuk dijadikan waduk resapan. Antara lain Situ BSD di Serpong, Situ Hilir Studio Alam dan Situ Kelapa Dua (Depok), Situ Narogong (Bekasi), dan Situ Cipondoh (Tangerang).

Konsep waduk resapan skala mini juga bisa diterapkan di perumahan milik pemerintah maupun pengembang. Bulan lalu, Pusat Lingkungan Geologi Badan Geologi, di Bandung, membangun sumur resapan percontohan khusus wilayah perkantoran. Air hujan yang ditampung dalam tangki air langsung disalurkan ke pipa yang ditanam sampai kedalaman 40 meter.

Menurut Legowo, konsep waduk resapan skala mini bisa menjawab kegagalan proyek pembangunan sumur resapan. Tahun 2001, Gubernur Jakarta menetapkan peraturan daerah tentang pembuatan sumur resapan di setiap bangunan. Namun sampai tahun lalu di Jakarta baru ada 300 unit sumur resapan. Legowo melihat banyak warga yang tidak mampu membuat dan memeliharanya. Perda itu juga tidak memberi sanksi hukum bagi yang lalai, katanya.

Selain di perkotaan, ujar Legowo, waduk resapan bisa diterapkan di Nusa Tenggara Timur. Di provinsi ini, musim hujan cuma tiga bulan namun curahnya tinggi sehingga sering terjadi banjir. Waduk tersebut bakal menampung air hujan dan langsung meresapkannya ke lapisan dalam air tanah. Pada musim kemarau, warga bisa memanfaatkannya, katanya. Suwarso dan jutaan warga lainnya kini menunggu kabar lebih baik lagi dari kampus UI. Untung Widyanto



Post Date : 04 Desember 2006