Menanti Sanitasi Higienis Di Sekolah

Sumber:Tabloid Nakita - 14 Desember 2009
Kategori:Sanitasi

Kecil-kecil cabe rawit. Itu barangkali peribahasa yang tepat disandangkan pada masalah sanitasi di negeri ini. Meski terkesan sepele, akan tetapi persoalan sanitasi memberi efek luar biasa. Fakta menunjukkan, dari setiap 1.000 bayi lahir, hampir 50 orang di antaranya meninggal karna diare sebelum usia 5 tahun. Ironisnya, sekitar 94% kasus diare diakibatkan faktor lingkungan terkait dengan konsumsi air yang tidak sehat dan buruknya sanitasi. "Selain diare, sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit kulit dan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas)," ungkap Menteri Kesehatan, AR dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, pada acara Konferensi Sanitasi Nasional 2009, Selasa (8/12) di Jakarta.

Menkes juga menegaskan, buruknya sanitasi turut menurunkan nilai Human Development Index (HDI) Indonesia, yaitu menempati urutan ke-41 dari 102 negara berkembang di dunia. Bahkan, berdasarkan studi Bank Dunia yang dilakukan pada 2007, potensi kerugian ekonomi akibat sanitasi yang buruk sekitar Rp 58 triliun per tahun!

Sebenarnya dalam lima tahun terakhir, investasi untuk sanitasi sudah meningkat "pesat", yaitu Rp5.000 per kapita per tahun. Bandingkan, pada rentang waktu sejak 1970 sampai 2000, hanya mencapai Rp200 per kapita per tahun. Sayangnya lagi, kebutuhan ini masih jauh dari ideal karna baru 10% dari kebutuhan pelayanan sanitasi dasar yang seharusnya Rp47.000 per kapita per tahun. "Angka yang sangat timpang tersebut menunjukkan, betapa Sanitasi Indonesia telah jauh tertinggal" ujar Menkes.

Data Depkes 2008 menunjukkan, sekitar 70 juta masyarakat belum memiliki akses terhadap sanitasi. Sekitar 19 juta orang di antaranya tinggal di perkotaan dengan Iingkungan sanitasi yang buruk. Akibatnya, 75% sungai dicemari oleh lebih dari 14.000 ton tinja per hari dan 176.000 meter kubik urin per hari. Di perkotaan yang padat penduduknya, 70%-85% air sumur/tanah mengandung bakteri E. coli akibat buangan tinja."Sepertinya masalah ini kecil, padahal efeknya luar biasa. Buruknya penyehatan lingkungan/sanitasi ini merupakan kendala serius. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sanitasi yang tak layak dan perilaku higienis yang sehat," papar Nugroho.

Perhatian Pemerintah

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE., MA., mengatakan, pemerintah telah merancang program percepatan pembangunan Sanitasi perkotaan yang akan dijalankan pada periode 2010-2014. "Agar program ini dapat berjalan efektif, dibutuhkan dukungan nyata yang terintegrasi dari berbagai sektor terkait di kalangan pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat."

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan target mencapai pembangunan AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) sampai dengan tahun 2014 di antaranya berupa: menyediakan akses air minum bagi 70% penduduk, menciptakan kondisi stop buang air besar sembarangan, menyediakan akses terhadap pengelolaam sampah bagi 80% rumah tangga di daerah perkotaan, serta menurunkan luas genangan sebesar 22.500 ha di 100 kawasan strategis perkotaan.

Sanitasi Sekolah


Dalam skala yang lebih kecil, sanitasi sekolah juga cenderung dilupakan kondisi kebersihannya. Padahal kondisi sanitasi yang buruk dapat menyebabkan berbagai dampak. Di antaranya, rendahnya efektivitas dalam kegiatan belajar, tingkat absensi tinggi, tingginya prevalensi penyakit cacingan dan diare pada kalangan murid, pun peningkatan polusi lingkungan bagi murid dan masyarakar sekitar.

"Ada dalam satu kelas di suatu sekolah dimana setiap hari 15 anak tidak masuk karena mengalami diare dan malaria. Ini salah satu efek dari sanitasi yang buruk atau tak memadai. Makanya sanitasi sekolah penting diperhatikan," kata Oswar Mungkasa, Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL "Ciri sekolah sehat salah satunya adalah sanitasinya baik," tandasnya.

Oswar mengakui, pelaksaan sanitasi sekolah belum terpadu, dan kerangka kerjanya belum tersedia. "Dari 140 SD di Indonesia, hanya 400 yang sanitasinya baik. Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) pun belum optimal, masih fokus pada pembangunan fasilitas daripada perubahan perilaku. Padahal, penting adanya pendidikan kesehatan, dan perubahan perilaku."

Tantangan ke depan, lanjut Oswar, sekolah menjadi salah satu focaL point dalam pembangunan sanitasi di Indonesia. "Jadi sekolah menjadi pusat pembelajaran sanitasi untuk lingkungan sekitar, sebagai promosi sanitasi."

Pengembangan jejaring sanitasi sekolah dilakukan oleh unsur pemerintah, LSM, swasta, donor, universitas, dan individu. Pengembangan desain besarnya dilakukan bersama UNICEF

"Langkah ke depan adalah pengembangan pembangunan sanitasi sekolah dalam 10-15 tahun, roadmap atau pemetaan kondisi atau konsolidasi sanitasi sekolah di Indonesia, regulasi, pelaku, sumber dana, pembelajaran, inovasi, pengembangan data base sanitasi sekolah, serta pengembangan grand design sanitasi sekolah di Indonesia," papar Oswar.

Kabar gembiranya, langkah nyata telah dilakukan oleh sekolah-sekolah di Mataram, NTB. Drs. H. lalu Syafii, Kepala Dinas Dikpora Kota Mataratn NTB menjelaskan, ada perda yang menetapkan, setiap sekolah harus memiliki sanitasi yang baik, kantin, perlengkapan olahraga dan sebagainya. ”Pada era 70-80-an, sekolah banyak dibangun, tapi kebutuhan sanitasinya tak begitu diperhatikan. Di Kota Mataram, 1 toilet disediakan bagi 30 siswa, sedangkan di TK tiap kelas satu WC. Guru wajib mengontrol WC, ada petugas kebersihan WC, pengharum WC, dan kalau ada coretan, kepala sekolah yang harus menghapusnya. DPRD juga secara teratur mengontrol WC, bahkan walikota turun ke sekolah-sekolah melihat secara langsung kondisi sanitasi serta meminta kepala sekolah untuk mengadakan perubahan bila sanitasinya masih buruk.

"Di sisi lain. Lalu mengatakan, sekolah adalah tempat penanaman nilai iman, takwa, konsep hidup bersih, toleransi dan sebagainya. Kuncinya adalah keteladanan dan keberlanjutan. Membentuk generasi cinta kebersihan tak cukup hanya instruksi. Begitu pula di sekolah, konsepnya bukan instruksi tapi keteladanan. tak terkecuali, hal itu harus melibatkan orangtua dan tokoh masyarakat untuk menanamkan kebersihan dan pentingnya sanitasi," kata Lalu.

Ya, jangan heran kalau Kota Mataram telah 9 kali meraih juara sekolah sehat tingkat nasional. "Kami juga meraih juara kota sehat yang salah satu indikatornya penilaian sekolah. Juga kami meraih Adipura karena kontribusi sekolah sehat," ungkap Lalu bangga.

Nah, kapankah kota-kota lain mau mencontoh Mataram? Hilman Hilmansyah



Post Date : 14 Desember 2009